Sekali lagi, Sederhana Itu Baik


Oleh Muhammad Edy Susilo

”Nak, kita beli sepatu baru, ya? Lihat sepatumu sudah bolong,” kata seorang ibu sambil menunjuk kaos kaki yang mulai mengintip dari lubang di bagian depan sepatu.
Nggak usah bu. Saya masih suka sepatu ini. Enak dipakai. Lagian di sekolah yang sepatunya bolong bukan cuma sepatu saya, kok”.

Mendengar jawaban si anak, ada rasa syukur yang menelusup ke hati sang ibu. Sejak dulu memang ia dan suami selalu menanamkan kesederhanaan pada anaknya. Melalui pesan verbal dan keteladanan, mereka mengajarkan bahwa sederhana itu baik. Setelah sekian tahun berlalu, ternyata apa yang ditanam telah tumbuh menjadi sebuah sikap bersahaja yang justru mengagetkan sang ibu itu sendiri.

Kesederhanaan, disadari atau tidak, memang mulai menyingkir dari keseharian. Kehadirannya digantikan oleh sikap bermegah-megahan yang orientasinya adalah pujian orang lain. Dalam sebuah sesi diskusi dengan psikolog di sebuah taman kanak-kanak, seorang ibu mengeluhkan bagaimana anaknya tidak bisa lepas dari gadget. Tapi anehnya, dengan bangga ia menyatakan bahwa tanpa ada yang mengajari, anaknya bisa lihai dalam bermain game. Psikolog yang hadir tidak banyak memberikan penjelasan, namun dengan kata-katanya yang profesional, ia menunjukkan bahwa sebenarnya si ibu tersebut sudah tahu jawaban atas keluhannya tersebut.

Psikolog tersebut sudah sering menemui kenyataan bahwa hal-hal yang negatif seperti ketergantungan anak pada gadget, kecanduan televisi atau kesukaan anak untuk berpenampilan glamour sebenarnya merupakan buah atas apa yang ditanam oleh orangtuanya sendiri. Ada orangtua yang memberikan gadget, pakaian yang mahal atau fasilitas berlebihan supaya dipandang sebagai orang yang melek teknologi, mampu dan tidak ketinggalan zaman. Di sisi lain, ada orangtua yang memberikan gadget atau memasang televisi berlangganan supaya ia bisa bersantai dan terlepas dari kerepotan mengurus anak.

Dalam konteks pendidikan anak, sifat bermegahan amat berbahaya bagi masa depan anak. Anak adalah pribadi yang masih polos. Ketika stimuli yang datang bertubi-tubi adalah tentang bagaimana menjadi megah di depan orang lain, maka dipikirnya begitulah seharusnya hidup di dunia ini. Ada sebuah contoh nyata ketika seorang anak SMP tidak mau diantar ke sekolah dengan mobil minibus tetapi harus dengan mobil sedan! Ia malu dengan teman-temannya kalau “hanya” diantar dengan mobil minibus.

Apabila dikontraskan dengan contoh pada awal tulisan ini, memang peran lingkungan menjadi penting. Pada contoh di awal, lingkungan sekolah sama sekali tidak memandang penting penampilan. Kendati bersepatu bolong, selama si anak berahlak mulia, berprestasi dan ceria, apalagi yang harus dikhawatirkan? Sekolah memberikan visi bahwa ada banyak hal substansial yang harus diraih si anak melampaui urusan remeh temeh penampilan. Sementara pada contoh berikutnya, kesederhanaan memang tidak pernah dianggap penting, apalagi dibicarakan, di sekolah ini.
Bila diperhatikan dengan seksama, berperilaku tidak sederhana mulai menjalari semua lapisan masyarakat. Cukup banyak anak-anak di pedesaan yang malu diantar dengan menggunakan sepeda ontel, minimal harus dengan sepeda motor atau kalau bisa mobil. Alih-alih menasehati si anak, orangtua justru bersusah payah membeli sepeda motor atau mobil yang sebenarnya bukan merupakan prioritas. Mereka lupa bahwa ada banyak orang yang kuat secara finansial, tetapi tetap berperilaku sederhana, termasuk dalam menanamkan sikap tersebut kepada anak-anak.
Jika perilaku sederhana telah tertanam, maka insya Allah, orangtua sendiri yang akan memetik hasilnya. Kesederhanaan akan membuahkan rasa syukur, ketentraman dan kedamaian.

Di sebuah kompleks perumahan, terjadi “perlombaan” membeli sepeda keluaran terbaru. Satu orangtua membeli, lalu diikuti oleh yang lain. Sudah pasti sepeda ini lebih bagus, lebih canggih dan lebih menarik bagi anak-anak. Dengan harap-harap cemas, seorang ibu yang tidak ikut membeli sepeda baru bertanya pada anaknya,

“Nak, sepeda siapa yang paling bagus?”
Tanpa pernah diduga, anaknya menjawab dengan tegas
“Sepedaku, dong, bu! Aku suka sekali dengan sepeda ini”
Si anak bergegas pergi sambil mengayuh sepedanya.
Sang ibu berdiri termangu dengan perasaan haru.
Alhamdulillah..”

*) Muhammad Edy Susilo, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UPN Veteran Yogyakarta
Powered by Blogger.
close