Kajian Utama : Memuliakan Guru, Kunci Lahirnya Generasi Shalih
Oleh Galih Setiawan
Ilmu amat tinggi
kedudukannya di dalam Islam. Demikian pula mereka yang mengajarkan dan
menyebarkan ilmu. Salah satu faktor yang memegang peranan penting lahirmya
generasi shalih zaman dulu adalah betapa tingginya penghormatan mereka terhadap
guru.
Karena itu, tak salah rasanya jika kita tanamkan pada
anak-anak kita bahwa adab utama dalam menuntut ilmu adalah menghormati guru. Menghormati
guru adalah hal yang sangat vital bagi penuntut ilmu. Ilmu tidak akan
menghampiri mereka yang tidak berbakti dan hormat kepada gurunya. Banyak kisah yang akan membuat kita takjub
dengan penghormatan para ulama terhadap para guru mereka. Imam Asy-Syafi’i misalnya, ia
berkata, “Aku senantiasa membuka kertas kitab di hadapan Malik dengan lembut
agar ia tidak mendengarnya, karena hormat kepada beliau.” Bahkan Ar-Rabi’,
sahabat asy-Syafi’i sekaligus muridnya, mengatakan, “Aku tidak berani
minum air sedangkan Asy-Syafi’i melihatku, karena menghormatinya.”
Lain lagi dengan Imam An-Nawawi. Suatu hari ia
dipanggil oleh gurunya, Al-Kamal Al-Irbili, untuk makan bersamanya. Maka ia
mengatakan, “Wahai Tuanku, maafkan aku. Aku tidak dapat memenuhinya, karena aku
mempunyai uzur syar’i.” Dan ia pun meninggalkannya. Kemudian seorang kawannya
bertanya kepadanya, ‘Uzur apa itu?’ Ia menjawab, ‘Aku takut bila guruku lebih
dahulu memandang suatu suapan tetapi aku yang memakannya sedangkan aku tidak
menyadarinya.”
Para ulama kita memang sangat
menghormati orang yang lebih berilmu dan dianggapnya sebagai guru. Pada suatu
hari seorang kerabat Sufyan ats-Tsauri wafat, dan orang orang berkumpul menemuinya untuk berta’ziyah. Lalu
datanglah Abu Hanifah. Maka bangkitlah Sufyan ke arahnya, memeluknya, mendudukkan di tempatnya, dan ia duduk di hadapannya. Ketika orang-orang telah bubar, para sahabat Sufyan mengatakan, “Kami melihatmu
melakukan sesuatu yang mengherankan.” Sufyan menjawab, “Orang ini adalah orang
yang memiliki kedudukan dalam ilmu. Seandainya
aku tidak bangun karena ilmunya, aku tetap akan bangun karena usianya. Seandainya
aku tidak bangun karena usianya, aku tetap akan bangun karena kefaqihannya. Dan
seandainya aku tidak bangun karena kefaqihannya, aku akan tetap bangun karena
sifat wara’nya.”
Selain bersikap hormat, ada banyak sekali
bakti lain yang bisa kita ajarkan pada anak-anak kita
terhadap gurunya. Misalnya
mendoakannya. Abu Yusuf, murid Abu Hanifah
sangat mencintai gurunya itu, “Sesungguhnya aku mendoakan Abu Hanifah
sebelum mendoakan ayahku, dan aku pernah mendengar Abu Hanifah mengatakan,
‘Sesungguhnya aku mendoakan Hammad bersama kedua orangtuaku.”
Adab terhadap guru adalah suatu hal yang mutlak dalam proses
pendidikan, karena keberkahan ilmu tergantung pada adab, yakni adab kesopanan
murid kepada guru. Sayangnya, adab kesopanan kepada guru ini mulai luntur. Hal
ini dapat kita rasakan dalam berbagai tingkatan pendidikan. Anak-anak semakin
jauh dari sopan santun terhadap guru. Di sekolah-sekolah, para murid sudah
terbiasa menggunjingkan gurunya di belakang punggungnya. Mereka juga tidak
segan-segan memperlihatkan perilaku nakal di hadapannya, menentang perintahnya,
serta mempermainkannya tanpa rasa segan.
Sesungguhnya rusaknya pendidikan dimulai dari hilangnya adab
murid kepada guru. Sebab pendidikan bukan hanya soal transfer informasi, tetapi
juga penanaman nilai. Oleh karena itu, salah satu prioritas utama untuk
memperbaiki dunia pendidikan adalah menegakkan adab murid kepada guru. Hal itu
karena ilmu ditegakkan bersama nilai-nilai. Menghapus nilai yang melekat pada
ilmu sama dengan menghapus ilmu itu sendiri.
Di antara bentuk penghormatan kepada guru adalah dengan
berbicara sopan santun kepadanya, merendahkan diri kepadanya, mengucapkan
salam, serta menjabat tangannya (mencium tangannya), mengerjakan apa yang
dimintanya tanpa banyak mengeluh, tidak mendebatnya secara berlebihan, tidak
mengganggunya jika ia tidak berkenan, tidak menggunjingnya di belakang, dan
sebagainya.
Adab-adab inilah yang telah dipraktekkan dalam pendidikan
Islam selama ribuan tahun, dan dengan cara ini guru-guru masa silam membentuk
generasi sholih. Lalu mengapa kita tidak meneladaninya, minimal pada diri kita
sendiri dan anak-anak kita?
*) Galih Setiawan, Sekretaris
Majalah Fahma
Post a Comment