Belajar Mendengar

Oleh Subhan Afifi

Sederhana saja. Kita diberi 2 telinga dan 1 mulut. Seharusnya kita lebih banyak mendengar daripada minta didengarkan. Sayangnya, fakta lebih sering tak seindah teorinya.

“Andi…! Sini kamu! pokoknya ayah nggak mau dengar lagi ada laporan tetangga kalau Andi nakal lagi. Mau jadi apa sih kamu ? Dengar ya.. Dulu, waktu ayah masih kecil, nggak pernah tuh Ayah bikin nangis anak orang, nggak suka berkelahi, nggak bikin kisruh..pokoknya..nggak macem-macem bla..bla..bla,” ini biasanya rententan kalimat yang biasanya meluncur deras dan sulit dihentikan. Intinya, sang ayah minta didengarkan terlebih dahulu tanpa memberi kesempatan anak untuk menjelaskan duduk perkaranya.

Atau : “Aduuh Silmi.., gimana sih, coba dengar ya Nak.. Sudah berapa puluh kali Bunda  ingatkan. Begitu pulang sekolah, taruh peralatan sekolahmu di rak belakang, jangan diberantakkan begini. Itu lagi, sepatunya koq gak dicopot, kan lantainya jadi kotor.. Bunda capek kan..” kata seorang ibu kepada anaknya yang pulang sekolah dalam kondisi kesal, mungkin karena ada masalah di sekolahnya. Tapi sang Bunda tak berusaha mendengar terlebih dahulu, tetapi mengedepankan perspektif “ingin didengar” untuk menyampaikan pesan.

Dalam keseharian, sebagai orang tua, kita cenderung ingin langsung masuk dalam kehidupan anak-anak kita dengan beragam nasihat, ingin memperbaiki, dan sebagainya. Tanpa terlebih dahulu berusaha untuk mengenali konteks dan permasalahannya. Ujung-ujungnya kita ingin dimengerti tanpa lebih dahulu mengerti mereka.

Mendengar adalah pekerjaan mudah. Selama telinga kita berfungsi dengan baik, InsyaAllah tak ada masalah. Tetapi mendengar dengan penuh perhatian, antusias, tanpa kepura-puraan, belum tentu mudah untuk dilakukan. Inilah yang disebut sebagai mendengar aktif (active listening). Bukan sekedar mendengar selintas, mendengar sebagian, atau pura-pura mendengar. Ketika orang tua mendengar secara aktif, maka anak akan merasa dihargai.

Mendengar aktif dilakukan dengan memusatkan perhatian pada anak-anak dan isi pembicaraannya, serta memberikan respon yang sesuai. Anak dibiarkan tuntas mengutarakan isi hatinya dan sedapat mungkin menunda kecenderungan kita untuk memotong atau menginterupsi. Komunikasi non verbal berupa kontak mata yang berbinar-binar, wajah dan seluruh badan dihadapkan pada si kecil, dan gerakan tubuh yang menunjukkan orang tua antusias memberi perhatian, sangat mendukung aktivitas mendengar aktif. Jika anak dalam posisi yang kita anggap bersalah, biarkan ia terlebih dahulu menceritakan duduk perkaranya, berilah jeda sesaat untuk memberi respon. Hal ini dapat menghindari kita untuk memberi jawaban cepat, melompat dan cenderung reaktif. Ketegangan emosipun dapat diredam.

Sebenarnya, anak-anak adalah pencerita kisah (story teller) yang hebat. Apapun akan diceritakannya dengan antusias. Dan hal ini merupakan bentuk kecerdasan yang tidak bisa dianggap remeh. Kecerdasan berbahasa dan berkomunikasi, suatu saat akan memberi kontribusi besar bagi kesuksesan hidup mulianya. Lihat saja, sepulang sekolah, ada saja yang diceritakannya. Seringkali tampak sepele dan tidak penting. Saat itu, anak ingin didengarkan. Demikian juga ketika mereka memberondong kita dengan beragam pertanyaan yang kelihatannya sepele dan tidak perlu pun, sesungguhnya permata hati kita itu ingin didengarkan dengan sepenuh jiwa. Bila kita mendengar dengan ogah-ogahan, atau enggan menjawab, sejatinya kita sedang memadamkan potensi kecerdasan anak yang hendak melejit.

Belum lama ini di stasiun-stasiun televisi Malaysia beredar sebuah iklan layanan masyarakat yang menyentuh hati. Seorang anak perempuan tampak hendak bertanya kepada ayahnya yang sedang sibuk. Sang ayah menepis, ”Sana tanya pada ibumu !’. Ketika beranjak pada sang Bunda, jawabannya hampir sama, karena super mom-nya seolah tak ingin kehilangan waktunya, beberapa menit sekalipun. ”Tanya sama kakek...!”, hardiknya. Rupanya kakek Melayu itu pun sama sibuk nya. Si anak pun merasa tak berguna, sedih bukan kepalang. Padahal dengar apa sebenarnya yang ingin ditanyakannya : ”Kenapa sih ibu kota Sarawak itu Kucing...?”.  Kuching memang nama ibu kota Sarawak, negeri bagian Malaysia yang berbatasan dengan Kalimantan.

Mendengar aktif, jika menjadi keterampilan yang dipraktekkan para orang tua dalam keseharian, akan memberi dampak yang luar biasa. Hanya dengan mendengar saja, sebenarnya kita telah membantu anak untuk memecahkan masalah secara mandiri dan merangsang hubungan yang lebih hangat. Anak akan terdorong untuk menemukan apa sesungguhnya yang ia rasakan. Anak akan lega, terbebas dari perasaan atau masalah yang membebani. Pengalaman di dengar dan dimengerti ayah-bundanya adalah sesuatu kegembiraan dan kepuasan tak ternilai bagi anak. Jika anak merasa dihargai dan dihormati, tak perlu ribuan kata untuk mengajari mereka untuk menghargai dan menghormati orang tua.

Jika didengarkan secara tulus, anak akan semakin mudah bicara dan mengutarakan isi hati, pada gilirannya nanti ia akan lebih mudah mendengar pendapat orang lain. Jika orang tua hanya ingin didengar, justeru anak akan lebih malas untuk mendengar. Anak yang terpuaskan ”kebutuhan untuk didengar”nya di rumah, juga akan lebih percaya diri. Mereka akan terbiasa untuk berfikir, menganalisis hingga menemukan solusi atas masalah secara mandiri. Semuanya bermula dari sebuah aktivitas sederhana : didengarkan secara tulus oleh ayah bunda-nya. Mari kita belajar mendengar ! 

*) Subhan Afifi, Pimpinan Redaksi Majalah Fahma, Sekjen MIUMI DIY, Dosen Komunikasi Universitas Pembagunan Nasional ‘Veteran’ Yogyakarta
Powered by Blogger.
close