Menimbang Media Sosial untuk Anak-anak
Oleh M. Edy Susilo
Sekitar sepuluh
tahun terakhir ini terjadi ledakan perkembangan teknologi komunikasi; yakni
bertumbuhnya teknologi informasi dan komunikasi yang sangat cepat serta massifikasi penyebarannya.
Internet adalah basis dari semua perkembangan tersebut.
Internet, yang
sudah dirintis lebih dari empat dasawarsa, merupakan teknologi yang
mengkonvergensikan berbagai teknologi seperti komputer, telepon dan audio
visual. Melalui sifatnya yang konvergen itu, maka kehadiran internet juga
memiliki daya perubahan yang luar biasa. Perubahan tersebut dimungkinkan oleh
salah satu sifat penting dari media ini yaitu interaktifitas.
Salah satu
fasilitas yang ditawarkan oleh teknologi yang berbasis internet adalah media
sosial (social media). Media sosial
diartikan sebagai media online,
dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan
menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual.
Facebook merupakan media
sosial yang paling populer di dunia. Indonesia merupakan
negara yang menempati peringkat keempat sebagai pengguna facebook terbesar setelah Amerika, Brazil,
dan India.
Sementara untuk twitter,
Indonesia menempati peringkat kelima terbesar di dunia setelah Amerika, Brazil,
Jepang dan Inggris.
Dengan semakin
murahnya gadget saat ini, maka tidak salah bila dikatakan saat ini terjadi
revolusi dalam penggunaan media sosial. Lalu adagium yang disampaikan Marshall Mc Luhan,
medium is the message, menemukan
buktinya. Media sudah menjadi pesan, terlepas dari apa yang dimuat oleh media
tersebut. Dengan gadget, maka
penggunaan media sosial menjadi sangat mudah. Di ruang rapat, di ruang kuliah,
di mall, di pasar, di warung makan atau di masjid, orang asyik memainkan
jari-jari di atas keypad.
Anak-anak dan media sosial
Berselancar
menggunakan internet memang mengasyikkan, tetapi sebenarnya juga banyak resiko
yang mengintai. Beberapa resiko yang bisa muncul misalnya penyalahgunaan data
pribadi, pemalsuan data, pembajakan akun oleh pihak lain, penipuan atau
bentuk-bentuk cybercrime yang lain. Penggunaan
media sosial perlu kematangan pribadi. Secara umum, hanya orang dewasalah yang
memiliki kompetensi ini.
Pada dasarnya
anak-anak lebih memerlukan interaksi secara langsung dan bukan melalui media
sosial. Dengan sifatnya yang masih polos, anak-anak masih memerlukan bimbingan
dari orangtua secara langsung. Sudah banyak terjadi, anak-anak yang terlalu
lugu memercayai “teman” yang baru dikenalnya di media sosial dan pada akhirnya
berujung pada kejadian tragis.
Dampak media
sosial bagi anak-anak bisa dikategorikan menjadi dampak fisik, dampak psikis
dan dampak sosial. Dampak fisik misalnya dikenal penyakit yang bernama neuropathi yaitu lumpuhnya syaraf, misal
jari tangan, yang bisa disebabkan oleh penggunaan gadget dalam frekuensi tinggi.
Computer Vision Syndrome juga bisa menyerang mata yang terlalu banyak
menatap berbagai perangkat komputer termasuk gadget.
Dampak psikis
yang muncul misalnya perasaan lelah karena kebanjiran informasi yang sayangnya
tidak semuanya bermanfaat. Hal ini bisa menyebabkan anak-anak tidak fokus pada
kegiatan di sekolah. Sementara dampak sosial, bisa berupa renggangnya hubungan
dengan orang dekat karena terlalu asyik dengan ”teman-teman” maya atau
hilangnya orientasi tentang sopan santun. Belum lagi dampak-dampak lain seperti pornografi atau kriminal.
Lalu mengapa
anak-anak tetap terterpa media sosial? Orangtua perlu introspeksi. Ada beberapa
orangtua yang terlalu terburu-buru memberi fasilitas gadget pada anak-anak yang sebenarnya belum membutuhkan. Sayangnya,
orangtua memberikan benda tersebut dengan alasan gengsi. Di sisi lain, ada
orangtua yang terlalu protektif sehingga malah memunculkan keingintahuan anak.
Ketika ia tidak mendapat informasi yang memadai, anak bisa mencari sendiri
misalnya dengan mengaksesnya melalui warnet.
Yang paling baik
adalah menjelaskan anak secara terbuka kepada anak mengenai internet dan media
sosial. Kemudian, orangtua harus mau berlelah-lelah mendidik anak secara
langsung, tanpa mewakilkannya pada media sosial. Saya memiliki tesis bahwa anak
akan jauh lebih tertarik dengan orangtuanya dari pada kepada facebook, twitter, instagram atau bahkan
televisi. Selain itu, orangtua juga perlu memberi teladan dengan tidak menjadi social media freak.
*) M. Edy Susilo, Dosen Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta
Post a Comment