Mahalnya Sebuah Kejujuran
Oleh Prof. Dr. Indarto
Pada akhir Ramadhan
tahun ini, kami mengikuti workshop singkat penulisan opini di media massa,
bertempat di kantor Fahma, dengan pemateri Ustadz Anwar Zaelani, sang penulis buku “Mewarnai
Dunia dengan Menulis”. Beliau memberikan beberapa contoh tulisan opini yang
telah dimuat di koran Jawa Pos, salah satunya adalah Kantin Kejujuran, Pendidikan Antikorupsi. Ternyata, saat ini banyak
kantin tersebut yang sudah tutup, kehabisan modal.
Mendengar kata ‘kejujuran’ tersebut, saya jadi teringat pada sebuah peristiwa
yang menyedihkan yang pernah terjadi di kampus, di tempat proses pendidikan
berlangsung. Ketidak jujuran yang harus ditebus, selain dengan harga yang
sangat mahal, juga hilangnya waktu yang tidak mungkin bisa diputar-ulang lagi.
Saat ini kita hidup di era
Teknologi Informasi. Baik
proses maupun komunikasi dapat dikendalikan atau dilaksanakan secara jarak jauh,
termasuk pengisian kartu rencana studi (KRS) oleh mahasiswa di setiap awal
semester. Namun kami percaya bahwa dalam proses pendidikan, komunikasi antara
mahasiswa dengan dosen secara berhadapan, masih merupakan cara komunikasi yang terbaik.
Untuk itu, meskipun KRS sudah dilakukan secara online, namun jurusan
kami masih tetap memberlakukan peraturan, bahwa KRS yang sudah diproses secara online harus tetap dimintakan tanda
tangan kepada dosen pembimbing akademiknya. Karena pada saat bertemu, diharapkan ada interaksi di
antara keduanya. Dosen bisa memberikan nasehat dan mahasiswa juga bisa
berkonsultasi tentang masalah yang sedang dihadapi, baik akademik maupun non
akademik. Meskipun ada juga dosen yang memberikan tanda tangan hanya sambil
lalu saja, tanpa bertanya-jawab antara keduanya.
Untuk memperbanyak jumlah pertemuan, maka selain KRS, kartu peserta
ujian baik tengah semester maupun akhir semester, harus dimintakan tanda tangan juga. Namun kelihatannya,
tidak semua mahasiswa memahami dan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk
berkonsultasi. Justru mereka menganggap hal ini sebagai kewajiban yang cukup
membebani, karena memang tidak semua dosen mudah ditemui. Ada yang janjiannya
cukup sengan SMS
sehingga mahasiswa tidak perlu kehilangan waktu untuk menunggu, karena hari, jam dan tempat bertemunya sudah disepakati
dalam SMS. Ada yang tidak
bersedia janjian, langsung bertemu
saja, sehingga kadang-kadang mahasiswa harus lama menunggu tanpa kepastian.
Suatu saat, pernah ada beberapa mahasiswa yang kurang cerdas dalam mensikapi
masalah ini. Saya katakan kurang cerdas, karena kalau cerdas, sebelum melakukan
sesuatu pasti sudah memperhitungkan segala akibatnya. Meskipun di antara mereka
ada yang “pandai”, karena mempunyai indeks prestasi komulatif 3,4 yang berarti
mendekati cumlaude. Mungkin, mereka
melakukan hal ini juga karena memang sudah beberapa kali tidak berhasil menemui
dosen pembimbingnya, lalu mereka mengambil jalan pintas. Dengan keberaniannya, mereka
membubuhkan tanda tangan dosen pembimbing dalam kartu peserta ujiannya.
Padahal, seandainya ada mahasiswa yang belum berhasil mendapatkan tanda
tangan dan sudah tiba saatnya untuk ujian, maka Pengurus Jurusan akan mencarikan
jalan keluar. Secara logika sederhana, tidak mungkin seorang mahasiswa tidak
bisa menempuh ujian, hanya gara-gara belum mendapatkan tanda tangan dosen
pembimbingnya.
Sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat terjatuh juga. Akhirnya
perbuatan mereka ketahuan, dan jurusan
memberikan sanksi yang
cukup berat, dengan tujuan agar mereka tidak mengulang lagi, atau mahasiswa lain
tidak melakukan hal yang sama. Hasil jerih payah mereka selama satu semester,
baik nilai ujian semua mata kuliah di semester tersebut, nilai praktikum maupun
nilai yang lain digugurkan semua.
Sangat menyedihkan memang, upaya yang telah dilakukan selama enam bulan
musnah semua. Bangun pagi, kuliah, mengerjakan tugas, melaksanakan praktikum
dan membuat laporan, tidak menghasilkan apapun. Dana untuk makan, transportasi,
membayar sewa kamar kos, uang SPP, uang sks, sewa internet, dan lain-lainnya, musnah
begitu saja. Namun kita tidak boleh lupa, malapetaka korupsi yang diderita oleh
bangsa kita ini juga dimulai dengan adanya ketidakjujuran.
*) Prof. Dr. Ir. Indarto, Dosen Teknik Mesin Universitas Gajah Mada | Pimpinan Umum Majalah Fahma
Post a Comment