Ibu untuk Anak Kita
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Kunci untuk melahirkan anak-anak
yang tajam pikirannya, jernih hatinya dan kuat jiwanya adalah mencintai ibunya
sepenuh hati. Kita berikan hati kita dan waktu kita untuk menyemai cinta di
hatinya, sehingga menguatkan semangatnya mendidik anak-anak yang dilahirkannya
dengan pendidikan yang terbaik. Keinginan besar saja kadang tak cukup untuk
membuat seorang ibu senantiasa memberikan senyumnya kepada anak. Perlu penopang
berupa cinta yang tulus dari suaminya agar keinginan besar yang mulia itu tetap
kokoh.
Uang yang berlimpah saja tidak
cukup. Saat kita serba kekurangan, uang memang bisa memberi kebahagiaan yang
sangat besar. Lebih-lebih ketika perut dililit rasa lapar, sementara tangis
anak-anak yang menginginkan mainan tak bisa kita redakan karena tak ada uang.
Tetapi ketika Allah Ta'ala telah memberi kita kecukupan rezeki, permata yang
terbaik pun tidak cukup untuk menunjukkan cinta kita kepada istri. Ada yang
lebih berharga daripada ruby atau berlian yang paling jernih. Ada yang lebih
membahagiakan daripada sutera yang paling halus atau jam tangan paling elegan.
Apa itu? Waktu kita dan perhatian
kita.
Kita punya waktu setiap hari. Tidak
ada perbedaan sedikit pun antara waktu kita dan waktu yang dimiliki orang-orang
sibuk di seluruh dunia. Kita juga mempunyai waktu luang yang tidak sedikit.
Hanya saja, kerapkali kita tidak menyadari waktu luang itu. Di pesawat
misalnya, kita punya waktu luang yang sangat banyak untuk membaca. Tetapi
karena tidak kita sadari –dan akhirnya tidak kita manfaatkan dengan baik—beberapa
tugas yang seharusnya bisa kita selesaikan di perjalanan, akhirnya mengambil
hak istri dan anak-anak kita. Waktu yang seharusnya menjadi saat-saat yang
membahagiakan mereka, kita ambil untuk urusan yang sebenarnya bisa kita
selesaikan di luar rumah.
Bagaimana kita menghabiskan waktu
bersama istri di rumah juga sangat berpengaruh terhadap perasaannya. Satu jam
bersama istri karena kita tidak punya kesibukan di luar, berbeda sekali dengan
satu jam yang memang secara khusus kita sisihkan. Bukan kita sisakan.
Menyisihkan waktu satu jam khusus untuknya akan membuat ia merasa lebih kita
cintai. Ia merasa istimewa. Tetapi dua jam waktu sisa, akan lain artinya.
Sayangnya, istri kita seringkali
hanya mendapatkan waktu-waktu sisa dan perhatian yang juga hanya sisa-sisa.
Atau, kadang justru bukan perhatian baginya, melainkan kitalah yang meminta
perhatian darinya untuk menghapus penat dan lelah kita. Kita mendekat kepadanya
hanya karena kita berhasrat untuk menuntaskan gejolak syahwat yang sudah begitu
kuat. Setelah itu ia harus menahan dongkol mendengar suara kita mendengkur.
Astaghfirullahal
‘adziim....
Lalu atas dasar apa kita merasa
telah menjadi suami yang baik baginya? Atas dasar apa kita merasa menjadi bapak
yang baik, sedangkan kunci pembuka yang pertama, yakni cinta yang tulus bagi
ibu anak-anak kita tidak ada dalam diri kita.
Sesungguhnya, kita punya waktu yang
banyak setiap hari. Yang tidak kita punya adalah kesediaan untuk meluangkan
waktu secara sengaja bagi istri kita.
Waktu untuk apa? Waktu untuk
bersamanya. Bukankah kita menikah karena ingin hidup bersama mewujudkan
cita-cita besar yang sama? Bukankah kita menikah karena menginginkan
kebersamaan, sehingga dengan itu kita bekerja sama membangun rumah-tangga yang
di dalamnya penuh cinta dan barakah? Bukan kita menikah karena ada kebaikan
yang hendak kita wujudkan melalui kerja-sama yang indah?
Tetapi...
Begitu menikah, kita sering lupa.
Alih-alih kerja-sama, kita justru sama-sama kerja dan sama-sama menomor satukan
urusan pekerjaan di atas segala-galanya. Kita lupa menempat¬kan urusan pada
tempatnya yang pas, sehingga untuk bertemu dan berbincang santai dengan istri
pun harus menunggu saat sakit datang. Itu pun terkadang tak tersedia banyak
waktu, sebab bertumpuk urusan sudah menunggu di benak kita.
Banyak suami-istri yang tidak punya
waktu untuk ngobrol ringan berdua, tetapi sanggup menghabiskan waktu berjam-jam
di depan TV. Seakan-akan mereka sedang menikmati kebersamaan, padahal yang
kerapkali terjadi sesungguhnya mereka sedang menciptakan ke-sendirian
bersama-sama. Secara fisik mereka berdekatan, tetapi pikiran mereka sibuk
sendiri-sendiri.
Tentu saja bukan berarti tak ada
tempat bagi suami istri untuk melihat tayangan bergizi, dari TV atau komputer
(meski saya dan istri memilih tidak ada TV di rumah karena sangat sulit
menemukan acara bergizi. Sampah jauh lebih banyak). Tetapi ketika suami-istri
telah terbiasa menenggelamkan diri dengan tayangan TV untuk menghapus penat,
pada akhirnya bisa terjadi ada satu titik ketika hati tak lagi saling merindu
saat tak bertemu berminggu-minggu. Ada pertemuan, tapi tak ada kehangatan. Ada
perjumpaan, tapi tak ada kemesraan. Bahkan percintaan pun barangkali tanpa
cinta, sebab untuk tetap bersemi, cinta memerlukan kesediaan untuk berbagi
waktu dan perhatian.
Ada beberapa hal yang bisa kita kita
lakukan untuk menyemai cinta agar bersemi indah. Kita tidak memperbincangkannya
saat ini. Secara sederhana, jalan untuk menyemai cinta itu terutama terletak
pada bagaimana kita menggunakan telinga dan lisan kita dengan bijak terhadap
istri atau suami kita. Inilah kekuatan besar yang kerap kali diabaikan.
Tampaknya sepele, tetapi akibatnya bisa mengejutkan.
Tentang bagaimana menyemai cinta di
rumah kita, silakan baca kembali Agar Cinta Bersemi Indah (Gema Insani Press, 2002, edisi revisi insya Allah akan
diterbitkan Pro-U Media). Selebihnya, di atas cara-cara menyemai cinta, yang
paling pokok adalah kesediaan kita untuk meluangkan waktu dan memberi
perhatian. Tidak ada pendekatan yang efektif jika kita tak bersedia meluangkan
waktu untuk melakukannya.
Nah.
Jika istri merasa dicintai dan
diperhatikan, ia cenderung akan memiliki kesediaan untuk mendengar dan mengasuh
anak-anak dengan lebih baik. Ia bisa memberi perhatian yang sempurna karena
kebutuhannya untuk memperoleh perhatian dari suami telah tercukupi. Ia bisa
memberikan waktunya secara total bagi anak-anak karena setiap saat ia mempunyai
kesempatan untuk mereguk cinta bersama suami. Bukankah tulusnya cinta justru
tampak dari kesediaan kita untuk berbagi waktu berbagi cerita pada saat tidak
sedang bercinta?
Kerapkali yang membuat seorang ibu
kehilangan rasa sabarnya adalah tidak adanya kesediaan suami untuk mendengar
cerita-ceritanya tentang betapa hebohnya ia menghadapi anak-anak hari ini. Tak
banyak yang diharapkan istri. Ia hanya berharap suaminya mau mendengar dengan
sungguh-sungguh cerita tentang anaknya –tidak terkecuali tentang bagaimana
seriusnya ia mengasuh anak—dan itu “sudah cukup” menjadi tanda cinta. Kadang
hanya dengan kesediaan kita meluangkan waktu untuk berbincang berdua, rasa
capek menghadapi anak seharian serasa hilang begitu saja. Seakan-akan tumpukan
pekerjaan dan hingar-bingar tingkah anak sedari pagi hingga malam, tak berbekas
sedikit pun di wajahnya.
Alhasil, kesediaan untuk secara
sengaja menyisihkan waktu bagi istri tidak saja mem¬buat pernikahan lebih
terasa maknanya, lebih dari itu merupakan hadiah terbaik buat anak. Perhatian
yang tulus membuat kemesraan bertambah-tambah. Pada saat yang sama, menjadikan
ia memiliki semangat yang lebih besar untuk sabar dalam mengasuh, mendidik dan
menemani anak.
Ya... ya... ya..., cintailah istri
Anda sepenuh hati agar ia bisa menjadi ibu yang paling ikhlas mendidik
anak-anaknya dengan cinta dan perhatian. Semoga!
*) Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku dan Pakar Parenting | Twitter :
@kupinang
Post a Comment