Oleh Imam Nawawi
Sejak dunia didominasi oleh frame berpikir materialisme, hampir
semua masyarakat di seluruh penjuru bumi memahami pendidikan sebatas investasi
masa depan agar generasi sebagai seorang individu bisa memiliki skill
dan bisa meraih kesenangan duniawi.
Dampaknya, banyak orangtua bingung
mengatur jadwal anak mereka les matematika, bahasa Inggris, musik, les biola,
namun tidak khawatir anaknya tak mampu membaca dan memahami kandungan Al-Qur’an.Tidak
jarang pula ditemukan orangtua tidak gelisah ketika anak-anaknya sudah masuk
usia ambang baligh tapi belum tuntas dalam urusan kewajiban-kewajiban
seperti sholat.
Sesungguhnya Islam, sama sekali
tidak menolak pemahaman demikian. Dalam Al-Qur’an, Allah telah memberikan
petunjuk bahwa tidak satu pun Nabi dan Rasul yang diutus melainkan memiliki skill
khusus yang menunjang kehidupan mereka sebagai manusia yang membutuhkan rizki
halal yang sekaligus menjalani misi kenabian mereka.
Nabi Nuh adalah arsitek perkapalan,
Nabi Musa seorang penggembala, Nabi Ibrahim arsitek bangunan, Nabi Daud ahli
metalurgi, Nabi Sulaiman ahli meteorologi dan geofisika, Nabi Yusuf ahli
ekonomi dan keuangan negara, dan Nabi Muhammad adalah pakar bisnis dan
perdagangan.
Tetapi di balik keahlian yang
mereka miliki, mereka tetap berada pada fokus dan orientasi keimanan, sehingga
keahlian yang mereka miliki tidak menjadikan mereka ambisius terhadap kehidupan
dunia. Sebaliknya justru menjadi media utama untuk mengajak manusia pada jalan
iman. Hal inilah yang berhasil dibangun oleh para orangtua pada tujuh abad
pertama Hijriyah.
Kala itu, tidak satu pun ilmuwan
yang tidak hafal Al-Qur’an, taat beribadah dan komitmen terhadap ilmu dan iman.
Sebut saja misalnya, Fakhruddin Al-Razi, ia adalah pakar matematika yang juga
ahli tafsir, Ibn Sina, seorang dokter yang juga pakar al-Qur’an, dan Imam
Ghazali seorang rektor universitas ternama di zamannya yang pakar filsafat dan
juga ahli makrifat.
Dengan kata lain, tidak sepatutnya
para orangtua memahami pendidikan secara dikotomis, di mana di satu sisi anak
didorong untuk benar-benar menguasai satu keahlian dunia, tetapi di sisi lain,
apa yang semestinya dimiliki anak kita dengan penuh kebanggaan, yakni iman dan
takwa justru terabaikan dan dianggap nomor dua.
Jika hal ini terjadi, maka akan
selalu lahir banyak orang ahli dalam berbagai bidang, namun hati/pikiran dan
keahliannya tidak dikawal oleh iman dan agama mereka. Akhirnya, mudah kita
temukan banyak orang ahli, tetapi kehadirannya di dunia tidak mendatangkan
kemaslahatan, justru menjadikan musibah.
Agar anak-anak kita ke depan mampu
meneladani kehebatan, kecerdasan dan keluhuran akhlak para ulama, intelektual
dan profesional di tujuh abad pertama Hijriyah, orangtua harus kembali memahami
sekaligus memahmkan tujuan pendidikan dalam Islam.
Menurut Imam Ghazali, tujuan
pendidikan harus mengarah kepada terealisasinya tujuan keagamaan dan akhlak
dengan titik tekan pada perolehan keutamaan taqarrub kepada Allah,
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariyat 56).
Bukan hanya sekedar untuk mencari
kedudukan tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Jika pendidikan diarahkan
pada selain untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka inilah awal dari terbukanya jalan menuju kerugian dan
kemudharatan.
Terkait hal ini, Allah memberi
contoh teladan pendidikan yang ditanamkan oleh Luqman Al-Hakim kepada putranya.
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman 13).
Kemurnian iman seorang anak akan
memudahkan langkah berikutnya untuk menjalankan kewajiban asasinya, yakni
berbakti kepada kedua orangtua, mendirikan sholat, amar ma’ruf nahi munkar,
sabar dalam menghadapi kenyataan hidup, berakhlak mulia alias tidak sombong dan
berkata benar.
Dengan kata lain, manakala orangtua
sudah melihat kriteria utama yang merupakan kewajiban asasi seorang muslim yang
mesti dikawal oleh para orangtua terhadap pribadi dan karakter putra-putrinya
mewujud, maka bisa dikatakan, tujuan pendidikan yang Allah tegaskan benar-benar
telah tercapai.
Manakala tidak, maka sungguh
orangtua harus berusaha maksimal mengarahkannya pada tujuan utama pendidikan
tersebut. Karena kelak, di hari kiamat, setiap orangtua akan dimintai
pertanggungjawaban perihal bagaimana anak-anaknya dididik.
*) Imam Nawawi, Pemimpin Redaksi Majalah Mulia
Post a Comment