Anak Kecanduan Gadget
Oleh Arif Wicaksono
Tak jarang kita temui pemandangan di berbagai
tempat, ada orangtua yang asyik bermain gadget meski saat itu mereka tengah
bersama buah hatinya. Tanpa disadari, kebiasaan seperti itu turut mempengaruhi
penggunaan gadget oleh anak, bahkan ketika sampai pada taraf anak kecanduan
gadget.
Terutama bagi ibu, kecanduan menggunakan gadget secara tidak langsung akan membuat si anak pun turut kecanduan menggunakan gadget. Sebab, biasanya anak belajar dari perilaku ibunya.
Terutama bagi ibu, kecanduan menggunakan gadget secara tidak langsung akan membuat si anak pun turut kecanduan menggunakan gadget. Sebab, biasanya anak belajar dari perilaku ibunya.
Anak mempelajari kemampuan mengontrol emosi
dan berempati dari ibu. Namun, karena sang ibu merupakan pecandu perangkat
digital sehingga tidak bisa menjalankan peran itu, kemampuan berempati anak pun
akan berkurang.
Di dalam sebuah kasus, ada seorang ibu yang
sedang merencanakan untuk pergi berlibur dengan anak-anaknya. Sang ibu yang
kebingungan harus mengajak anaknya ke mana ini pun asyik sendiri browsing tempat-tempat
liburan di gadgetnya.
Padahal akan lebih baik jika sang ibu
meninggalkan gadgetnya dan mengajak si anak berdiskusi tentang tempat liburan
mereka. Dengan begitu, anak akan merasa dihargai dan waktu yang digunakan untuk
berdikusi bisa lebih bermakna.
Perangkat digital atau gadget akan
melemahkan otak anak dan mengacaukan proses tumbuh-kembangnya. Perangkat
tersebut juga menjadi perusak hubungan antara ibu dan anak. Hal ini merupakan
tragedi yang cukup mengerikan saat seharusnya anak belajar mengenal dunia
sebagai tempat yang bisa diandalkan melalui hubungan kasih sayang yang hangat
antara ibu dan anak.
Sebelum melarang anak agar tidak terlalu sering menggunakan gadget, orangtua ada baiknya introspeksi diri terlebih dahulu apakah mereka sendiri termasuk pecandu gadget atau tidak. Orangtua harus berperan sebagai teladan yang baik atau role mode bagi anak. Jangan sampai anak merasa sedih atau merasa terbuang akibat ibunya lebih sering terpaku pada layar gadget daripada bercengkerama dengan dirinya.
Sebelum melarang anak agar tidak terlalu sering menggunakan gadget, orangtua ada baiknya introspeksi diri terlebih dahulu apakah mereka sendiri termasuk pecandu gadget atau tidak. Orangtua harus berperan sebagai teladan yang baik atau role mode bagi anak. Jangan sampai anak merasa sedih atau merasa terbuang akibat ibunya lebih sering terpaku pada layar gadget daripada bercengkerama dengan dirinya.
Anak yang tumbuh besar dengan melihat
keadaan seperti itu akan meniru perilaku ibunya. Anak akan memperhatikan dan
mempelajari apa yang orang dewasa lakukan. Di balik orangtua yang kecanduan
gadget, akan ada anak-anak yang jauh lebih berisiko kecanduan perangkat itu
juga.
Anak-anak dan remaja yang sudah kecanduan
gadget cenderung anti-sosial dan apatis terhadap lingkungan sekitarnya.
Hati-hati, sebab hal ini bisa membuat tumbuh kembang anak menjadi tidak
sempurna.
Di dalam buku "Mendidik Anak di Era
Digital" yang ditulis psikiater dan praktisi pendidikan anak terkemuka di
Korea, Yee-Jin Shin, dijelaskan bahwa hidup di era gadget membuat anak-anak
masa kini rentan menjadi 'matang semu'. Secara fisik atau penampilan luar,
mungkin anak-anak sekarang terlihat lebih rapi dan cerdas. Namun, secara kejiwaan
mentalnya belum berkembang.
Yee-Jin Shin juga menjelaskan bahwa
anak-anak yang sehari-hari akrab dengan gadget cenderung kurang bisa memahami
perasaan orang lain dan bahkan perasaannya sendiri. Hal ini terjadi karena anak
merasa lebih nyaman saat bermain gadget terutama dalam aplikasi media sosial.
Saat di dunia nyata, ia akan mudah melawan nasihat dari orangtua dan gurunya
karena ia lebih memikirkan kepentingannya sendiri.
Sayangnya, banyak orangtua terlanjur
percaya bahwa saat tubuh anak berkembang menjadi besar maka mentalnya pun juga
otomatis ikut besar. Padahal tidak demikian. Selain diberikan asupan gizi, anak
juga harus dilatih EQ atau kecerdasan emosinya.
EQ merupakan faktor yang paling mendasar
dari perkembangan kemampuan bersosialisasi dan daya pikir anak. Dibandingkan
anak-anak zaman dulu, perkembangan fisik anak zaman sekarang jauh lebih baik.
Dia tidak mengalami masalah fisik karena dibesarkan dalam lingkungan yang baik
dan tidak kekurangan asupan makanan. Yang menjadi masalah yaitu jiwanya tidak
berkembang sehat sebaik badannya.
Yee-Jin shin juga mengungkapkan bahwa baik
tidaknya tumbuh kembang anak secara fisik maupun mental bisa dilihat sejak usia
empat tahun. Periode tersebut bisa menentukan apakah anak akan tumbuh sempurna
atau justru 'matang semu'. Periode ini sebaiknya dimanfaatkan orangtua untuk
memberikan pola pengasuhan yang baik bagi anak sekaligus menghindari pemakaian
gadget yang berlebihan.
*) Arif Wicaksono, Pemerhati dunia anak
Post a Comment