Menghadapi Amukan “Temper Tantrums” Anak
Oleh Hepi Wahyuningsih
Dalam sebuah situs
internet, seorang ibu bercerita tentang perilaku anaknya yang berusia kurang
lebih 3 tahun. Menurut ibu tersebut kesabarannya sedang diuji karena anak
gampang ”mengamuk”. Anak sering menangis meraung-raung, bergulung-gulung dan
memukuli siapa saja di dekatnya hanya karena hal yang sepele. Tangisannya
benar-benar membuat sakit telinga dan menjengkelkan. Pernah di tengah malam si
anak mengamuk seperti itu sampai tetangga ikut keluar rumah. Ibu tersebut juga
bercerita bahwa ia pernah kehilangan kesabaran, ia pernah menepuk mulut anaknya
yang menangis karena tidak tahan mendengar tangisan anaknya. Sekali anak diam tetapi kali berikutnya
bertambah keras tangisannya.
Oleh ahli psikologi,
perilaku ”mengamuk” seperti di atas sering disebut dengan tempertantrum. Hampir
sebagian besar anak usia prasekolah mengalami perilaku ”mengamuk” tersebut.
Perilaku ini terjadi bukan untuk mencari perhatian, tetapi merupakan ekspresi
kemarahan anak karena anak belum pandai untuk mengungkapkan perasaan marahnya
secara verbal. Biasanya perilaku ini berlangsung 30 detik sampai 2 menit,
tetapi dapat bertambah lama dengan disertai perilaku agresif seperti memukul,
menggigit, dan mencubit.
Perilaku ”mengamuk” pada
anak prasekolah adalah hal yang normal ketika usaha anak untuk mandiri atau
menguasai ketrampilan tertentu terhalang oleh sesuatu. Sebagai contoh, anak
mengamuk karena ia tidak dapat mengambil mainannya atau ketika dia
disuruh/dipaksa tidur oleh orangtua padahal dia sedang asyik bermain. Beberapa
anak perilaku ”mengamuk”nya lebih dari anak yang lain. Hal ini dapat disebabkan
oleh kondisi anak (lelah atau lapar), temperamen anak yang sulit, lingkungan
yang membuat anak stress, atau faktor kesehatan anak (anak menderita autisme
atau ADHD/gangguan perhatian).
Perilaku ”mengamuk” anak
pada usia prasekolah merupakan hal yang normal karena bagian dari belajar
kemandirian dan penguasaan ketrampilan. Jika anak mengalami perilaku
”mengamuk”, orangtua disarankan untuk tidak menghentikan perilaku ”mengamuk”
anak. Usaha menghentikan perilaku ”mengamuk” kadang-kadang justru membuat
perilaku tersebut bertambah. Biasanya anak yang sedang mengamuk sudah tidak
dapat lagi mendengar nasehat orangtua. Jika orangtua memberikan nasehat pada
anak yang mengamuk, maka biasanya orangtua akan hilang kesabarannya karena
tidak didengarkan. Kemudian orangtua menjadi marah (memarahi/memukul anak),
kemarahan orangtua ini akan membuat anak menjadi merasa tidak aman sehingga
perilaku ”mengamuk” anak semakin menjadi-jadi.
Yang penting dilakukan
oleh orangtua ketika anaknya ”mengamuk” adalah menenangkan diri dan kemudian
memberikan rasa aman pada anak (misalnya dengan memeluk anak) serta
menghindarkan anak dari bahaya lingkungan fisik (misalnya, meja/kursi). Orangtua
tidak boleh menghukum anak, apalagi kemudian menjuluki anak dengan ”anak nakal”
untuk menggambarkan perilaku ”mengamuk” anak. Setelah anak tenang, orangtua
dapat mulai mengajak bicara anak sekaligus mengajari anak mengekspresikan
kemarahannya dengan benar. Misalnya ”Bapak tahu, tadi kamu jengkel karena tidak
bisa memakai sepatu. Kalau hatimu tidak nyaman atau jengkel, kamu bisa
beritahukan ke ayah, jadi kamu tidak usah menangis”.
Jika anak jengkel/marah
karena tidak dapat melakukan sesuatu, misalnya memakai sepatu, orangtua
kemudian mengajari anak untuk dapat melakukan hal tersebut. Setelah anak mampu
melakukannya, perlu ditekankan ke anak bahwa bila ia tidak dapat melakukan
sesuatu, ia dapat meminta bantuan orangtua untuk megajarinya, jadi tidak perlu
mengamuk. Agar perilaku ”mengamuk” tidak terbawa sampai remaja/dewasa, selain
hal-hal tersebut di atas, orangtua juga perlu memberikan contoh nyata bagaimana
cara yang tepat untuk mengelola rasa marah/frustasi.
Kadangkala perilaku
”mengamuk” terjadi di muka umum, bila ini terjadi, pindahkan anak ke tempat
yang aman untuk melampiaskan emosinya. Jika perilaku ”mengamuk” terjadi karena
anak ingin sesuatu yang tidak boleh oleh orangtua, maka orangtua harus tetap
konsisten. Seringkali orangtua meluluskan permintaan anak karena malu anaknya
”mengamuk” di muka umum. Jika hal ini dilakukan, biasanya perilaku ”mengamuk”
akan selalu berulang karena anak belajar bahwa jika ia menangis di muka umum,
keinginannya pasti akan terpenuhi.
Perilaku ”mengamuk” anak
sebenarnya dapat dihindari sebelum terjadi. Orangtua dapat menghindarkan anak
dari situasi yang menyebabkan perilaku ”mengamuk”. untuk itu, orangtua perlu
mengenali kebiasaan-kebiasaan anak, dan mengetahui secara pasti kondisi-kondisi
yang memicu munculnya perilaku ”mengamuk” anak. Misalnya, orangtua tahu bahwa
anaknya merupakan anak yang aktif bergerak dan gampang stres jika terlalu lama
diam dalam mobil di perjalanan yang cukup panjang. Maka supaya ia tidak
’mengamuk”, orangtua perlu mengatur agar selama perjalanan diusahakan
sering-sering beristirahat di jalan, untuk memberikan waktu bagi anak
berlari-lari di luar mobil.
Orangtua juga dapat
mencegah perilaku ”mengamuk anak” dengan memberikan pembiasaan/rutinitas
kegiatan sehari-hari pada anak. Anak akan memahami jadwal kegiatan
kesehariaannya, sehingga dia tidak lagi merasa dipaksa untuk melakukan suatu
kegiatan. Misalnya, jika anak sudah terbiasa untuk tidur jam 8 malam, maka
tanpa disuruh dia sudah bersiap untuk tidur tiap jam 8 malam. Rutinitas atau
kebiasaan ini juga akan membentuk jam biologis atau mengkondisikan tubuhnya.
Misalnya, bila jam 8 malam menjadi rutinitas waktu tidur anak, tiap menjelang
jam 8 malam pasti si anak akan mengantuk, jadi tidak usah disuruh tidurpun anak
akan pergi tidur.
Saat orangtua meminta
anak melakukan sesuatu, memberikan dua pilihan yang sama-sama baik pada anak
juga akan menghindarkan anak dari perilaku ”mengamuk” karena frustrasi.
Misalnya, orangtua ingin anaknya cepat memakai baju, orangtua bisa berkata pada
anak ”Ayo mas, pakai bajunya, mau pakai hemnya dulu atau pakai celananya
dulu?”. Pertanyaan semacam ini menggiring anak untuk melakukan keinginan
orangtua tanpa anak merasa dipaksa oleh orangtua, sehingga anak akan dengan
senang hati melakukan kegiatan memakai baju. Allahu’alam bi Showwab.
Hepi Wahyuningsih, Dosen Fakultas
Psikologi Dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas
Islam Indonesia.
Post a Comment