Sandal Jepit Plastik dan Layang-layang
google.com |
Oleh
Indarto
Karena satu-satunya sepatu hitam yang
setiap hari saya pakai warnanya mulai kusam, bawahnya sudah menipis dan lapisan dalamnya sudah mulai robek,
maka suatu hari saya mengajak istri jalan-jalan ke pertokoan sambil mencari sepatu.
Siapa tahu ada yang
cocok sebagai penggantinya.
Namun,
seperti biasanya,
mencari sepatu
yang cocok model dan nyaman dipakai, serta harganya masih dalam batas wajar itu tidak mudah. Setelah melihat-lihat berbagai merek dan
model, akhirnya hanya ada dua pasang yang
cocok, namun harganya diluar batas
kewajaran bagi seorang pegawai negeri sipil. Sebetulnya istri sudah menyetujuinya,
dengan pertimbangan bahwa sepatu tersebut memang akan dipakai untuk kerja setiap hari,
dari pagi sampai
sore bahkan malam. Jadi harus betul-betul nyaman. Saya bilang pada istri,
kalau harga segitu,
sebaiknya jangan beli sekarang,
saya pikir-pikir dulu. Meskipun istri sudah membujuk-bujuk
agar saya setuju,
namun akhirnya
kami pulang tanpa membawa sepatu. Sebagai penggantinya istri mentraktir saya makan malam
di luar.
Dalam perjalanan pulang,
saya cerita pada istri,
bahwa dulu pernah ada seorang anak kecil, usia sekolah dasar yang berkeinginan untuk memiliki sepasang
sandal plastik baru,
yang memang saat itu sedang
nge-trend. Meskipun teman-temannya sudah banyak yang memiliki, namun keinginannya itu tidak mungkin disampaikan kepada kedua orangtuanya, karena dia menyadari betul akan kemampuan keluarganya. Penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
yang betul-betul pokok.
Seperti kebiasaan anak kecil, kalau sudah mempunyai keinginan kadang sulit untuk diredam, apalagi setiap bermain, temannya mengenakan sandal idamannya
itu.
Dengan keinginan yang semakin besar itulah si anak tadi terus mencari akal. Sampai akhirnya suatu sore, ketika dia sedang main
layang-layang di halaman rumahnya, terlintaslah di pikirannya. Mengapa,
layang-layang putus yang sering dia peroleh di sekitar rumah, hanya digunakan
untuk bermain, tidak untuk kepentingan yang lain, dikumpulkan misalnya. Kalau
setiap jam
dua atau tiga sore sekali dia bisa menangkap sebuah layang-layang
yang putus, maka minimal sebulan akan mendapatkan sepuluh. Sehingga dalam waktu
dua
hingga tiga bulan, kalau layang-layang itu dijual, mungkin dia akan
bisa memenuhi keinginannya.
Namun bagaimana caranya, agar dia bisa menangkap
layang-layang yang selalu diperebutkan secara bebas oleh banyak anak. Dia tidak
mempunyai kelebihan, karena ukuran badannya yang kecil, jelas sangat tidak
mendukung. Melihat kenyataan ini dia tidak berkecil hati. Upaya mencari akal ternyata segera membuahkan hasil
ketika dia melihat atap-atap rumah di sekeliling tempat tinggalnya, yang
kebetulan kepunyaan saudara ibunya. Selama ini dia mengabaikan fungsi atap tersebut.
Sering layang-layang yang jatuh di atasnya tidak diambil, dibiarkan begitu saja
rusak kena hujan dan panas.
Dengan bermodalkan badan yang kecil, maka setiap ada
layang-layang yang jatuh di atas atap rumah itu akhirnya menjadi milik si anak
tadi. Karena badannya kecil, maka dia tidak mengkhawatirkan gentengnya akan
pecah. Lagi pula rumah-rumah di sekitar tempat tinggalnya itu bukan kepunyaan
orang lain. Setiap
sore, si anak selalu berharap agar ada layang-layang
yang putus, jatuh di salah satu atap tersebut.
“Keberhasilan” itu tidak hanya monopoli bagi yang sudah
dewasa, anak kecilpun juga punya kesempatan yang sama untuk berhasil. Dengan harapan, usaha, dan
ketekunan yang selalu dipeliharanya, akhirnya terkumpul sejumlah layang-layang setiap minggunya.
Setelah dua bulan, si anak tadi merencanakan menjual layang-layang hasil perolehan ke teman-temannya. Dia ragu-ragu, apakah layang-layangnya akan laku,
karena sudah bukan barang baru lagi, meskipun masih bagus. Namun dengan
kemauannya, dia menemukan strategi dengan cara menjual layang-layang
dengan harga setengahnya dari yang dijual di warung. Akhirnya,
dengan kegembiraan yang luar biasa, uang hasil penjualan dipakai untuk membeli
sandal yang sudah lama diidamkannya.
Ketika saya mengakhiri cerita, istri berkomentar “ Iya...
memang, pengalaman di masa silam itu kadang sulit untuk dilupakan, sehingga gara-gara ingat masa lalu, akhirnya tidak jadi
membeli sepatu”. Allah Maha Pengasih dan Penyayang.
*)
Oleh Prof. Dr. Ir. Indarto, DEA, Pimpinan Umum Majalah Fahma
Post a Comment