Memperbaiki Bacaan Sejak Kecil
Ada yang menarik dari kegiatan
khatmil Qur'an di SDIT Salman Al-Farisi Yogyakarta. Ini bukanlah kegiatan
membaca Al-Qur'an dari juz 1 hingga 30 dalam satu hari yang kadangkala diwarnai
kebut-kebutan baca di sore hari sebagaimana dulu kerap saya dapati di kampung.
Ini merupakan kegiatan ujian sekaligus syahadah bahwa seseorang telah
dinyatakan mampu membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar sesuai kaidah membaca
Al-Qur'an. Anak-anak dinyatakan lulus hanya jika mampu membaca dengan
benar, tahu nama hukum bacaan dan mengerti hukum bacaan sebagaimana terdapat
dalam ilmu tajwid.
Melalui mekanisme yang jelas,
proses yang terjaga dan menerapkan standar tanpa toleransi (zero tolerance),
anak menguasai bacaan dengan baik. Tak perlu terjadi anak gelagapan baca اللهِ
sehingga terdengar awoh atau awloh di kelas atas SD jika sejak
awal telah dijaga ketat bacaannya. Sebagian anak telah mampu membaca
dengan tepat sebelum mereka bersekolah, meski belum sempurna, tapi bermasalah
ketika sekolah tidak mengajarkan membaca dengan benar.
Banyaknya jumlah murid di tiap
angkatan bukanlah kendala untuk mengajari anak membaca dengan benar dan
sempurna jika mekanisme ditegakkan. Mengajari membaca Al-Qur'an dengan
benar semenjak awal memang tampak lambat, tapi sesudah menguasai, anak akan
lebih asyik membaca. Di awal anak sangat mungkin ketinggalan jauh dibanding
rekan-rekannya yang belajar membaca dengan prinsip asal lancar, tetapi sesudah itu
anak akan lebih mudah membaca karena memahami prinsipnya dengan matang.
Mengoreksi bacaan ketika
"lidah terlanjur kaku" jauh lebih sulit dibanding mengajari membaca
dengan benar dan faham kaidah semenjak dini. Ketika pola yang salah sudah
terbentuk, perlu kerja ekstra untuk meruntuhkan pola tersebut, lalu menata
kembali agar mampu mengucapkan dengan benar. Dan perlu upaya lebih keras lagi
untuk mampu merangkai serta mengucapkannya secara sempurna. Ini berbeda dengan
mengajari membaca dengan benar dan sempurna sesuai kaidah. Ada kesulitan
memang, tapi begitu anak mampu membacanya secara sempurna, ia akan mudah
mempelajari serta membaca yang lebih kompleks. Lebih mudah pula baginya membaca
beberapa bacaan yang gharib (keluar dari kaidah umum).
Ketika anak telah benar-benar mampu
membaca sesuai kaidah, proses menghafal secara mandiri jauh mudah. Ini yang
kadang dilupakan. Di luar itu, lebih banyaknya hafalan tidak sama dengan
matangnya pemahaman dan kokohnya komitmen terhadap Al-Qur'anul Karim. Maka
hal awal yang perlu dibekalkan kepada anak di saat kecil adalah kecintaan,
keyakinan dan kemauan berpegang kokoh pada Al-Qur'an.
Al-Qur'an itu petunjuk bagi seluruh
ummat manusia, penjelas dari petunjuk dan pembeda. Tapi tak semua dapat
memperoleh petunjuk. Lalu siapa yang mendapatkan petunjuk itu? Allah Ta'ala
kabarkan kepada kita di awal surat Al-Baqarah bahwa, orang-orang
bertaqwalah yang memperoleh petunjuk Al-Qur'an. Salah satu cirinya iman kepada
yang ghaib; meyakini sepenuhnya segala yang ada dalam Al-Qur'an,
termasuk apa yang belum terjadi maupun yang sudah berlalu berabad-abad sebelum
turunnya Al-Qur'an.
Inilah yang perlu diperhatikan
dalam menanamkan Al-Qur'an dalam diri anak. Jika sekedar banyak hafalannya,
khawatirilah mereka jadi munafik. Na'udzubillahi min dzaalik.
Mari kita renungi sabda Nabi
shallaLlahu 'alaihi wa sallam tentang orang munafik: “Kebanyakan
orang munafik di tengah-tengah umatku adalah qurra’uha (penghafal
Al-Qur'an).” (HR. Ahmad).
Lho? Apa sebabnya qurra'
(penghafal Al-Qur'an) tersebut sampai tergelincir dalam
kemunafikan? Mereka adalah orang-orang yang menghafalkan Al-Qur'an, tapi
lalai mendidik niat dan menguati iman. Atau, mereka menghafalkan Al-Qur'an
memang untuk tujuan dunia. Amat besar kemuliaan orang yang membaca Al-Qur'an,
terlebih yang menghafalkannya. Tetapi jika salah niat atau tak mengimaninya,
maka banyaknya hafalan tak membawanya kepada keselamatan. Itu sebabnya mendidik
niat dan memperbaiki iman perlu kita perhatikan, terlebih saat anak kita masih
belia.
*) Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku ‘Segenggam Iman Anak Kita’
Post a Comment