Kapan Harus Memuji Anak?
Oleh Arif
Wicaksono
Banyak
orangtua yang memuji anaknya
sebagai anak yang pintar setelah ia berhasil menyatukan puzzle. Ada pula yang
mengatakan ia merupakan pelukis berbakat saat ia memperlihatkan hasil karyanya.
Tepatkah hal ini? Berbahagialah karena kita sebagai orangtua sudah memnadji
‘motor’ utama bagi anak untuk mengembangkan kemampuannya. Namun ada hal lain
yang perlu kita pikirkan, apakah pada momen seperti itu saja kita memuji anak?
Menurut Carol Dweck, profesor dalam bidang psikologi perkembangan pada Stanford University, memuji hasil yang dicapai anak (dan bukan bagaimana upaya mereka untuk mencapainya) bisa menurunkan rasa percaya diri dan motivasi dalam dirinya. Bukan hal ini yang ingin kita lakukan, kan? Misalnya, kita memuji si kecil yang menunjukkan hasil gambarnya, “Wah.. Kamu sangat berbakat! Gambar ini sangat bagus!” Apa hasilnya? Anak akan takut mencoba lagi nantinya (“Gambar aku nanti mungkin nggak sebagus ini”), salah mengerti (“Ini nggak bagus. Aku, kan, cuma menggambar sawah!”, serta anak mulai tahu kalau kita berpura-pura memujinya dan mempertanyakan ketulusan Anda (“Ayolah.. Ini nggak sebegitu bagusnya, kok”).
Ada berbagai contoh dari memuji upaya anak ketimbang memuji hasilnya. Penelitian menunjukkan, hal ini justru bisa meningkatkan rasa percaya diri dan anak akan menghadapi tantangan dengan rasa senang dan bukan dengan rasa takut.
Misalnya saat anak baru saja mengetahui cara membaca rambu lalu lintas yang baru. Jika memuji hasil, kita akan berkata, “Wah… Kamu sangat pintar! Kamu bisa melakukannya sendiri.” Namun beda dengan memuji upaya, perkataannya jadi, “Kamu benar-benar memperhatikan rambu lalu lintas, ya. Seru, kan, bisa belajar begitu banyak rambu-rambu yang ada? Yuk, cari rambu yang lain bareng!”
Menurut Carol Dweck, profesor dalam bidang psikologi perkembangan pada Stanford University, memuji hasil yang dicapai anak (dan bukan bagaimana upaya mereka untuk mencapainya) bisa menurunkan rasa percaya diri dan motivasi dalam dirinya. Bukan hal ini yang ingin kita lakukan, kan? Misalnya, kita memuji si kecil yang menunjukkan hasil gambarnya, “Wah.. Kamu sangat berbakat! Gambar ini sangat bagus!” Apa hasilnya? Anak akan takut mencoba lagi nantinya (“Gambar aku nanti mungkin nggak sebagus ini”), salah mengerti (“Ini nggak bagus. Aku, kan, cuma menggambar sawah!”, serta anak mulai tahu kalau kita berpura-pura memujinya dan mempertanyakan ketulusan Anda (“Ayolah.. Ini nggak sebegitu bagusnya, kok”).
Ada berbagai contoh dari memuji upaya anak ketimbang memuji hasilnya. Penelitian menunjukkan, hal ini justru bisa meningkatkan rasa percaya diri dan anak akan menghadapi tantangan dengan rasa senang dan bukan dengan rasa takut.
Misalnya saat anak baru saja mengetahui cara membaca rambu lalu lintas yang baru. Jika memuji hasil, kita akan berkata, “Wah… Kamu sangat pintar! Kamu bisa melakukannya sendiri.” Namun beda dengan memuji upaya, perkataannya jadi, “Kamu benar-benar memperhatikan rambu lalu lintas, ya. Seru, kan, bisa belajar begitu banyak rambu-rambu yang ada? Yuk, cari rambu yang lain bareng!”
Contoh yang lain. tanpa kita meminta, anak memakai kaus kaki
dan sepatu, serta menuju meja untuk sarapan. Jika \memuji hasil, perkataannya
“Kamu berhasil memakai kaus kaki dan sepatu kamu. Wahhh.. kamu memang
benar-benar hebat.” Perhatikan perbedaanya degan perkataan memuji uoaya, “Kamu
menemukan pasangan kaus kaki dan memakai sepatu tanpa dibantu. Banyak, lho,
yang berhasil kamu lakukan sendiri.”
Perlu diketahui bahwa terlalu sering
memberikan pujian terhadap anak mampu menjadi bumerang bagi Mama loh. Pujian diartikan oleh anak
sebagai adalah tanda ia diterima, dicintai, dan pada akhirnya ia akan selalu
berusaha untuk mendapat pujian lagi. Anak dapat merasa kecewa jika suatu ketika
mengetahui bahwa ia tak sehebat yang ia kira. Ini bisa terjadi jika anak
sering menuai pujian untuk hal-hal yang sebenarnya biasa saja dan normal
dikuasai anak seusianya.
Menurut psikolog Vera Itabiliana, perasaan kompeten itu muncul dari dalam diri
anak, bukan dari pujian. Orangtua tak perlu memuji jika anak
melakukan sesuatu yang memang sudah menjadi tanggung jawabnya atau normal
dilakukan anak seusianya. Kapan sebaiknya memuji?
Ketika anak
terlihat menonjol dalam melakukan sesuatu dibanding anak-anak seusianya.”
Hindari juga pujian yang memberi label, bahkan label positif sekalipun, seperti “Kakak, anak Mama yang pintar. Adik anak Mama yang cantik.” Hal tersebut bisa berdampak kurang baik bagi anak. Kenapa? Karena anak akan selalu berusaha hidup sesuai label tersebut untuk membuat orangtuanya senang, mencintai, dan me-nerimanya. Pada akhirnya, label tersebut bisa menjadi tekanan bagi si kecil ketika ia merasa tidak sesuai dengan label yang dilekatkan pada dirinya.
Hindari juga pujian yang memberi label, bahkan label positif sekalipun, seperti “Kakak, anak Mama yang pintar. Adik anak Mama yang cantik.” Hal tersebut bisa berdampak kurang baik bagi anak. Kenapa? Karena anak akan selalu berusaha hidup sesuai label tersebut untuk membuat orangtuanya senang, mencintai, dan me-nerimanya. Pada akhirnya, label tersebut bisa menjadi tekanan bagi si kecil ketika ia merasa tidak sesuai dengan label yang dilekatkan pada dirinya.
Daripada
memberi pujian yang cenderung melabeli, coba berikan pujian situasional, misal:
“Wah, ulangan IPA Kakak dapat nilai bagus! Kalau Kakak rajin belajar, pasti
sering dapat nilai bagus seperti ini!” atau “Sekarang Adik sudah bisa pilih
baju sendiri ya. Adik manis sekali, deh, memakai rok merah itu”.
*) Arif Wicaksono, Pendidik Tinggal di Jogja
*) Arif Wicaksono, Pendidik,
tinggal di Yogya
Post a Comment