Kajian Utama : Kepemimpinan Sekolah dan Budaya Sekolah Sukses


Oleh Irwan Nuryana Kurniawan

Ada banyak perhatian yang sudah diberikan untuk membuat sekolah-sekolah menjadi lebih baik. Para pembuat kebijakan menginginkan sekolah-sekolah untuk berubah secara cepat dan lebih tanggap terhadap mandat yang diberikan oleh undang-undang negara. Sebagian besar respon lebih menekankan pada penguatan struktur, melakukan standarisasi kurikulum, mengevaluasi performa siswa, dan membuat sekolah-sekolah lebih akuntabel. Dalam jangka pendek, solusi-solusi semacam ini mungkin menekan sekolah-sekolah untuk mengubah sejumlah praktek/kebiasaan dan untuk sementara meningkatkan nilai ujian. Dalam jangka panjang, tuntutan-tuntutan struktural semacam ini tidak akan pernah mampu menyaingi pengaruh espektasi-espektasi, motivasi-motivasi, dan nilai-nilai budaya

Pada level yang lebih kompleks, semua organisasi, termasuk sekolah-sekolah, membaik performanya dengan mengembangkan sebuah sistem norma, nilai, dan tradisi yang disepakati  bersama. Hal tersebut menyebabkan setiap usaha dilakukan penuh dengan gairah, semangat, dan bertujuan. Sekolah-sekolah akan berfungsi optimal ketika orang-orang di dalamnya dengan penuh antusias meyakini dan memegang teguh nilai-nilai kunci, norma-norma utama, dan tradisi-tradisi penting. Kunci untuk keberhasilan performansi sekolah adalah ‘merasuknya” nilai-nilai, norma-norma, dan tradisi-tradisi utama tersebut ke dalam hubungan-hubungan antar pribadi, usaha-usaha mereka untuk melayani semua siswa, dan rasa tanggungjawab bersama terhadap proses belajar. Tanpa hal tersebut, sekolah-sekolah akan menjadi gedung-gedung belajar tanpa jiwa, gairah, dan ruh.

Budaya sekolah yang kuat dan positif tidak terjadi begitu saja. Budaya sekolah yang kuat dan positif dibangun sekian lama oleh pihak-pihak pemangku kepentingan di sekolah, termasuk dan terutama oleh kepemimpinan sekolah yang mendorong dan menegakkan nilai-nilai, norma-norma, dan tradisi-tradisi utama. Banyak sekolah berkembang lambat dan mengalami banyak kesulitan dengan budaya sekolah yang lemah atau tidak fokus disebabkan “lemahnya” kepemimpinan dan kurangnya kepedulian. Sebaliknya banyak sekolah yang berkembang pesat dengan budaya sekolah yang positif dan fokus karena didukung oleh guru-guru yang berjiwa kepemimpinan dan kepala sekolah yang secara terencana maupun tidak terencana memperkuat “best practices” yang paling mungkin dicapai sekolah.

Kepemimpinan sekolah harus membentuk dan menyediakan “nutrisi” bagi budaya sekolahnya di mana setiap guru bisa memberikan perbedaan (memiliki peran penting) dan setiap anak bisa belajar. Kepemimpinan sekolah harus memiliki gairah dan komitmen untuk merancang dan mempromosikan semua kemungkinan terbaik yang bisa diraih sekolah. Untuk bisa menjalankan fungsi tersebut, kepemimpinan sekolah, menurut Peterson dan Deal (2009) harus mampu membaca “petunjuk-petunjuk” budaya, memikirkan dan mempertimbangkan kembali pola-pola dan cara-cara yang berlaku, dan memperkuat atau bahkan mentransformasi budaya.

Sangat penting bagi seorang pemimpin untuk “membaca” praktek-praktek kultural yang “berlaku dan berlangsung” di sekolah untuk bisa memahami unsur-unsur utama dari budaya sekolahnya. Mereka perlu membicarakan, memikirkan, dan mempertimbangkan kembali akar dari unsur-unsur utama budaya sekolahnya sekarang ini. Selama proses ini, seorang pemimpin sedang memaknai dan secara intuitif mengenali cara-cara yang positif (baca: memuaskan) maupun cara-cara yang negatif, menekan, atau bahkan merusak.

Pimpinan sekolah perlu mengidentifikasi norma-norma, nilai-nilai, ritual-ritual, dan tradisi-tradisi yang positif dan mendukung untuk memahami makna cerita-cerita dan untuk mengetahui arti penting simbol-simbol yang berlangsung dan berlaku di sekolahnya. Selain itu, pimpinan sekolah juga perlu menemukan aspek-aspek budaya sekolah yang mungkin negatif, merusak, atau bahkan meracuni. Hal-hal positif apa yang perlu lebih sering diperkuat dan hal-hal negatif apa yang perlu dihilangkan.  Pimpinan sekolah perlu bekerja dalam cara-cara yang beragam untuk memperkuat pola-pola budaya yang positif dan memberikan perhatian penuh secara terus menerus. Selain itu, ciri-ciri yang negatif perlu ditransformasi, diubah menjadi budaya positif, seperti sebuah misi yang berfokus pada belajar siswa dan guru, keyakinan positif tentang potensi siswa maupun guru untuk belajar dan berkembang, rasa tanggungjawab bersama terhadap keberhasilan siswa, dan lain sebagainya.


*) Irwan Nuryana Kurniawan, Pemimpin Redaksi Majalah Fahma | Dosen Psikologi Universitas Islam Indonesia
Powered by Blogger.
close