Pendidikan Seks dalam Islam


Oleh Dr Akhmad Alim,Lc., M.A

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى
لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”. (An-Nuur [24]: 30-31).

Muqaddimah
Salah satu masalah besar yang sedang mengancam moralitas anak bangsa adalah virus pornografi. Pengaruh teknologi informasi yang begitu kuat, yang diiringi lemahnya iman, serta kurangnya filter, merupakan penyebab pelajar mengakses konten pornografi.

Selain itu, juga faktor pergaulan bebas dan lemahnya pengawasan dari keluarga, lembaga pendidikan maupun pemerintah. Fenomena ini, jika tidak segera ditanggulangi dan dicarikan solusinya bisa jadi negeri ini senasib dengan negara-negara sekuler yang tidak mempedulikan batas halal haram dalam pergaulan.

Untuk itu, memberikan pendidikan seks dengan cara yang benar dan tepat adalah sebuah keharusan bagi setiap orangtua, dan para pendidik agar generasi mendatang tumbuh kembang sesuai dengan fitrahnya.

Ketidaktahuan tentang pendidikan seks akan menjerumuskan pada hal-hal negatif. Pendidikan ini penting dalam rangka pembentukan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, sehingga tercapai tatanan masyarakat yang harmonis dalam bingkai syariat Islam.

Ghaddul Bashar
Pada ayat itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) memerintahkan dua hal yang amat mendasar kepada kaum Muslimin: ghaddul bashar (menjaga pandangan mata), dan hifdzul furuj (menjaga kemaluan).

Menurut Ibn Katsir, yang dimaksud ghaddul bashar adalah kewajiban bagi setiap Muslim menjaga pandangan matanya dari segala hal yang diharamkan oleh Allah SWT, dan segera memalingkan pandangannya jika tidak sengaja melihat sesuatu yang haram.


Penafsiran yang sama juga diungkapkan oleh Al-Gharnathi, ghaddul bashar merupakan sebuah upaya untuk membatasi pandangan pada sesuatu yang halal saja, dan menjauhi sesuatu yang haram, seperti melihat aurat wanita lain yang bukan istrinya. (At-Tashil Li Ulum At-Tanzil, jilid 3, h. 64).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) bersabda: “Pandangan itu adalah panah beracun di antara panah iblis, siapa yang meninggalkannya karena takut kepada-Ku, maka akan Aku gantikan dengan keimanan, yang ia dapatkan manisnya di dalam hatinya.” (Riwayat Thabrani).

Jadi, menjaga pandangan adalah tindakan preventif yang sangat efektif untuk mengendalikan diri dari syahwat birahi yang ada pada diri setiap manusia. Perintah ini didahulukan dari perintah menjaga kemaluan, karena menjaga pandangan itu pintu gerbang pertama yang membentengi pintu berikutnya. Juga, sebagai awal dari semua kebaikan, karena menjaga pandangan mata sama dengan menjaga diri kita dari berbagai fitnah.

Hifdhul Furuj
Perintah kedua adalah kewajiban untuk hifdzul furuj (menjaga kemaluan). As-Sam’ani menafsirkan, setiap Muslim wajib memiliki sifat Al-Iffah, yaitu menjaga kehormatannya, tidak menyalurkan syahwatnya kecuali pada apa yang telah dihalalkan Allah SWT.

As-Sinqithi mengatakan, menjaga kemaluan adalah tindakan preventif dan pilar bagi kemuliaan setiap mukmin. Sebab, menurut Allah SWT dalam surat al-Mukminun ayat 5, mukmin yang sukses adalah mereka yang menjaga kemaluannya. (Adhwa Al-Bayan, jilid 5, h. 506).

Perintah menjaga pandangan dan kemaluan saling bersinergi, karena pintu pertama adalah jalan menuju pintu yang kedua. Artinya, jika pandangan mata dapat dikendalikan, kemaluan pun mudah dikendalikan. Sebaliknya, jika pandangan dibiarkan begitu saja tanpa kendali syariat, kemaluan pun tidak terkendali, sehingga jatuh dalam perbuatan keji dan mungkar.

Jika kedua perintah ini terlaksana akan membawa efek positif pada pensucian jiwa. Ali Ash-Shabuni mengatakan bahwa itu adalah metode yang paling tepat untuk menjaga harga diri setiap Muslim dan kesempurnaan agamanya.

Kajian Implementatif
Prinsip-prinsip dasar pendidikan seks pada ayat tersebut, jika diimplementasikan kepada anak mencakup dua program yang mendasar. Pertama, menahan pandangan (ghaddul bashar). Hal itu dapat dilakukan dalam bentuk menghindarkan anak dari segala bentuk tontonan yang mengandung pornografi, pornoaksi, dan segala hal yang mengundang syahwat. Baik yang terdapat di media cetak, maupun elektronik, dan lingkungan yang tidak kondusif. Juga mengawasi dan membatasi penggunaan handphone, internet, dan sejenisnya, agar tidak disalahgunakan pada hal-hal yang negatif.

Selain itu, perlu memisahkan antara siswa laki-laki dan perempuan di ruang kelas, dan ruang lainnya sejak duduk di bangku PAUD sampai perguruan tinggi agar tidak terjadi ikhtilath di antara mereka. Demikian juga memisahkan tempat tidur dimulai dari usia 7-10 tahun, karena pada usia ini, anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berpikir tentang dirinya, tapi juga sesuatu yang ada di luar dirinya.

Pemisahan tempat tidur merupakan upaya menanamkan kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Jika pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang berbeda jenis kelamin, secara langsung ia telah ditumbuhkan kesadarannya tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.

Meminta Izin dan Mengenalkan Waktu Berkunjung
Ada tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan bagi anak-anak untuk memasuki kamar orang dewasa, kecuali meminta izin terlebih dulu: waktu sebelum shalat Subuh, waktu zuhur, dan setelah shalat Isya’. Syariat ini ditetapkan mengingat di antara ketiga waktu itu merupakan waktu aurat, dimana ketika badan atau aurat orang dewasa banyak terbuka. Jika pendidikan semacam ini ditanamkan pada anak-anak, maka ia akan menjadi anak yang memiliki sopan-santun dan etika yang luhur.

Kedua, menjaga kemaluan (hifdzul furuj). Ini bisa dilakukan dengan menanamkan rasa malu pada anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak, walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain; misalnya ketika keluar kamar mandi, dan berganti pakaian. Membiasakan anak perempuan sejak kecil berbusana Muslimah menutup aurat untuk menanamkan rasa malu sekaligus mengajari anak tentang auratnya.

Selain itu, perlu juga menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki, dan jiwa feminitas pada anak perempuan agar tidak terjadi penyimpangan fitrah. Sebab, Islam tidak menghendaki wanita menyerupai laki-laki, begitu juga sebaliknya. Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki. (Riwayat Bukhari).

Penutup
Pendidikan seks dalam al-Qur’an tidak hanya sekadar informasi yang berorientasi fisik semata, tapi lebih kepada bimbingan aqidah, ibadah, dan kehidupan bermuamalah dalam rangka membentuk tatanan masyarakat yang harmonis di bawah naungan syariat Allah SWT.

*Dosen Pascasarjana di Universitas Ibn Khaldun, Bogor

Powered by Blogger.
close