Etika Berkarir itu Perlu


Oleh Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A.

Sebaiknya kita mengenalkan pada anak-anak, selain hal-hal yang benar dan salah, juga mengenalkan dengan hal-hal yang pantas dan yang kurang pantas untuk dilakukan. Karena saat ini, generasi muda kita, sudah mulai sulit membedakan mana pantas dan tidak pantas untuk dilakukan.

Hal ini sering saya alami ketika mengajar sebuah matakuliah yang di dalamnya ada materi tentang peran etika dan sopan santun dalam berkarir. Biasanya mahasiswa dengan mudah memahami tentang sopan santun, karena hal ini hanya berkaitan dengan ucapan atau tindak-tanduk untuk menghormati orang lain. Namun untuk etika tidak demikian, karena berhubungan dengan hal-hal terpuji yang dipakai untuk menilai baik atau tidaknya, pantas atau tidaknya sesuatu untuk dilakukan, dan kepekaan beretika ini tergantung dari kebiasaannya.  

Agar mahasiswa dapat memahami etika dengan baik, kami selalu memberikan contoh kasus nyata yang di dalam penyelesaiannya perlu mempertimbangkan etika. Sering terjadi, pada awalnya sebagian besar mahasiswa dalam memutuskan sesuatu yang penting, tidak terlintas di benak mereka perlunya melibatkan etika. Saya katakan pada mereka bahwa sebuah keputusan bisa berakibat fatal ketika kita mengabaikan etika, seperti yang sering kita lihat kejadian di masyarakat saat ini.

Suatu saat saya memberikan contoh sebuah kasus yang pernah terjadi di fakultas kami. Kasusnya dimulai dengan adanya sebuah perusahaan besar yang mengadakan recruitment, membuka lowongan pekerjaan bagi lulusan baru. Karena perusahaan ini cukup terkenal, maka ribuan pelamar datang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Setelah melewati beberapa tahapan seleksi, akhirnya hanya sedikit sekali yang diterima, salah satunya lulusan kami. Namun saat akan mulai bekerja, lulusan tersebut ditawari oleh perusahaan lain dengan gaji yang jauh lebih besar. 

Untuk menjajagi sikap para mahasiswa terhadap kasus tersebut, saya tanyakan kepada mereka, “Seandainya saudara menjadi lulusan tersebut, apakah saudara akan menerima tawaran itu, artinya saudara pindah perusahaan”. Saya minta kepada mahasiswa untuk menuliskan jawabannya, disertai dengan alasan-alasannya. Saya pesan pada mereka agar menjawab dengan jujur, sesuai dengan hati nuraninya.

Setelah beberapa saat, ada empat mahasiswa yang sudah selesai mengerjakan. Sambil menunggu yang lain, saya membacanya. Jawaban pertama seperti ini “Saya akan pindah ke perusahaan dengan gaji yang lebih tinggi, karena saya juga ingin berwira usaha setelah terkumpul uang banyak. Dengan gaji yang lebih besar tersebut, mungkin dengan cepat saya dapat merealisasikan keinginan saya menjadi pengusaha sukses.” Jawaban mahasiswa kedua, ketiga dan keempat, semuanya senada, mereka akan pindah. Setelah semua mahasiswa selesai, ternyata hampir semua memilih pindah.

Ketika pertamakali menjumpai kenyataan ini saya sangat kaget, di luar dugaan saya, mereka banyak yang memilih pindah ke perusahaan karena gajinya jauh lebih besar dan ini persis seperti keputusan yang telah diambil oleh lulusan waktu itu. Akibatnya? Fakultas kami di-blacklist selama beberapa tahun, perusahaan tersebut tidak sudi menerima lulusan kami. Mendengar hal ini, saya melihat wajah-wajah mahasiswa berubah, seakan timbul perasaan bersalah, saya berharap mereka menyadari kekeliruannya.

Kemudian kami jelaskan, mengapa perusahaan tersebut marah dan wajar kalau dia marah, karena lulusan itu telah melakukan suatu hal yang tidak pantas. Memang dilihat dari sisi hukum, lulusan itu punya hak untuk pindah, tetapi dilihat dari etika berkarir, maka dia telah melanggar. Dia tidak pernah berpikir bahwa perusahaan tersebut akan kehilangan karyawan, yang dengan susah payah telah diseleksi dengan waktu dan biaya mahal, karena perusahaan harus mengirimkan para stafnya ke berbagai kota di Indonesia (saat itu belum online). Termasuk membiayai berbagai proses seleksi, dari ribuan pelamar menjadi tinggal beberapa. Dia juga tidak berpikir, bahwa akibat dari ulahnya, adik-adik angkatannya telah kehilangan kesempatan untuk bekerja di perusahaan tersebut. Bagaimana tanggungjawab kita, bila yang melakukan itu ternyata salah satu dari anak kita, karena kepada mereka tidak pernah dikenalkan tentang etika. Wallahu’alam bishawab.  



*) Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A. Dosen Universitas Gajah Mada | Pimpinan Umum Majalah Fahma
Powered by Blogger.
close