Kolom Prof. In : “Hah…, Cucu Saya Diberi ‘Bom’…???”
Oleh Prof. Dr.
Indarto, D.E.A.
Setelah selesai menghadiri acara pernikahan adiknya
di Yogya, anak kami yang sulung, bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil
kembali ke Jakarta. Ketika sampai di sana, mungkin karena kurang
istirahat sehingga daya tahan tubuhnya menurun, bapak dan salah satu anaknya
kena batuk dan pilek, lalu dibawa ke dokter.
Kebiasaan anak kami, setiap mendapat resep obat,
sebelum dibawa ke apotek selalu dikonsultasikan ke ibunya yang profesinya
apoteker, mana yang perlu dibeli dan mana yang tidak. Termasuk juga tetangga dan
kenalan sering melakukan hal yang sama, konsultasi ke istri. Pada saat anak sulung
itu menelepon
ibunya untuk konsultasi, tiba-tiba ibunya marah-marah, sambil berkomentar “Hah…., cucu saya diberi ‘bom’???”. “Jangan..., obat yang ini jangan
diminum, yang ini juga jangan, yang diminum ini saja.” (istri saya menyebut dua
macam obat yang tidak boleh diminum).
Begitu mendengar kata “cucu” dan “bom” di pembicaraan
tersebut, saya yang merasa sebagai kakeknya, tertarik juga dengan apa yang sebetulnya
terjadi. Dengan nada sedikit jengkel, istri bercerita, kalau cucu yang baru
berumur dua setengah tahun itu, di resepnya
tertulis nama lima obat. Ada antibiotik, penurun panas, obat batuk, obat
racikan yang di dalamnya ada antibiotiknya juga, dan satu macam obat lagi. Yang
menjadi kemarahan istri, selain jumlahnya berlebihan, juga jenis obatnya. Karena
ada jenis obat yang diberikan termasuk jenis obat keras. Jika obat ini
dikonsumsi secara sembarangan, mempunyai efek samping
yang membahayakan bagi peminumnya, apalagi bagi anak-anak.
Penggunaan obat
keras yang tidak tepat justru akan menyebabkan resistensi tubuh terhadap jenis obat
ini. Bisa dibayangkan, bagi sebuah keluarga muda yang
belum berpengalaman atau mungkin tidak terpikirkan
untuk konsultasi, maka anak mereka sejak kecil sudah mendapat asupan obat
keras.
Masih segar dalam ingatan kami, ketika anak-anak
masih kecil, sejak awal istri selalu memilih seorang dokter spesialis anak yang
sangat hati-hati dalam pemberian obat. Istri mencari informasi di antara teman-temannya,
di mana tempat praktek dokter anak seperti yang dimaksud. Akhirnya ditemukan
seorang dokter seperti yang dimaksud, meskipun lokasi praktek dokter itu jauh
dari tempat kami tinggal. Kami rela berempat naik sepeda motor, bersusah payah
demi masa depan kesehatan anak-anak, jangan sampai tubuh mereka menjadi tidak
peka terhadap obat yang sebenarnya adalah racun.
Apalagi saat ini, banyak sekali makanan yang dijual, mengandung zat berbahaya
yang dipakai oleh para penjual makanan yang tidak bertanggung jawab, sebagai bahan
pengawet, pewarna maupun penyedap rasa. Sehingga kami harus hati-hati, agar
tubuh mereka tidak menerima asupan racun yang namanya obat, atau zat-zat yang berbahaya
bagi tubuh tersebut.
Sebagai seorang apoteker yang sudah berpengalaman
lebih dari tiga puluh tahun, istri tahu persis bahwa seberapa bahayanya minum
obat dengan dosis yang tidak sesuai, atau jenis obat yang tidak tepat. Obat
akan bermanfaat apabila jenis dan dosisnya sesuai dengan penyakitnya. Apabila
jumlahnya berlebihan dan jenisnya tidak sesuai, maka obat itu akan bersifat
sebagai zat berbahaya dalam tubuh.
Pada dasarnya, tubuh
kita ini merupakan ciptaan yang sempurna, yang sudah dilengkapi dengan bagian
tubuh yang bernama ginjal, yang fungsinya mengeluarkan bahan berbahaya atau zat
yang memang harus dibuang. Ginjal ini
akan menyaring zat tersebut, yang kemudian dikeluarkan bersama urine. Namun kalau zat berbahaya yang
masuk ke dalam tubuh tersebut jumlah dan macamnya berlebihan, maka alat ini harus
bekerja di luar
kemampuannya secara terus menerus, yang akhirnya tidak mampu lagi menyaring. Orang
tersebut akan mengalami gangguan, yang masyarakat menyebutnya “gagal ginjal”.
Bayangkan kalau sejak kecil, anak-anak kita terbiasa
kemasukan racun karena ketidak tepatan pemberian obat dan zat berbahaya di
dalam makanan, maka tubuhnya tidak bisa berkembang dengan sehat. Menjaga anak
sebagai amanah Allah Ta’ala yang
diberikan kepada kita, sebetulnya tidak hanya menjaga dari asupan makanan,
barang dan harta haram, namun juga termasuk menjaga dari asupan zat yang berbahaya
bagi tubuh mereka. Wallahu a’lam bishawab.
*) Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A. Pimpinan Umum Majalah Fahma | Guru Besar Fakultas Teknik UGM
Post a Comment