Do'a Memohon Dijauhkan dari Pencitraan
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Ada do'a yang patut kita mohonkan kepada Allah Ta'ala seraya kita renungkan maknanya. Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa 'alaa alihi wa sallam mengajarkan kita untuk berdo'a:
اللهم لاتؤاخذني بما يقولون واغفرلي ما لايعلمون واجعلْني خيرا ممّا يظنّون
"Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang (tentang diriku). Dan ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku). Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad).
Ada etika untuk mencantumkan keterangan sumber kitab jika hadis riwayat Bukhari yang dinukil tidak terdapat pada kitab shahihnya yang terkenal. Jika seseorang mengatakan riwayat Bukhari, itu berarti hadis yang terdapat dalam Al-Jami' ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari. Tetapi jika diriwayatkan di kitab selain itu, maka harus disebutkan asalnya karena tidak pasti shahih.
Tak jarang orang berbicara tentang kita, atau menyampaikan pujian baik secara langsung ataupun tidak langsung semisal saat menuturkan biodata saat kita menjadi narasumber seminar, tetapi perkataan mereka melampaui apa yang sesungguhnya ada pada kita. Pujian yang melampaui keadaan sesungguhnya, baik berupa gambaran tentang keadaan kita maupun sifat yang dinisbahkan kepada kita, kadang muncul karena kesan yang mereka lihat, rasakan maupun dengar. Kadang pula kesan itu timbul akibat penceritaan orang lain, meskipun bukan tidak mungkin karena kita sendiri mengesankan lebih baik daripada sesungguhnya. Pujian itu bukanlah sesuatu yang patut kita syukuri, melainkan perkara yang kita patut memohonkan ampun kepada Allah Ta'ala sebagaimana do'a yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalamAdabul Mufrad tersebut.
Membaca do'a ini, malu rasanya dan khawatir jika kita merasa tenang dengan anggapan orang yang jauh lebih baik dibanding keadaan kita sendiri. Kita memohon ampun kepada Allah Ta'ala atas keburukan kita yang tidak diketahui orang lain sehingga atas sebab itu mereka memberikan pujian dan penghormatan melampui hak kita. Bukan kebaikan jika kita merasa senang dengan anggapan dan pujian orang yang melebihi keadaan kita sesungguhnya. Kita bahkan dapat berdosa karenanya. Tetapi alangkah sering diri ini merasa senang dengan anggapan orang dan bahkan sengaja menciptakan kesan yang tinggi.
Inilah yang senatiasa dikhawatiri oleh para salafuh shalih. Atas sebab itu pula mereka lebih menyukai sebutan Al-Faqir atau sebutan lain yang rendah hati. Bukan membuat julukan bombastis.
Tapi, bukankah kita dituntunkan untuk menjaga muru'ah (kehormatan diri)? Betul. Kita sangat perlu menjaga muru'ah, terlebih bagi seorang pendidik. Ini untuk menjaga agar tidak direndahkan, diremehkan. Bagi seorang yang berdakwah, menjaga muru'ah memang agar dirinya tidak direndahkan, tetapi tujuan yang lebih utama adalah agar agama ini tidak direndahkan saat tuntunan agama itu terlontar dari lisannya. Menjagamuru'ah juga dimaksudkan untuk menampakkan nikmat Allah Ta'ala sehingga ia tidak terlihat sebagai seseorang yang memelas perlu belas kasihan. Ia menjauhkan saudaranya sesama muslim dari sikap menghinakan. Dus, berbeda sekali antara menjaga kehormatan dengan menampakkan diri agar mengagumkan orang lain.
Bagian penting do'a yang tidak boleh kita lupakan adalah memohon agar Allah Ta'ala jadikan kita lebih baik daripada anggapan orang dengan sepenuhnya menyadari bahwa keadaan kita sekarang belum sebaik yang disangka orang. Kita memohon agar Allah Ta'ala baikkan diri kita seraya kita berusaha memperbaiki diri. Kita juga meneguhkan pada diri kita keyakinan dan penghayatan bahwa sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah Ta'ala. Baginya segala puji dan hanya Dia Yang Layak atas segala pujian. Setiap pujian kepada kita sesungguhnya menunjukkan sifat kepemurahan Allah Ta'ala yang telah mengucurkan nikmat kepada kita sehingga kita meraih kebaikan.
Wallahu a'lam bish-shawab.
*) Mohammad Fauzil Adhim | Penulis Buku
اللهم لاتؤاخذني بما يقولون واغفرلي ما لايعلمون واجعلْني خيرا ممّا يظنّون
"Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang (tentang diriku). Dan ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku). Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad).
Ada etika untuk mencantumkan keterangan sumber kitab jika hadis riwayat Bukhari yang dinukil tidak terdapat pada kitab shahihnya yang terkenal. Jika seseorang mengatakan riwayat Bukhari, itu berarti hadis yang terdapat dalam Al-Jami' ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari. Tetapi jika diriwayatkan di kitab selain itu, maka harus disebutkan asalnya karena tidak pasti shahih.
Tak jarang orang berbicara tentang kita, atau menyampaikan pujian baik secara langsung ataupun tidak langsung semisal saat menuturkan biodata saat kita menjadi narasumber seminar, tetapi perkataan mereka melampaui apa yang sesungguhnya ada pada kita. Pujian yang melampaui keadaan sesungguhnya, baik berupa gambaran tentang keadaan kita maupun sifat yang dinisbahkan kepada kita, kadang muncul karena kesan yang mereka lihat, rasakan maupun dengar. Kadang pula kesan itu timbul akibat penceritaan orang lain, meskipun bukan tidak mungkin karena kita sendiri mengesankan lebih baik daripada sesungguhnya. Pujian itu bukanlah sesuatu yang patut kita syukuri, melainkan perkara yang kita patut memohonkan ampun kepada Allah Ta'ala sebagaimana do'a yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalamAdabul Mufrad tersebut.
Membaca do'a ini, malu rasanya dan khawatir jika kita merasa tenang dengan anggapan orang yang jauh lebih baik dibanding keadaan kita sendiri. Kita memohon ampun kepada Allah Ta'ala atas keburukan kita yang tidak diketahui orang lain sehingga atas sebab itu mereka memberikan pujian dan penghormatan melampui hak kita. Bukan kebaikan jika kita merasa senang dengan anggapan dan pujian orang yang melebihi keadaan kita sesungguhnya. Kita bahkan dapat berdosa karenanya. Tetapi alangkah sering diri ini merasa senang dengan anggapan orang dan bahkan sengaja menciptakan kesan yang tinggi.
Inilah yang senatiasa dikhawatiri oleh para salafuh shalih. Atas sebab itu pula mereka lebih menyukai sebutan Al-Faqir atau sebutan lain yang rendah hati. Bukan membuat julukan bombastis.
Tapi, bukankah kita dituntunkan untuk menjaga muru'ah (kehormatan diri)? Betul. Kita sangat perlu menjaga muru'ah, terlebih bagi seorang pendidik. Ini untuk menjaga agar tidak direndahkan, diremehkan. Bagi seorang yang berdakwah, menjaga muru'ah memang agar dirinya tidak direndahkan, tetapi tujuan yang lebih utama adalah agar agama ini tidak direndahkan saat tuntunan agama itu terlontar dari lisannya. Menjagamuru'ah juga dimaksudkan untuk menampakkan nikmat Allah Ta'ala sehingga ia tidak terlihat sebagai seseorang yang memelas perlu belas kasihan. Ia menjauhkan saudaranya sesama muslim dari sikap menghinakan. Dus, berbeda sekali antara menjaga kehormatan dengan menampakkan diri agar mengagumkan orang lain.
Bagian penting do'a yang tidak boleh kita lupakan adalah memohon agar Allah Ta'ala jadikan kita lebih baik daripada anggapan orang dengan sepenuhnya menyadari bahwa keadaan kita sekarang belum sebaik yang disangka orang. Kita memohon agar Allah Ta'ala baikkan diri kita seraya kita berusaha memperbaiki diri. Kita juga meneguhkan pada diri kita keyakinan dan penghayatan bahwa sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah Ta'ala. Baginya segala puji dan hanya Dia Yang Layak atas segala pujian. Setiap pujian kepada kita sesungguhnya menunjukkan sifat kepemurahan Allah Ta'ala yang telah mengucurkan nikmat kepada kita sehingga kita meraih kebaikan.
Wallahu a'lam bish-shawab.
*) Mohammad Fauzil Adhim | Penulis Buku
Post a Comment