Membeli Masa Depan dengan Harga Sekarang
oleh Herwin Nur
Tidak ada yang istimewa atau menarik perhatian pada jamaah
yang duduk di shaf pertama, di masjid Al-Falah di kompleks perumahan Taman
Manggu Indah, kota Tangerang Selatan, provinsi Banten. Mungkin karena sudah ada
beberapa jamaah yang langganan menempati shaf pertama, termasuk muazin yang
siap mengumandangkan azan maghrib. Begitu azan dikumandangkan pukul 18:06 wib,
jamaah yang duduk paling kiri mengeluarkan bungkusan. Tangan tengadah, berdoa,
minum dari bekalnya. Dilanjutkan mengunyah sesuatu, mengambil yang tersisa di
multnya, dibuang ke bungkusan. Tetap duduk tenang, tanpa gerakan yang
mengundang perhatian. Ternyata, bapak yang usianya di atas usia Rasulullah,
sedang buka puasa sunah Kamis.
Kalau dihitung, hari itu cuaca panas, tidak berawan. Jelang
maghrib pun tanah masih terang. Kejadian tadi semakin berarti. Setengah jam
sebelum saya berangkat ke masjid, seorang tetangga liwat depan rumah. Pria
kelahiran setahun sebelum Proklamasi itu ahli bertutur kata. Jika ketemu orang,
tanpa diminta memoriya diputar ulang, dari Side A ke Side B. Menceriterakan
masa lampaunya ketika jadi Abdi Masyarakat alias PNS di suatu kementerian. Yang
bikin miris, jika yang bersangkutan diingatkan akan namanya yang islami, agar mikir masa
depannya. Jangan membanggakan masa lalu yang tak akan kembali. Dijawab dengan
gelengan kepala. Mulutnya tersenyum kecut. Diajak untuk reuni para hamba Allah
di rumah Allah, khususnya tausyiah subuh di hari sabtu/ahad, ybs selalu punya
alasan untuk mengelak. Atau punya alasan pribadi, niat pribadi setelah pensiun
ingin ‘duduk yang manis’. Hobi jalan kaki keliling kompleks hanya untuk
menyalurkan hobi buka memori.
Kedua kejadian di atas, akan semakin bermakna bagi kita,
karena sesuai firman Allah yang diabadikan dalam Al-Qur’an [QS Al Hasyr
(59) : 18] : “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Kedua insan di atas, dengan KTP seumur hidup, bisa
sebagai peringatan bagi kita. Jika ada perbedaan yang dilakukan, semua adalah
atas kehendak Allah. Cara mereka ‘memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)’
bukan hal yang tiba-tiba. Ada latar belakang yang menjadikan mereka atau kita
sebagai ahli masjid atau ahli lainnya yang sifatnya duniawi.
Usia di
atas 64 tahun masuk kategori usia tak produktif. Sejak tahun 2012 Indonesia
mengalami Bonus Demografi. Bonus demografi terjadi ketika jumlah penduduk
berusia produktif 15-64 tahun lebih banyak ketimbang usia tak produktif (di
bawah 15 dan lebih dari 64).
Andai jika kita
menyandang predikat ‘askar tak berguna’ atau pensiunan bukan berarti sudah
final segalanya. ‘Duduk yang manis’ sah-sah saja dan manusiawi. Jangan lupa,
kita memasuki tahapan kehidupan berikutnya, memasuki babakan kehidupan
selanjutnya. Berbekal waktu luang, bebas untuk melakukan apa saja. Melakukan
kegiatan yang tidak bisa dilakukan saat masih aktif atau dinas. Semboyan
pensiunan adalah “walau tak punya pekerjaan tetap, namun tetap bekerja”. Atau
“walau sudah punya penghasilan tetap (uang pensiun), tetap produktif atau uber
rezeki”.
Merencanakan untuk
kehidupan duniawi bisa terukur. Kapan dikhitankan. Mulai usia berapa anak disekolahkan.
Kuliah atau kerja. Usia berapa nikah. Kondisi yang diinginkan, sasaran yang
akan dicapai, target yang akan didapat, hasil yang akan diperoleh, semua
terukur. Sebagai orang tua, jarang kita menargetkan mulai usia berapa atau
kapan anak melakukan sholat. Dengan cara apa anak dipersiapkan untuk puasa
Ramadhan. Atau diri kita sendiri tidak
punya rencana kapan naik haji.
Post a Comment