Membangun Karakter Jujur dan Berani


Oleh : Slamet Waltoyo

Pak Sriyono, orangtua murid yang kini anaknya sudah kelas tiga SMP, menyempatkan diri “curhat” kepada kepala sekolah SD tempat anaknya dulu pernah belajar.”Pak dulu saya agak kecewa menyekolahkan anak saya disini, tetapi saya tidak jadi kapok sehingga adiknya  saya masukkan kesini lagi ”.  Kata  pak Sriyono dalam curhatnya.”Karena waktu lulus, NEM-nya rendah. Dengan NEM yang rendah itu hampir tidak diterima di SMP. Tetapi ternyata sekarang anak saya dapat banyak pujian dari guru SMP-nya” . lanjut pak Sriyono. ”Memangnya kenapa? Dapat pujian apa dari gurunya?!” tanya kepala sekolah SD menjadi bersemangat.
           
Di SMP Pak Sriyono terus mengikuti perkembangan prestasi anaknya. Diawali dengan perasaan dak-dig-dug karena NEM-nya terendah. Ternyata  prestasinya beranjak naik hingga sekarang berada dalam posisi menengah keatas. Tetapi bukan karena prestasi akademiknya Atika (anak Pak Sriyono) mendapat pujian dari guru-guru SMP-nya, melainkan karena karakternya yang berbeda diantara teman-temannya.

Ketika ulangan, disaat meman-temannya mencari jawaban dengan berbagai cara, termasuk cara-cara tidak jujur. Atika tetap istiqomah menjawab sesuai kemampuannya. Tidak tergiur untuk nyontek atau cara curang yang lain. Sikap inilah yang banyak dipuji oleh guru.  Jujur . Hal lain, yang menurut para gurunya sebagai kelebihan Atika adalah keberaniannya dalam mengemukakan pendapat atau tampil mewakili teman-temannya.

Jujur dan berani adalah dua karakter dasar yang mutlak dimiliki oleh murid sebagai dasar meraih prestasi yang sebenarnya. Maka membangun karakter menjadi lebih penting dalam pendidikan dari pada sekadar mendongkrak prestasi akademisnya. Sayang sekali di sekolah-sekolah sekarang bersemangat membentuk tim sukses untuk prestasi akademis dengan mengabaikan aspek yang jauh lebih penting, yaitu kejujuran. Itu yang dirasakan oleh anak-anak.  

Beberapa hal yang perlu diterapkan dalam membangun karakter jujur dan berani, antara lain:

Memantapkan keyakinan
Salah satu komentar Atika ketika mendapat pujian gurunya atas kejujurannya, dia berujar; “Pak, Malaikat tidak pernah luput dalam mencatat perbuatan-perbuatan kita, yang baik maupun yang buruk”. Sebuah keyakinan yang terimplementasikan dalam perbuatan. Pendidikan karakter harus dimulai dari keyakinan. Pendidikan tentang ihsan harus tersampaikan dengan baik. Keyakinan bahwa Allah ta’ala adalah Dzat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Bahwa Allah ta’ala menugaskan Malaikat untuk selalu mencatat seluruh perbuatan manusia. Bahwa Malaikat itu selalu taat dan tidak pernah lalai dalam tugasnya.

Ketika Atika mempunyai pendapat, ia yakin dengan sabda Rasulullah SAW untuk mengemukakan kebenaran itu meskipun sulit. Maka tidak ada yang memberatkan bagi Atika untuk mengatakan sesuatu yang ia anggap benar. Keyakinan ini antara lain yang mendorong anak berani berpendapat.

Di sekolah, penanaman keyakinan tidak hanya melalui pelajaran aqidah oleh guru PAI tetapi melalui seluruh mata pelajaran, seluruh guru, menyampaikan materi pelajarannya berdasarkan atas aqidah. Sehingga anak tidak hanya mendapatkan aqidah yang diteorikan dan dihafalkan melainkan aqidah yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Ini menjadi esensi dalam kurikulum yang berbasis tauhid.

Jujur, tiada Toleransi  
Guru di sekolah dan orangtua di rumah harus sepaham dan sepakat untuk tidak mentolerir  kecurangan. Guru harus memperlihatkan perilaku jujur yang terus akan diperhatikan anak. Apa yang dikatakan guru harus dibuktikan baik disekolah maupun di luar. Termasuk hal yang harus ditunjukkan adalah kejujuran dalam memberi dan mengolah nilai anak.  Sering anak berkesimpulan bahwa guru bisa merubah nilai karena nilai akhir yang ia peroleh ternyata lebih baik dari nilai harian yang harusnya diperoleh. Sekilas guru telah melakukan sesuatu yang membuat anak bangga padahal sedang meracuni anak dengan memberi contoh berbuat tida jujur.

Menekan, Menakutkan
Pendekatan yang terlalu menekan akan membuat anak takut yang akhirnya dapat berakibat anak tidak berani berpendapat. Biarkan anak berpendapat apa yang ia rasakan benar, jangan segera dipotong apalagi disalahkan. Doronglah agar berpedapat dan berilah apresiasi apapun pendapatnya. Jangan diminta memberi yang lebih dari kemampuannya dengan cara menekan. Kesabaran memunculkan potensi anak adalah dengan motivasi dan memberi kesempatan, bukan dengan memaksa atau menekan.


Drs. Slamet Waltoyo, Kepala Sekolah SD Islam Plus Al-Kautsar, Gabahan Sleman
Powered by Blogger.
close