Pendampingan dan Kemunduran Karakter
foto anak SDIT Hidayatullah Sleman Yogyakarta |
Oleh H.R.
Sugiwaras MSB,
Hari
pertama berkenalan dengan anak-anak (yang menurut kesimpulan sekolah) adalah
anak-anak inklusi, saya langsung ingat dengan keadaan saya yang serba
kekurangan waktu sekolah di SD. Namun alhamdulillah,
Allah memberikan kecerdasan di atas rata-rata teman-teman di sekolah saya waktu
itu. Karenanya saya selalu mendapat rangking pertama. Namun ketika saya
berusaha mengajari anak-anak di sekolah yang sekarang saya dampingi.
ternyata ada banyak yang belum diketahui oleh orang dan khususnya orang tua
terkait dengan anak inklusi.
Sebenarnya
istilah inklusi belum banyak diketahui, terutama oleh anak-anak. Istilah
inklusi diberikan ketika ada anak-anak yang memiliki perilaku khusus dan
berbeda dengan anak-anak normal umumnya. Ada juga yang menyebutnya anak-anak
berkebutuhan khusus (ABK), ada juga yang menyebutnya anak-anak autis.
Dalam
pendahuluan bukunya yang cukup fenomenal yaitu Seven Habbits, Steven Covey
menceritakan pengalamannya tentang cara dan keputusan yang dia ambil bersama
istrinya dalam mendidik anaknya agar ia kelak menjadi anak yang berkarakter dan
sukses. Anaknya memiliki cacat fisik, kakinya agak pincang. Karena keadaan
seperti itu, maka anaknya menjadi minder jika bergabung dengan temannya
yang lain. Kemudian setelah diskusi dengan sang istri, Covey kemudian mengambil
langkah, yaitu mendampingi anaknya ke sekolah. Salah satu yang mereka dampingi
dengan intens adalah pada mata pelajaran olah raga.
Pada
saat ada yang mengejek anaknya, Covey langsung memarahi anak tersebut. Hal ini
dilakukan beberapa tahun dengan maksud agar kepercayaan diri anaknya tumbuh
membaik. Namun setelah begitu lama, ternyata anaknya tidak kunjung membaik dan
akhirnya malah semakin minder dan tidak percaya diri. Covey bersama istrinya
diskusi lagi. Kemudian mereka berkesimpulan bahwa mungkin mereka terlalu dekat
dengan anak sehingga dia menjadi tidak mandiri. Setelah itu, mereka mulai
menjaga jarak dan meninggalkan anaknya agar mandiri dan berusaha menyelesaikan
masalahnya yang dia alami di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan
sekolah. Ternyata hasilnya sangat luar biasa. Dia menjadi anak terbaik dengan
nilai terbaik. Bahkan kabar terakhirnya adalah dia mendapatkan nilai A di
tempat kuliahnya
dan menjadi pemimpin di beberapa organisasi kemahasiswaan di kampusnya.
Saya
ternyata merasakan hal yang sama ketika saya mendampingi anak-anak inklusi.
Semakin kita dampingi mereka, ternyata
mereka semakin tidak survive dalam menjalani kehidupan. Hal ini perlu
diperhatikan untuk para pendamping anak dan khususnya anak-anak inklusi. Karena
bukan tidak mungkin ketika kita mendampingi, sebenarnya
sedang memasukannya ke lubang kegagalan hidupnya. Akhirnya saya mulai
mendampingi mereka dengan sedikit tegas dan mendapat penolakan dari beberapa
guru dan orang tua. Saya merasakan bahwa mereka bukan makin mandiri ketika
didampingi tetapi makin tidak kreatif dan tidak tahu cara penyelesaian masalah
yang mereka hadapi.
Ada
beberapa pelajaran yang bisa kita ambil. Pertama,
ternyata ketika kita ada harapan tertentu kepada anak, maka kita akan
memperlakukannya tidak baik dan cenderung berlebihan.
Kedua, harapan yang
tidak didasari pengetahuan yang benar hanya akan menghancurkan masa depan anak.
Ketiga, penerimaan yang salah tentang
anak akan membuat kita juga salah memperlakukan anak.
Dari
beberapa orang tua
yang anaknya saya dampingi mereka terlalu banyak menuntut dan tidak melihat
kemampuan terbaik dari anaknya. Walaupun dalam ucapan mereka bilang menerima
keadaan anaknya dengan baik. Namun dalam kenyataan memberikan respons yang
sangat berbeda. Semoga ini bisa menjadi pertimbangan baik bagi sekolah yang
memberikan pendampingan kepada anak-anak inklusinya atau pun
bagi orang tua yang diberikan anugerah anak yang unik dibanding dengan anak
yang lainnya.[]
*) Guru Pendamping Anak Inklusi di SD IT Annida Putwokerto
Post a Comment