Mensikapi Media Sosial
google.com |
Oleh Irwan Nuryana
Kurniawan
Media sosial, semacam Facebook, Twitter, WhatsApp, Shelfari, Moshi
Monsters, Club Penguin, The SIMS—situs game
online dan jaringan sosial—terus menerus bermunculan. Kehadiran media
sosial dalam kehidupan anak-anak zaman sekarang bahkan muncul lebih awal,
sebelum mereka menapaki masa remaja.
Sebuah laporan penelitian yang
dipublikasikan American Academy of Pediatrics (AAP) pada tahun 2011 menunjukkan bahwa
anak-anak berusia antara 8-12 tahun semakin banyak bersosialisasi secara online daripada di rumah teman atau di
mall. Meskipun Facebook dan sejumlah
situs lainnya menetapkan batasan usia—secara teknis misalnya seseorang tidak
bisa memiliki akun pribadi sebelum dia berusia 13 tahun—sebanyak 30% orangtua
mengakui bahwa mereka mengizinkan
anak-anak mereka yang berusia antara 8-12 tahun untuk memiliki akun pribadi.
Kecenderungan ini, menurut AAP, terus berlanjut: lebih dari 50% remaja
mengunjungi media sosial lebih dari sekali dalam sehari dan 75% mereka memiliki
handphone, yang seringkali untuk menuliskan dan mengirimkan pesan singkat.
O’Keeffe & Clarke-Pearson (2011)
dalam studinya menemukan bahwa meskipun ada sejumlah manfaat positif media
sosial bagi anak-anak dan remaja, misalnya
meningkatnya komunikasi, akses informasi, dan bantuan dalam pengembangan diri, juga
terdapat dampak buruk perlu disikapi dengan serius dan tepat. Mereka menemukan
anak-anak berusia 13 sampai 19 tahun mengunjungi media sosial favorit mereka
lebih dari 10 kali dalam sehari dan hal tersebut mempertinggi resiko mereka
mengalami/menjadi korban cyberbullying (dengan sengaja menggunakan media
digital untuk mengkomunikasikan informasi yang salah, memalukan, atau bernada
menyerang atau permusuhan tentang seseorang), “Facebook depression” (sebuah
fenomena baru di mana anak-anak dan remaja yang menghabiskan sebagian besar
waktu mereka di media sosial mengalami gejala-gejala klasik depresi, sebagian
karena “de-friending”—dikeluarkan dari daftar teman yang ada dalam media
sosial), terpapar informasi yang tidak pantas mereka terima, termasuk informasi
seksual.
Berikut ini beberapa hal yang bisa
dilakukan orangtua mensikapi media sosial, sehingga anak-anak mendapatkan
kemanfaatan yang maksimal dari penggunaan media sosial. Pertama, orangtua perlu
membekali diri dengan penguasaan teknologi terkait sehingga mereka tahu
bagaimana membuat akun dan profil di media sosial, mengundang anak mereka
menjadi teman di media sosial, dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari
kehidupan online anak-anak mereka.
Mereka mungkin akan “memaksa” orangtua, melakukan kompromi, untuk tidak
memposting sesuatu yang membuat mereka malu di mata teman-temannya. Yang
terpenting dalam langkah ini adalah orangtua memiliki ‘jendela’ untuk masuk dan
mengenali lebih jauh kehidupan dan dunia anak-anak mereka. Kedua, orangtua
perlu menjadi teladan. Jika orangtua terus menerus menggunakan media sosial di
handphone atau komputer, maka anak-anak juga akan menginginkan hal yang sama.
Orangtua perlu membatasi dirinya dalam hal penggunaan media sosial, sehingga
mereka bisa membantu anak-anak mereka menemukan keseimbangan dalam hal
penggunaan media sosil.
Ketiga, orangtua perlu membuat dan menegakan
aturan. Sebagai contoh, pastikan jam makan dan jam tidur adalah saat-saat yang
steril dari pemakaian media sosial. Anak-anak dan remaja seringkali tidak
mendapatkan waktu tidur yang mencukupi karena mereka masih terjaga, menggunakan
media sosial secara online. Pastikan
komputer yang digunakan anak-anak untuk mengakses media sosial terletak di
tengah-tengah ruang keluarga, sehingga orangtua setiap saat bisa mengecek
situs-situs media sosial yang diakses mereka dan mengetahui berapa lama waktu
yang mereka habiskan.
Keempat, orangtua perlu berkomunikasi
langsung dengan anak-anak mereka. Jangan terlalu mengandalkan pada komunikasi
virtual untuk mengetahui informasi terkini apa yang dilakukan anak-anak.
Hindari bergosip dan memposting sesuatu yang tidak benar atau berpotensi
menyakiti dan mempermalukan orang lain. Yakinkan dan ingatkan anak-anak bahwa
tidak adanya kebijakan online yang
benar-benar mampu melindungi privasi mereka—setiap email, tulisan, pesan
singkat meninggalkan rekam jejak digital, yang di masa mendatang mungkin bisa
diketahui oleh pihak-pihak yang membutuhkan. Pastikan anak-anak untuk tidak
memberikan informasi-informasi yang
bersifat pribadi dan sudah banyak bukti disalahgunakan oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggungjawab dan anak-anak dan remaja menjadi korban kekerasan fisik,
seksual, dan psikologis.
*) Irwan Nuryana Kurniawan, Dosen
Psikologi Universitas Islam Indonesia
Post a Comment