Kolom Prof In : Silaturahmi Memperlancar Rejeki
Oleh Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A.
Setelah 20 tahun tinggal di rumah dinas, kami sekeluarga mulai merasakan ketidak-nyamanan lagi, karena
jalan di samping perumahan yang semula masih sepi, saat itu sudah ramai sekali.
Lalu kami merencanakan pindah ke tempat yang suasananya lebih nyaman. Alhamdulillah, saat itu kami mempunyai
tabungan sebidang tanah, tidak begitu luas, terletak di sebuah dusun, berjarak empat
kilometer utara perumahan.
Namun ketika kami akan membangun rumah di atas tanah
tersebut, kami ragu-ragu, karena saya dan istri belum menunaikan ibadah haji. Ada
teman dekat yang menyarankan, sebaiknya dana untuk membangun rumah dipergunakan
terlebih dahulu untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima. Akhirnya, kami
putuskan, insya
Allah kalau ada rejeki lagi kami akan membangun
rumah setelah menunaikan ibadah haji. Waktu itu, untuk melaksanakan haji tidak
harus antri, bila sudah membayar lunas, langsung berangkat pada tahun
berikutnya.
Subhanallah, Allah Ta’ala telah memenuhi
janjinya memberikan rejeki yang lebih banyak, sehingga sejak enam bulan dari
kepulangan haji, kami mulai berani membangun rumah. Rejeki yang Allah berikan
ini juga termasuk dipertemukannya kami dengan seorang peserta haji dalam
rombongan yang sama, yang profesinya sebagai developer perumahan, seorang pemborong bangunan. Kebersamaan di
tanah suci selama kurang lebih 40 telah menumbuhkan rasa persaudaraan, terjalin tali silaturahmi yang kuat di antara kami. Sehingga
kekuatan silaturahmi ini berdampak pada biaya pembangunan rumah kami yang sangat murah.
Biaya tiap meter perseginya hanya 65%
lebih sedikit, dibanding harga umum pada waktu itu. Hampir
semua teman yang menanyakan biaya pembuatan rumah, mereka tidak percaya ketika
mendengar jawaban kami.
Belum genap setahun pindah rumah baru, suatu sore sepasang
suami-istri datang ke rumah kami.
Ternyata yang
laki-laki adalah teman waktu di SMA, di kota asal kami, dan sekaligus juga teman kuliah di
Yogya. Saya sempat kaget, karena sepengetahuan kami, dia masih bertugas di luar
Jawa. Ternyata, baru saja pindah tugas, dipromosikan ke Yogya, menjadi pimpinan
perusahaan yang mengurusi masalah perlistrikan. Kami berdua, ketika di SMA,
dari kelas satu sampai lulus selalu dalam kelas yang sama sehingga kami menjadi
akrab.
Kami punya kenangan yang sangat berkesan, dulu kalau
berangkat sekolah saya sering membonceng dia, namun karena sepedanya tidak ada
boncengannya, terpaksa satu tempat duduk untuk kami berdua. Dia rela
berdesakan, daripada meninggalkan saya jalan kaki sendiri. Kebersamaan ini juga
yang telah memperkuat tali silaturahmi di antara kami.
Ketika dia pamit akan pulang, dia sempat melihat-lihat ke
belakang rumah yang memang masih belum sempurna. Tiba-tiba dia berkata, “Lho... Ce (panggilan
akrab sewaktu di SMA), rumahmu masih mengambil listrik dari tetangga ya?” Sebetulnya malu juga,
rumah seorang guru besar, listriknya masih mengambil dari tetangga. Saya
jelaskan, bahwa tiang listrik yang terpasang di desa ini, jaraknya masih cukup
jauh dari rumah kami. Sehingga biayanya mahal kalau akan menyambung ke jaringan
langsung, karena harus menambah dua tiang listrik. Mendengar itu dia hanya
senyum-senyum saja, lalu dia pamit
pulang.
Ternyata, senyumannya mengandung arti yang lain, karena keesokan
harinya terlihat seseorang dengan seragam perusahaan listrik melakukan
pengukuran di sepanjang jalan depan rumah. Tiga hari berikutnya, saat kami
pulang dari kantor, sudah terlihat ada dua tiang listrik baru terpasang, yang
kabelnya terhubung dengan rumah kami sehingga aliran listrik yang ke rumah tidak
dari tetangga lagi. Bahkan dengan terpasangnya tiang itu, tetangga yang lain
bisa ikut menyambung langsung ke jaringan. Para tetangga mengira bahwa kami
yang membiayai pemasangan tersebut. Meskipun sudah kami jelaskan, namun saya
tidak yakin kalau mereka menjadi percaya bahwa kami tidak mengeluarkan biaya
sedikitpun.
Kiranya, tidak salah kalau saya mengatakan pada
anak-anak, bahwa kemudahan-kemudahan ini merupakan rejeki dari eratnya tali silaturahmi sebelumnya.
Alhamdulillah, Allah Ta’ala telah memudahkan
urusan kami.
*) Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A. Guru Besar Universitas Gadjah Mada |
Pimpinan Umum Majalah Fahma
Post a Comment