Izinkan Anak Berbuat “Salah”
Oleh : Ali Mahmudi
Ka’ab bin Malik. Ia salah satu sahabat mulia Rasulullah. Ia juga pemuka
sahabat kalangan Anshor dari suku Khazraj. Berkali-kali ia membersamai Rasulullah
dalam berbagai peperangan, tetapi tidak di perang Tabuk. Ketika sebagian besar
sahabat bersiap untuk perang ini, Ka’ab bin Malik tak segera melakukan hal yang
sama. Pada akhirnya ia memang tertinggal, tak ikut serta dalam peperangan ini.
Karena kesalahan ini, Rasulullah dan sahabat-sahabat lain mengucilkannya
beberapa lama hingga akhirnya Rasulullah memberi kabar gembira: “Berbahagialah
dengan hari terbaik yang engkau jumpai semenjak ibumu melahirkanmu.” Itulah
kabar tentang diterimanya taubat Ka’ab bin Malik.
Kesalahan dan kegagalan sesungguhnya merupakan bagian dari perjalanan
hidup karena kita memang tidak sempurna. Siapapun bisa melakukan kesalahan dan
mengalami kegagalan, termasuk sahabat Ka’ab bin Malik sebagaimana dikisahkan di
atas. Bahkan Nabi Adam pun pernah berbuat salah. Benar sabda Rasulullah
sebagaimana diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah bahwa setiap bani Adam
berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang
bertaubat.
Kesalahan dan kegagalan sesungguhnya melekat pada proses keberhasilan.
Thomas Alfa Edison misalnya. Ia berhasil menemukan lampu pijar setelah
melakukan 9.999 kali percobaan. Kegagalan dan kesalahan tersebut tidak menjadikannya
putus asa. Justeru ia mengatakan bahwa dengan begitu ia mengetahui ribuan cara
agar lampu tidak menyala. Sikap realistis inilah yang tampaknya menopang
kesuksesan Thomas Alfa Edison. Ia menerima kesalahan dan kegagalan sebagai
sesuatu yang wajar dan menjadikannya titik tolak untuk maju dan berkembang.
Berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan dan khawatir mengalami
kegagalan tentu saja wajar. Namun, ketika kekhawatiran itu sangat berlebihan
sehingga menghalangi untuk bertindak apapun, tentu tidak wajar. Inilah yang
mungkin secara tidak sadar dilakukan orang tua yang sangat protektif kepada
anaknya. Lihatlah bagaimana orang tua dengan segera memegang sang anak yang
sedikit terhuyung ketika sang anak baru berlatih berjalan. Lihat pula bagaimana
orang tua segera mengatakan “Nak, jangan pilih warna itu, tidak cocok, Gunakan
yang ini saja” ketika anak belajar mewarnai. Orang tua sering begitu protektif
dan tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk mencoba berbagai hal dalam
proses belajar mereka karena begitu khawatir anak melakukan kesalahan. Tak
disangsikan bahwa perilaku demikian didasari oleh rasa sayang mereka. Namun,
perilaku demikian berpotensi meneguhkan keyakinan pada diri anak bahwa
melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan adalah tabu. Akibatnya anak
cenderung menghindari tindakan apapun yang dipandangnya dapat menyebabkan
kegagalan. Akibat selanjutnya bisa diduga bahwa hal itu akan membatasi mereka
untuk berkreasi dan berkembang.
Kesadaran bahwa kesalahan dan kegagalan adalah manusiawi perlu dimiliki
oleh siapapun, termasuk anak. Mendorong dan melatih anak agar memandang
kesuksesan dan kegagalan dalam persektif yang benar penting dilakukan. Dalam
hal ini orang tua berperan penting. Mendorong anak untuk berhasil tentu saja
wajar dan bahkan harus. Namun hal itu perlu diimbangi dengan meneguhkan anak
untuk bersikap realistis untuk menerima kegagalan. Orang tua juga perlu berbagi
pengalaman bahwa tidak setiap tujuan pasti terwujud meski telah dipersiapkan
dengan teliti dan matang.
Di kelas, guru juga berperan penting untuk menumbuhkan kesadaran dan
keyakinan bahwa melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan adalah manusiawi.
Bagaimana caranya? Sesekali guru perlu mengisahkan tokoh-tokoh hebat yang dalam
kisah suksesnya juga pernah melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan. Kisah
Ka’ab bin Malik dan Thomas Alfa Edison di atas dapat dijadikan contoh. Guru
juga perlu memberikan rasa aman bagi anak untuk mencoba hal-hal baru dalam
proses belajar mereka tanpa kekhawatiran akan dicerca jika melakukan kesalahan.
Guru perlu meyakini bahwa anak akan belajar dengan cepat jika mereka berada
dalam lingkungan yang menerima terjadinya kesalahan. Guru sebaiknya menghindari
komentar atau pertanyaan yang bersifat negatif seperti: “bagaimana bisa kamu
melakukan kesalahan seperti itu?” atau “kamu tidak mendengarkan saya ya …
sehingga bisa salah seperti ini?”
Dalam kegiatan pembelajaran, guru seharusnya tidak bersegera memberikan
rumus formal kepada anak untuk menyelesaikan suatu soal. Anak perlu diberikan
kebebasan untuk melakukan eksplorasi dan menemukan cara mereka sendiri tanpa
khawatir akan dicerca jika melakukan kesalahan. Hal ini akan mendorong anak
berpikir kreatif dengan melihat berbagai kemungkinan cara menyelesaikan soal.
Mungkin saja cara mereka lebih kreatif dan lebih mudah dipahami, setidaknya
oleh mereka sendiri. Namun, mungkin juga anak akan mengalami kesulitan dan
menemui jalan buntu. Terhadap hal ini guru hendaknya membimbing mereka untuk
mengenali kesalahan mereka dan memanfaatkannya untuk proses belajar mereka.
Cara demikian akan memberikan pengalaman dan kemampuan berharga kepada anak.
Pengalaman dimaksud adalah pengalaman menghadapi masalah, bukan menghindarinya,
dan secara bebas berusaha menyelesaikannya tanpa takut gagal. Pengalaman demikian
sangat penting bagi anak mengarungi kehidupannya kelak.
Membelajarkan anak agar menyadari bahwa melakukan kesalahan dan mengalami
kegagalan adalah manusiawi memerlukan proses. Hal itu perlu dilakukan secara
berkelanjutan sehingga anak memiliki perspektif yang benar dan berimbang dalam
memandang keberhasilan dan kegagalan.
Dr. Ali Mahmudi, Dosen Matematika Universitas Negeri Yogyakarta
Post a Comment