Hari Ini BBM Naik? Mari Kita Renungi Sejenak


Oleh Mohammad Fauzil Adhim


Yang paling perlu kita risaukan bukanlah naiknya BBM, tapi turunnya integritas dan hilangnya kejernihan nurani kita dan khususnya para politisi (yang benar enurut bahasa Indonesia, politisi atau poliTIKUS?). Bersebab hilangnya integritas itulah, apa yang dulu ditentang, sekarang dilakukan. Kenaikan BBM hanya salah satu akibat. Ada akibat-akibat lainnya yang sangat mungkin terjadi, yang tampak maupun yang diam-diam (dan ini lebih mengkhawatirkan).

Integritas adalah kualifikasi mutlak seorang perawi hadits. Jika lemah atau rusak integritasnya, maka riwayatnya tidak dipakai. Akan tetapi, alangkah sering kita abaikan hal semacam ini untuk menakar orang-orang yang akan mengurusi kita. Padahal rusaknya integritas akan menjadi awal yang buruk, betapa pun cerdasnya dia. Integritas ini tidak hanya terhadap satu dua orang yang memegang tampuk tertinggi, tapi keseluruhan yang memegang amanah mengurusi negeri.

Malu adalah perisai kehormatan. Jika sudah putus urat malunya, maka khawatirilah sikap dan tindakannya, betapa pun banyak langkah baiknya. Jika integritas sudah tiada, urat malu pun putus sudah, maka BBM naik itu hanyalah dampak terkecil. Boleh jadi akan ada yang lebih besar.

Senantiasa kita perlu bertanya, adakah kita turut berperan di masa lalu maupun masa kini terhadap tiadanya integritas para pemegang amanah? DI saat yang sama, kita perlu menata langkah untuk saling menguati agar tak kehilangan integritas saat memegang amanah serupa. Alangkah banyak orang yang dulu kita kenal sangat vokal, lalu sekarang seolah tak pernah kita kenal. Sebagian memang benar-benar idealis, lalu terkikis saat melihat lembar-lembar kesempatan yang sangat manis. Sebagian memang sangat vokal sebagai modal untuk memperoleh jalur cepat meraih kesempatan.

Yang memilih vokal sehingga tampak idealis untuk memperoleh kesempatan meraih kepercayaan, bukan bagian kita membincangkannya. Ini memang rusak semenjak awal, sehingga saat memperoleh kesempatan, bersemangatlah mereka melampiaskan ambisi. Tetapi yang awalnya benar-benar sangat idealis, lalu tiba-tiba runtuh karena tergoda syahwat dunia, inilah yang perlu kita khawatiri menimpa kita. Di antara yang hari ini sangat keras berteriak, dulu justru sebaliknya. Demikian pula yang hari ini gigih membela, tahun lalu paling nyinyir mencerca hal serupa.

Saat kecewa amat membuncah, ambillah jarak sejenak agar tak gegabah mengiyakan setiap yang senada dengan gelegak emosi. Ini dapat menjerumuskan kita kepada keadaan yang lebih buruk. Lari dari satu keburukan, lari pada keburukan lain yang lebih mengejutkan.

Apakah ini berarti kita meninggalkan do'a kebaikan bagi pemimpin? Tidak. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.”

Kita menyukainya atau tidak, mendo'akan pemimpin tetap merupakan keutamaan. Jika ia buruk, semoga Allah Ta'ala membaguskannya. Jadi, mendo'akan kebaikan bagi pemimpin serta mengatakan yang haq dan adil merupakan satu rangkaian yang saling menguatkan. Bukan bertentangan. Mengingatkan dengan kalimat yang haq dan adil merupakan peneguhan dari do'a kebaikan yang seharusnya kita mohonkan untuk para pemimpin. Mengatakan kalimat yang haq dan adil kepada pemimpin adalah dalam rangka amru bil ma'ruf. Bukan mencari-cari kesalahan dan memperolokkannya.

Ada sebuah ungkapan dari Al-Jazairi bahwa pemimpin itu cerminan rakyat yang dipimpinnya. Ini mengingatkan kita tentang pentingnya berbenah. Fakhruddin Ar-Razi menasehati, “Jika rakyat ingin terbebas dari penguasa yang zalim maka hendaklah mereka (rakyat) meninggalkan kezaliman yang mereka lakukan.”

*) Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku
Powered by Blogger.
close