Seorang Ayah, di Lapis Berkah
google.com |
Oleh Salim Afillah
Di
lapis-lapis keberkahan, mari sejenak belajar dari seorang ayah, budak
penggembala kambing yang bertubuh kurus, berkulit hitam, berhidung pesek, dan
berkaki kecil. Tetapi manusia menggelar hamparan mereka baginya, membuka pintu
mereka selebar-lebarnya, dan berdesak-desak demi menyimak kata-kata hikmahnya.
Dia, Luqman ibn ‘Anqa’ ibn Sadun, yang digelari Al Hakim.
Seseorang
pernah bertanya kepadanya, “Apa yang telah membuatmu mencapai kedudukan serupa
ini?”
“Aku
tahan pandanganku”, jawab Luqman, “Aku jaga lisanku, aku perhatikan makananku,
aku pelihara kemaluanku, aku berkata jujur, aku menunaikan janji, aku hormati
tamu, aku pedulikan tetanggaku, dan aku tinggalkan segala yang tak bermanfaat
bagiku.”
“Dia
tak diberikan anugrah berupa nasab, kehormatan, harta, atau jabatan”, ujar Abud
Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu ketika menceritakan Luqman Al Hakim.
“Akan tetapi dia adalah seorang yang tangguh, pendiam, pemikir, dan
berpandangan mendalam. Dia tidak pernah terlihat oleh orang lain dalam keadaan
tidur siang, meludah, berdahak, kencing, berak, menganggur, maupun tertawa
seenaknya. Dia tak pernah mengulang kata-katanya, kecuali ucapan hikmah yang
diminta penyebutannya kembali oleh orang lain.”
“Dan
Kami telah mengaruniakan hikmah kepada Luqman, bahwasanya hendaklah engkau
bersyukur kepada Allah. Dan barangsiapa bersyukur, maka hanyasanya dia
bersyukur bagi dirinya. Dan barangsiapa mengkufuri nikmat, sesungguhnya Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuja.” (QS
Luqman [31]: 12)
“Hikmah”,
tulis Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, “Yakni pengetahuan, pemahaman, dan daya untuk
mengambil pelajaran.” Inilah yang menjadikan Luqman berlimpah kebijaksanaan
dalam kata maupun laku. Tetapi setinggi-tinggi hikmah itu adalah kemampuan
Luqman untuk bersyukur dan kepandaiannya untuk mengungkapkan terimakasih.
“Kemampuan
untuk mensyukuri suatu nikmat”, ujar ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, “Adalah nikmat
yang jauh lebih besar daripada nikmat yang disyukuri itu.” Dan pada Luqman,
Allah mengaruniakannya hingga dia memahami hakikat kesyukuran secara mendalam.
Bersyukur kepada Allah berarti mengambil maslahat, manfaat, dan tambahan nikmat
yang berlipat-lipat bagi diri kita sendiri. Bersyukur kepada Allah seperti
menuangkan air pada bejana yang penuh, lalu dari wadah itu tumpah ruah bagi
kita minuman yang lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, lebih sejuk
dari salju.
Adapun
bagi yang mengkufuri Allah, adalah Dia Maha Kaya, tidak berhajat sama sekali
pada para hambaNya, tidak memerlukan sama sekali ungkapan syukur mereka, dan
tidak membutuhkan sama sekali balasan dari mereka. Lagi pula Dia Maha Terpuji,
yang pujian padaNya dari makhluq tidaklah menambah pada kemahasempurnaanNya,
yang kedurhakaan dari segenap ciptaanNya tidaklah mengurangi keagunganNya.
Maka
Luqman adalah ahli syukur yang sempurna syukurnya kepada Allah. Dia mengakui
segala nikmat Allah yang dianugrahkan padanya dan memujiNya atas
karunia-karunia itu. Dia juga mempergunakan segala nikmat itu di jalan yang
diridhai Allah. Dan dia pula berbagi atas nikmat itu kepada sesama sehingga
menjadikannya kemanfaatan yang luas.
“Seseorang
yang tidak pandai mensyukuri manusia”, demikian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits riwayat Imam At
Tirmidzi, “Sungguh dia belum bersyukur kepada Allah.” Maka asas di dalam
mendidik dan mewariskan nilai kebaikan kepada anak-anak sebakda bersyukur
kepada Allah sebagai pemberi karunia adalah bersyukur kepada sang karunia,
yakni diri para bocah yang manis itu.
Di
lapis-lapis keberkahan, rasa syukur yang diungkapkan kepada anak-anak kita
adalah bagian dari bersusun-susun rasa surga dalam serumah keluarga.
“Nak,
sungguh kami benar-benar beruntung ketika Allah mengaruniakan engkau sebagai
buah hati, penyejuk mata, dan pewaris bagi kami. Nak, betapa kami sangat
berbahagia, sebab engkaulah karunia Allah yang akan menyempurnakan pengabdian
kami sebagai hambaNya dengan mendidikmu. Nak, bukan buatan kami amat bersyukur,
sebab doa-doamulah yang nanti akan menyelamatkan kami dan memuliakan di dalam
surga.”
Inilah
Rasulullah yang mencontohkan pada kita ungkapan syukur itu bukan hanya dalam
kata-kata, melainkan juga perbuatan mesra. “Ya Rasulallah, apakah kau mencium
anak-anak kecil itu dan bercanda bersama mereka?”, tanya Al Aqra’ ibn Habis,
pemuka Bani Tamim ketika menghadap beliau yang sedang direriung oleh cucu-cucu
Baginda.
“Mereka
adalah wewangian surga, yang Allah karuniakan pada kita di dunia”, jawab beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sembari tersenyum.
“Adalah
aku”, sahut Al Aqra’ ibn Habis, “Memiliki sepuluh anak. Dan tak satupun di
antara mereka pernah kucium.”
“Apa
dayaku jika Allah telah mencabut rahmatNya dari hatimu? Barangsiapa yang tidak
menyayangi, dia tidak akan disayangi.”
“Dan
ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya dan dia sedang memberi pengajaran
kepadanya, ‘Duhai anakku tersayang, janganlah engkau mempersekutukan Allah.
Sesungguhnya kesyirikan adalah kezhaliman yang besar.” (QS Luqman [31]: 13)
Dengarlah
Luqman memanggil putranya, Tsaran ibn Luqman dengan sapaan penuh cinta, “Ya
Bunayya.. Anakku
tersayang.” Alangkah besar hal yang akan dia ajarkan. Betapa agung nilai yang
akan dia wariskan. Yakni tauhid. Bahwa Allah adalah Rabb, Dzat yang telah
mencipta, mengaruniakan rizqi, memelihara, memiliki, dan mengatur segala
urusannya. Maka mempersekutukan Dia; dalam ibadah, pengabdian, dan ketaatan adalah
sebuah kezhaliman yang besar.
Kenalkanlah
Allah pada anak-anak kita sejak seawal-awalnya, dengan cara yang paling pantas
bagi keagungan dan kemuliaanNya. Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita dari
semula-mulanya, dengan kalimat yang paling layak bagi kesucian dan
keluhuranNya. Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita mulai sepangkal-pangkalnya,
dengan ungkapan dan permisalan yang paling sesuai bagi kesempurnaan dan
kebesaranNya.
Sebab
janji kehambaan seorang makhluq telah diikrarkan sejak di alam ruh, maka
membisikkan tauhid ke dalam kandungan, melirihkannya pada telinga sang bayi
dalam buaian, atau menyenandungkannya sebagai pengajaran adalah baik adanya.
“Dan
Kami wasiatkan kepada manusia kebaikan terhadap kedua orangtuanya; ibunya yang
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun, ‘Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orangtuamu.
KepadaKulah tempat kembalimu.”(QS Luqman [31]: 14)
Maha
Mulia-lah Dzat yang dalam pembicaraan tentang keesaanNya dari pengajaran
seorang ayah kepada putra, Dia meminta perhatian sejenak tentang hak kedua
orangtua. Maha Agung-lah Dzat yang dalam penuturan tentang ketauhidanNya dari
wasiat seorang bapak kepada anak, Dia mengingatkan kita tentang kebaikan yang
wajib kita tanggung terhadap sosok yang telah mengandung, melahirkan, mendidik,
dan menumbuhkan kita.
Sesungguhnya
lisan perbuatan jauh lebih fasih daripada lisan perucapan. Maka apa yang
dilihat oleh anak-anak kita akan terrekam lebih kokoh di dalam benak dan jiwa
mereka dibanding semua kata-kata yang coba kita ajarkan padanya. Maka siapapun
yang merindukan anak berbakti bakda ketaatannya kepada Allah, bagaimana dia
memperlakukan kedua orangtua adalah cermin bagaimana kelak putra-putrinya
berkhidmat kala usia telah menua.
Allah
menyatukan antara kesyukuran padaNya dengan kesyukuran pada orangtua, sebab
melalui ayah dan ibulah Dia mencipta kita, memelihara, mengaruniakan rizqi,
serta mengatur urusan. Ayah dan ibu adalah sarana terjadinya kita, terjaganya,
tercukupi keperluannya, serta tertata keadaannya. Maka Allah menganugerahkan
kehormatan kepada mereka dengan doa yang indah, “Rabbighfirli wa li
walidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira.”
“Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tiada
pengetahuan bagimu terhadapnya, maka janganlah kau taati keduanya. Dan
persahabatilah mereka berdua di dunia dengan baik. Dan ikutilah jalan orang
yang kembali bertaubat kepadaKu, kemudian hanya kepadaKulah tempat pulang
kalian, maka akan Kuberitakan pada kalian apa-apa yang telah kalian kerjakan.” (QS Luqman [31]: 15)
Allah
memberikan batas yang jelas tentang bakti kepada orangtua, yakni lagi-lagi
tauhid itu sendiri. Tidak ada ketaatan kepada makhluq, siapapun dia, semulia
apapun dia, dalam rangka bermaksiat kepada Al Khaliq. Tapi berbedanya keyakinan
orangtua yang masih musyrik dengan kita yang mengesakan Allah sama sekali tak
menggugurkan perlakuan yang patut dan sikap bakti yang terpuji terhadap mereka.
Jalan
untuk menjadi orangtua yang mampu mendidik anaknya juga hendaknya mengikuti
jalan orang-orang yang bertaubat nashuha.
Sebab tak ada yang suci dari dosa selain Sang Nabi, maka sebaik-baik insan
adalah yang menyesali salah, memohon ampun atasnya, memohon maaf kepada sesama,
serta berbenah memperbaiki diri. Pun demikian terhadap anak-anak kita.
Banyakkan
istighfar atas ucapan dan perlakuan kepada putra-putri kita. Jangan malu
mengakui kekhilafan dan meminta maaf kepada mereka. Teruslah memperbaiki diri
dengan ilmu dan pemahaman utuh bagaimana seharusnya menjadi seorang Ayah dan
Ibu yang amanah. Sebab kelak, ketika seluruh ‘amal kita kembali tertampak,
Allah pasti menanyakan segenap nikmat yang telah kita kecap, dan meminta
pertanggungjawaban atas segala perbuatan. Pada hari itu, seorang anak yang tak
dipenuhi hak-haknya oleh orangtua untuk mendapatkan ibunda yang baik,
lingkungan yang baik, nama yang baik, serta pengajaran adab yang baik;
berwenang untuk menggugat mereka.
“Duhai
anakku tersayang, sungguh seandainya ada sesuatu yang seberat timbangan biji
sawi tersembunyi di dalam sebuah batu, atau di lapis-lapis langit, atau di
petala bumi; niscaya Allah akan mendatangkan balasannya. Sesungguhnya Allah
Maha Halus lagi Maha Tahu.” (QS
Luqman [31]: 16)
Luqman
melanjutkan pengajarannya dengan menjelaskan hakikat ‘amal baik dan buruk serta
dasar dorongan beramal yang sejati. Ini dilakukannya sebelum memberi perintah
tentang ‘amal shalih di kalimat berikutnya. Sungguh, menanamkan pada anak-anak
kita bahwa Allah senantiasa ada, bersama, melihat, mendengar, mengawasi, dan
mencatat perbuatan dan keadaan mereka, jauh lebih penting dibanding perintah
‘amal itu sendiri.
Sungguh
memahamkan pada anak bahwa Allah-lah yang senantiasa hadir di setiap ‘amal
maupun hal, bahwa Dia Maha Mengetahui segala yang tampak maupun tersembunyi,
yang mereka lakukan kala ramai bersama maupun sunyi sendiri, adalah dasar
terpenting sebelum memerintahkan kebajikan dan melarang dari kemunkaran. Dan
bahwa Allah akan membalas semua itu dengan balasan yang setimpal dan sempurna.
Penting
bagi kita untuk mengatakan pada mereka, “Nak, Ayah dan Ibu tak selalu bias
bersamamu dan mengawasimu, tapi Allah senantiasa dekat dan mencatat
perbuatanmu. Dia Maha Melihat dan Maha Mendengar. Jangan takut kalau kamu
berlaku benar dan berbuat baik, sebab Dia akan selalu menolongmu. Jangan
khawatir ketika kamu berlaku benar dan berbuat baik, sebab sekecil apapun ‘amal
shalihmu, meski Ayah dan Ibu serta Gurumu tak tahu, tak dapat memuji maupun
memberikan hadiah padamu; tetapi Allah selalu hadir dan balasan ganjaran dari
Allah jauh lebih baik dari segala hal yang dapat diberikan oleh Ayah dan Ibu.”
“Demikian
pula Nak, jika kamu berbuat keburukan atau berbohong, sekecil apapun itu, meski
Ayah, Ibu, maupun Ustadzmu tak menyadarinya, sungguh Allah pasti tahu. Dialah
Dzat yang tiada satu halpun lepas dari pengetahuan dan kuasaNya, hatta daun
yang jatuh dan langkah seekor semut di malam gulita. Dan Allah juga pasti
memberi balasan yang adil pada setiap kedurhakaan padaNya, juga atas keburukan
yang kamu lakukan pada Ayah, Ibu, dan sesama manusia lainnya.”
Inilah
dia pokok-pokok pengajaran; dari sejak rasa syukur, tauhid, bakti kepada
orangtua, taubat, hingga pemahaman akan hakikat ‘amal di hadapan Allah. Ianya
harus menjadi perhatian setiap orangtua bahkan sebelum memerintahkan ‘amal terpenting
di hidup anak-anak mereka yang akan dihisab pertama kalinya, yakni shalat. Kini
kita tepekur menganggukkan kepala, mengapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi arahan agar kita memerintahkan
shalat kepada anak barulah ketika dia berumur tujuh, dan barulah orangtua
diizinkan memberi pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak menghinakan pada
umur sepuluh tahun ketika anaknya menolak shalat.
Sebab
sebelum tujuh tahun, ada hal-hal jauh lebih besar yang harus lebih didahulukan
untuk ditanamkan padanya.
“Duhai
anakku tersayang, tegakkanlah shalat, perintahkanlah yang ma’ruf, cegahlah dari
yang munkar, dan bersabarlah atas apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk perkara-perkara yang ditekankan.” (QS Luqman [31]: 17)
“Dirikanlah
shalat dengan menegakkan batas-batasnya”, tulis Imam Ibn Katsir dalam
Tafsirnya, “Menunaikan fardhu-fardhunya, serta menjaga waktu-waktunya.” Shalat
yang mencegah perbuatan keji dan munkar pada diri selayaknya diikuti tindakan
untuk mengajak dan menjaga manusia supaya tetap berada di dalam kebaikan dan
terjauhkan dari keburukan. Shalat yang kita ajarkan pada anak-anak kita sudah
selayaknya membentuk jiwa dakwah yang tangguh pada dirinya, hingga dia mampu
bersabar atas segala yang menimpanya di dalam beriman, berislam, berihsan,
berilmu, dan berdakwah.
“Dan
janganlah engkau memalingkan muka dari manusia serta jangan berjalan di muka
bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi
membanggakan diri. Dan sederhanalah engkau dalam berjalan, serta tahanlah
sebagian suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (QS Luqman [31]:
18-19)
Kata
“Ash Sha’r”, menurut Imam Ath Thabari asalnya bermakna penyakit yang
menimpa tengkuk seekor unta sehingga kepala dan punuknya melekat dengan wajah
yang terangkat ke atas lagi bergerak ke kiri dan ke kanan di kala berjalan.
Luqman melarang putranya dari mengangkat wajah dan memalingkan muka semacam itu
dengan rasa sombong yang berjangkit di hati.
Inilah
buah dari iman, ilmu, ‘amal, dan dakwah dari seorang putra yang dididik oleh
ayahnya. Ialah akhlaq yang indah kepada sesama, berpangkal dari lenyapnya rasa
angkuh dalam dada sebab mengenal dirinya dan merundukkan diri karena tahu bahwa
dia hanya salah satu makhluq Allah yang memiliki banyak kelemahan serta
kesalahan. Inilah akhlaq itu, yakni saripati yang manis, harum, dan lembut dari
buah pohon yang akarnya kokoh menghunjam, batangnya tegak menjulang, dan
cecabangnya rimbun menggapai langit.
Dan
akhirnya, akhlaq itu disuguhkan dalam tampilan yang paling menawan berupa
terjaganya Adab dengan cara berjalan yang sopan dan patut serta cara bicara
yang lembut dan santun. Inilah pengajaran sempurna dari Luqman kepada putranya,
digenapi dengan panduan mengejawantahkan akhlaq menjadi adab. Akhlaq adalah
nilai kokoh yang menetap dalam jiwa. Adab mengenal zaman dan tempat yang
bertepatan baginya.
Inilah
bersusun-susun rasa surga di serumah keluarga, teladan dari Luqman dalam
mewariskan nilai-nilai kebajikan pada anaknya, di lapis-lapis keberkahan yang
penuh cinta
*)Salim Afillah, Penulis Buku. Twitter @salimafillah
Sumber Tulisan :
www.salimafillah.com
Post a Comment