Penilaian Otentik, Penilaian Apa Adanya
anak-anak TK Tawakal, Sleman |
Oleh Slamet Waltoyo
Banyak di
antara orangtua yang menekan anak untuk belajar hanya saat menghadapi ulangan
saja. Baik ulangan tengah semester, ulangan akhir semester maupun ulangan
kenaikan kelas. Dan anak dianggap sedang belajar kalau sudah memegang buku di ruang belajar.
Ini tidak salah. Tetapi belum cukup, atau lebih tepatnya perlu menyesuaikan
dengan karakteristik penilaian kelas pada Kurikulum 2013.
Pada Kurikulum
2013, penilaian terhadap anak mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan
yang dilakukan secara berimbang. Penilaian dilakukan secara holistik pada
ketiga aspek tersebut baik dalam penilaian proses (selama pembelajaran
berlangsung) maupun dalam penilaian hasil belajar (setelah pembelajaran usai
dilaksnakan). Pada jenjang pendidikan dasar proporsi kompetensi sikap
(pembinaan karakter) lebih diutamakan dari pada proporsi kompetensi pengetahuan
(pembinaan akademik).
Salah satu
karakteristik penilaian yang ditekankan pada Kurikulum 2013 adalah penilaian
otentik. Karena penilaian otentik akan memberikan gambaran kemampuan anak pada
ketiga aspek di atas. Penilaian otentik dilakukan secara komprehensif untuk
menilai aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan mulai dari input (masukan),
proses, sampau output (keluaran) pembelajaran. Penilaian otentik bersifat
alami, apa adanya, tidak di buat-buat dan tidak dalam suasana tertekan.
Sebagaimana
ditulis oleh Dr.Agus Wasisto D, M.Pd. dalam bukunya; Proses Pembelajaran dan
Penilaiannya di SD/MI/SMP/MTs/SMA/MA/SMK Sesuai Kurikulum 2013, penilaian
otentik tidak hanya untuk mengukur apa yang diketahui oleh peserta didik,
tetapi lebih menekankan apa yang sudah bisa dilakukan oleh peserta didik. Sehingga
nilai anak tidak hanya diambil dari tes tulis saja. Tes tulis hanya hanya salah
satu dari cara mendapatkan nilai, yaitu pada ranah pengetahuan.
Penilaian
otentik diambil dari berbagai macam tugas yang harus dilakukan oleh murid.
Misalnya; pada saat anak melakukan percobaan, pada saat anak bercerita baik
dari apa yang telah dibaca atau dari pengalaman yang dilakukan, saat anak
memecahkan masalah matematika, hasil tulisan berupa laporan, pada saat anak
berpidato atau membaca puisi, pada saat anak membuat sebuah karya, dan
sebagainya. Dari berbagai tugas itu tergambar kemampuan murid, baik kemampuan
dalam proses maupun hasil yang telah dilakukan.
Pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyiapkan
perangkatnya hingga teknis operasionalnya. Tinggal bagaimana para pelakunya,
yaitu para guru sebagai ujung tombak mampu menangkap dan mengimplementasikannya.
Jika
konsisten, maka ada konsekuensi pada guru dan orangtua. Pertama, orangtua tidak
hanya menunggu nilai ulangan anak tetapi
juga harus memperhatikan cara belajar anak di rumah karena hal itu juga akan
dinilai oleh guru di sekolah/madrasah. Misalnya memperhatikan buku catatan
pelajarannya, memperhatikan cara anak membaca, memperhatikan cara anak
memecahkan suatu masalah, memperhatikan cara anak melakukan pengukuran, dan
sebagainya. Karena proses yang baik akan memberikan hasil yang baik pula.
Kedua, guru
selalu siap mengikuti perkembangan anak dengan segala instrumen penilaiannya
baik aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilannya. Guru harus memahami
aktivitas anak pada momen-momen tertentu yang menggambarkan sikap atau keterampilan
anak apa adanya. Ketiga, guru harus menguasai berbagai teknik penilaian yang
mampu memberi gambaran nilai otentik. Misalnya teknik penilaian lisan,
penilaian produk, unjuk kerja, projek, observasi, penilaian diri dan
sebagainya.
*) Slamet Waltoyo, Kepala Sekolah MI
Al-Kautsar, Sleman
Post a Comment