2 Langkah Membangun Sikap Optimis

Oleh : Imam Nawawi
Siang itu Dian dipanggil oleh atasan tempatnya bekerja. “Wow ada apa ya,” gumam Dian dalam hatinya. Setelah mengetuk pintu dan bersalaman dengan atasannya, Dian yang memang dikenal berintegritas itu dipercaya oleh atasannya sebagai karyawan perusahaan yang berhak untuk mengikuti pelatihan kerja selama satu semester di luar negeri.
Dian sangat bergembira. Segala keperluan untuk keberangkatan pun segera ia urus. Sanak family pun sudah dikabari semua. Tetapi, perjalanan waktu memberikannya ‘kejutan’ yang sangat memukul hatinya. Pemilik perusahaan secara sepihak menganulir keputusan akan keberangkatan Dian. Dengan berbagai dalih, intinya jangan Dian yang berangkat pelatihan dari perusahaannya.
Sahabat, mungkin ada di antara kita yang mengalami nasib yang sama dengan Dian. Ditunjuk untuk ini dan itu, tiba-tiba dibatalkan tanpa alasan. Padahal, hati kita sudah mempersiapkan diri dan banyak hal sudah dilakukan. Namun, inilah kehidupan. Allah Maha Mengatur.
Sedih, Malu & Kecewa
Kita tentu bisa menebak, apa yang berkecamuk dalam hati Dian. Sedih, malu dan kecewa bercampur aduk. Membuat hari-hari terasa seperti mendung kelabu. Dan, ini adalah hal yang wajar. Karena memang manusia juga Allah ciptakan dengan kelemahan.
Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, “Apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya berpalinglah ia dan membelakang dengan sikap sombong; dan apabila ia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa” (QS. Al-Ira [17]: 83).
Dalam menjelaskan makna ayat tersebut, Sayyid Qutb dalam karyanya Fii Zhilalil Qur’an berpendapat bahwa, kenikmatan, tabiatnya memang menyesatkan dan menyombongkan selama manusianya tidak mengingat Allah Ta’ala, sehingga memuji dan bersyukur.
Sedangkan, kesengsaraan itu tabiatnya membuat manusia putus asa dan pesimis selama manusia tidak berhubungan kepada Allah. Tetapi, kalau berhbungan dengan Allah, mereka tetap bisa berharap dan bercita-cita, tenang dengan rahmat dan karunia-Nya, sehingga ia dapat bersikap optimis dan bergembira.
Tidak larut dalam masalah yang menimpa, kemudian kehilangan semangat dan berpikir buruk yang pada akhirnya justru akan merugikan diri sendiri. Dengan demikian, teranglah bagi kita semua bahwa salah satu langkah untuk tetap optimis adalah mengingat Allah. Namun bagaimana perwujudan dari mengingat Allah yang harus kita upayakan?
Pertama, husnudzon billah. Husnudzon billah adalah manivestasi dari mengingat Allah secara konkret. Hal ini didasarkan pada apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, berkata, bersabda Rasulullah: Allah berfirman: “Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku, dan Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku; jika ia mengingat-Ku dalam jiwanya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku; dan jika ia mengingat-Ku dalam lintasan pikirannya, niscaya Aku akan mengingat-Nya dalam pikirannya kebaikan darinya (amal-amalnya); dan jika ia mendekat kepada-ku setapak, maka aku akan mendekatkannya kepada-Ku sehasta; jika ia mendekat kepada-ku sehasta, maka aku akan mendekatkannya kepada-ku sedepa; dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan menghampirinya dengan berlari” (HR. Bukhari-Muslim).
Jadi, peristiwa apapun yang menimpa kita, terlebih hal-hal yang membuat kita malu, sedih dan kecewa. Kembalikan saja semua kepada Allah Ta’ala dengan tetap berprasangka baik kepada-Nya (husnudzon billah). Insya Allah hati akan tetap tenang dan jiwa akan terus optimis mengisi kehidupan fana ini.
Kalau merasa sulit untuk bisa menerima keadaan dengan tetap husnudzon billah, cobalah pikirkan makna bahwa Allah Maha Adil, Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar, Allah Maha Mengetahui. Pertanyaannya, adakah Allah tidak tahu masalah buruk yang menimpa kita? Jelas Allah mengetahui. Karena itu, alasan apa yang membuat kita tidak mau husnudzon billah!
Logikanya sederhana, bagaimana mungkin kamu mengharap kebaikan, sementara cara berpikirmu bahkan prasangkamu sendiri tak pernah positif? Nah….kan!
Kedua, continous improvement. Istilah continous improvement (perbaikan diri terus menerus) sebenarnya populer dalam dunia bisnis. Tetapi tidak salah jika spiritnya kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Langkah ini bisa kita lihat pada apa yang dilakukan Nabi Yusuf Alayhissalam. Ketika beliau dikucilkan, difitnah bahkan dipenjara tanpa alasan yang jelas, beliau tidak sibuk menuntut ini dan itu kepada siapapun. Tetapi beliau fokus membina ‘hubungan baik’ dengan Allah Ta’ala.
Beliau fokus mengasah ilmu yang dimiliki dari apa yang telah Allah ajarkan. Setiap hari itu terus diasah dengan terus berdoa dan berusaha agar Allah memberikan jalan keluar dari masalah ketidakadilan yang menerpa hidupnya.
Umumnya orang, begitu merasa dirinya disalahkan, dikucilkan dan lainsebagainya, langsung teriak-teriak membela diri dengan beragam argumen. Bahkan kadang kala, karena terlalu over, sampai perkataan tak patut pun dilontarkan. Padahal, ketika seseorang merespon kejelekan dengan cara yang tidak patut, keduanya menjadi sama tidak baiknya.
Jadi, daripada fokus dengan masalah buruk yang menimpa, atau pun ucapan orang yang merendahkan kita. Lebih baik kita gunakan waktu dan energi kita untuk melakukan hal-hal yang memang perlu untuk kita lakukan dan kembangkan. Bukankah kita sama-sama mengetahui bahwa pahitnya jamu itu  menyehatkan hehe.
So, mari kita isi hidup ini dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kita hadapi apapun yang terjadi dan akan terjadi dengan senjata selalu husnudzon billah dengan tekad terus memperbaiki diri. insya Allah kebahagiaan akan menjadi kenyataan. Aamiin. Wallahu a’lam.
*) Imam Nawawi | Pemimpim Redaksi Majalah Mulia | twitter @abuilmia
Powered by Blogger.
close