Bahagia karena Mensyukuri Nikmat-Nya
Mohammad Fauzil Adhim, foto by google |
Oleh Mohammad
Fauzil Adhim
Tanggalnya sama,
harinya pun sama... Ada masa yang hari dan tanggalnya berulang di kalender,
tapi tak akan pernah berulang masa yang sama. Belasan tahun yang lalu saya
menikah dan di bulan Desember kami kembali ke Jogja. Tak ada tempat tinggal
yang jelas, kecuali kos masing-masing. Ketika itu saya dan istri masih sama-sama kuliah. Saya masih
harus menyelesaikan beberapa teori karena sempat terkena sindrom aktivis: ogah
menyelesaikan kuliah karena menganggap gelar nggak ada nilainya. Kalau kemudian
saya menyelesaikan kuliah, itu karena dorongan istri saya dengan alasan:
menyelesaikan kuliah bermanfaat untuk dakwah dan tidak menjadikan orang takut
menikah semasa kuliah.
Perlu waktu untuk
mampu mengontrak rumah. Ketika itu, kami menikah memang lebih berbekal kesiapan
mental. Juga keyakinan bahwa pertolongan itu sangat dekat dan janji Allah
Ta'ala itu pasti. Tinggal bagaimana berusaha untuk masuk ke dalam kelompok yang
dijanjikan pertolongan-Nya tatkala menikah. Ada saat-saat ketika keyakinan itu
dihadapkan pada keadaan yang sulit, tetapi bagaimana disebut yakin jika tidak
ada tantangan? Alhamdulillah, Allah Ta'ala berikan pertolongan yang tak
terduga-duga.
Teringat masa ketika
istri saya, di saat hamil yang pertama, nyidam sesuatu yang sebenarnya sangat
sederhana. Tapi saat itu masih terasa mewah. Maka, kemanakah akan berlari kalau
bukan mengadu kepada-Nya? Sebab saat itu saya melazimkan do'a:
اللهم اكفني بحلالك
عن حرامك وأغنني بفضلك عمن سواك
"Ya Allah, berilah aku kecukupan
dengan rezeki-Mu yang halal, (dan) jauhkanlah aku dari yang haram, dan berilah
aku kekayaan dengan keutamaan rezeki-Mu, sehingga aku tidak memerlukan bantuan
dari selain Engkau." (HR. Tirmidzi).
Bukankah pada do'a ini
terkandung permohonan untuk tidak bergantung kepada siapa pun selain hanya
kepada Allah Ta'ala? Di satu sisi, ia adalah do'a. Di sisi lain menuntut sikap
kita untuk meneguhkan tekad hanya bergantung kepada-Nya semata.
Alhamdulillah, ketika
wisuda anak saya baru 3. Sekarang pernikahan telah melintasi waktu belasan
tahun. Lebih dari 15 tahun. Satu pelajaran berharga, keyakinan itu memang
memerlukan keteguhan. Bukan hanya sekedar pengetahuan. Derita itu bukanlah
sekedar apa yang menimpa kita, tetapi soal apakah kita mensyukuri setiap tetes
nikmat-Nya ataukah senantiasa mengeluh tak habis-habis.
Kadang saya bingung
ketika ada yang protes saat saya membahas nikah dini, mengapa saya hanya
bercerita indahnya saja. Tetapi persoalannya, apakah saya harus memasang wajah
memelas untuk menceritakan keadaan awal menikah jika saat itu senyum istri saya
tetap saja mengembang? Ketika engkau qana'ah atas rezeki yang Allah Ta'ala
berikan, maka apa yang tampaknya derita buat lain, justru dapat menjadi masa
yang membahagiakan dan menyentuh jiwa. Tak terlupakan bukan karena derita, tapi
karena bersyukur atas nikmat-Nya sehingga terasa membahagiakan.
Maha Suci Allah atas
segala karunia-Nya. Maha Tinggi lagi Maha Mulia Allah Ta'ala atas segala nikmat
yang dikucurkan dengan takaran yang sempurna; tidak tiba-tiba, tidak menjadi
sebab musibah agama.
Semoga catatan sangat
sederhana ini bermanfaat bagi keluarga muda yang menapaki pernikahan dari nol.
Juga buat para bujangan yang sedang ditimpa kebimbangan dan kegelisahan saat
ingin melangkah menuju pernikahan. Semoga pula bermanfaat bagi diri sendiri
agar lebih mengingat betapa nikmat Allah Ta'ala sangat luas.
*) Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku | Twitter @kupinang
Post a Comment