Menggagas Konsep Pendidikan Tauhid
Oleh Imam
Nawawi
Semua orang tentu
sangat terkejut dengan kondisi bangsa hari ini. Bagaimana tidak, ahli hukum
justru melanggar hukum. Belum lagi situasi perekonomian global yang cenderung memburuk.
Padahal seperti kita ketahui bersama, ahli di berbagai bidang tersebut juga
tidak sedikit jumlahnya.
Dari sudut pandang
Islam, problematika besar yang melanda kemanusiaan di abad ini disebabkan oleh
gerakan pemujaan akal dan pengabaian secara sengaja terhadap mu’jizat akhir
zaman yakni al-Qur’an. Atas situasi tersebut Prof. Dr. M. Naquib Al-Attas
menjabarkan secara cermat dan menyeluruh, perlunya penerapan gagasan Islamisasi
Ilmu.
Secara
historis-normatif, apa yang terjadi hari ini merupakan satu keberhasilan upaya
Iblis, musuh nyata seluruh umat manusia dalam menjauhkan mereka semua dari
jalan wahyu.
Sejak pertama kali
diciptakan sebagai seorang khalifah, Allah telah memberikan penegasan kepada
Adam bahwa Iblis adalah musuh yang nyata baginya dan seluruh keturunan umat
manusia. Bahkan dalam al-Qur’an telah jelas sekali mengapa iblis yang lebih
senior daripada Adam, justru terlempar dari surga dan hidup dalam kutukan
Allah. Tiada lain dan tiada bukan karena Iblis gagal memanfaatkan akalnya
dengan baik.
Akal yang
diberikan Allah kepada iblis ia gunakan untuk mendebat perintah Allah. Dengan
argumentasi rasionalitasnya, iblis berkeyakinan protesnya kepada Allah untuk
tidak hormat kepada Adam akan dibenarkan. Ternyata tidak, Allah langsung murka
kepada Iblis dan mengutuknya hingga akhir zaman, kemudian akan disiksa
selama-lamanya di dalam neraka.
Paparan Allah
dalam al-Qur’an itu mengindikasikan satu kehendak kuat bahwa semestinya manusia
benar-benar tunduk, patuh, dan taat kepada Allah semata, seperti apapun akal
memandang perintah tersebut. Suka tidak suka, perintah Allah harus dilaksanakan
dan segala larangan harus ditinggalkan.
Termasuk dalam
dunia pendidikan. Tujuan pendidikan hendaknya tidak direduksi hanya pada aspek
material semata. Pendidikan seharusnya justru mengintegrasikan kekuatan besar
manusia, yaitu akal dan jiwa. Akal membutuhkan informasi, dan jiwa sangat
membutuhkan petunjuk (wahyu). Oleh karena itu kita perlu satu konsep pendidikan
yang berbasis tauhid.
Tugas membangun
pendidikan berbasis tauhid ini bukan monopoli atau tanggung jawab para guru
semata. Ini adalah tugas kita bersama. Bagaimana kita mewujudkannya? Beberapa
langkah berikut diharapkan mampu memberikan satu jawaban konsepsional dan
praktik sekaligus.
Pertama,
bermujahadah dalam mentadabburi, mentafakkuri kandungan kitab suci al-Qur’an
dan mengamalkannya secara massal bahkan kolossal. Tidak bisa hanya pribadi,
atau kelompok semata. Tetapi harus serempak dan sinergis berkesinambungan.
Kedua,
meninggalkan paham anthroposentris dan segera menuju pada paham tauhidi.
Sebagaimana atsar Ali bahwa, akal dan wahyu ibarat dua tanduk yang tidak bisa
dipisahkan apalagi dipertentangkan. Maka, tidak ada ruang bagi jargon, agama
jangan pakai akal, atau pun akal tidak perlu agama, sebagaimana kampanye para
pemikir Barat kontemporer yang dipelopori oleh Rene Descartes dengan cogito
ergo sum-nya.
Ketiga, seluruh
umat Islam berkewajiban meningkatkan kepekaan atau sensitivitas terhadap
kondisi umat Islam secara menyeluruh, sehingga lahir kepedulian yang tinggi
untuk bersama-sama mengambil peran dalam menjawab tantangan zaman.
Keempat, mulailah
satu gerakan walau kecil untuk mencintai dan memakmurkan masjid. Setidaknya
dengan cara meramaikan pelaksanaan sholat jama’ah di masjid lima waktu,
meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan keilmuan di masjid, bahkan mungkin
kegiatan ekonomi di masjid.
Kelima, setiap
muslim hendaknya meningkatkan kualitas diri dengan mempertajam bekal keilmuan
ukhrowi dan duniawi sekaligus. Kita tidak boleh hanya paham satu ilmu dan lali
terhadap ilmu yang lain. Bukankah para nabi kita adalah orang yang ahli dalam
ilmu-ilmu ukhrawi dan duniawi sekaligus?
Nabi Nuh ahli
perkapalan. Nabi Ibrahim seorang arsitek pembangunan. Nabi Yusuf seorang pakar
ekonomi yang berhasil menyelamatkan umatnya dari ancaman kelaparan. Nabi Isa
juga ahli kesehatan. Dan, nabi kita, Rasulullah Muhammad juga seorang pakar
ekonomi, pakar bisnis, bahkan pakar dalam segala bidang.
Begitu pula para
alim ulama kita di masa lalu. Ibn Sina pakar kesehatan juga ahli hadis.
Fakhruddin al-.Razi pakar sastra, tafsir, bahkan juga logika. Imam Ghazali
pakar filsafat sekaligus seorang sufi. Nah, saatnya beralih menuju pendidikan
berbasis tauhid.
*) Imam Nawawi, Penulis di
hidayatullah.com | Pemimpin Redaksi
Majalah Mulia | twitter @abuilmia
Post a Comment