Parenting : Kekuatan Kata Cinta
Oleh
: Dr. Subhan Afifi, M.Si.
Seorang
anak laki-laki terlihat kesal, keluar dari gerbang sekolah. Wajahnya memendam
marah. Di depannya, anak yang lain menangis sesenggukan. Tampaknya mereka baru
saja berkelahi. Pak Guru yang tahu berusaha mendamaikan, walau tak mudah. Ini
bukan kali pertama, si bocah itu terlibat masalah dengan kawan-kawannya. Ia
memang gampang marah, mudah tersinggung, dan lebih memilih kekerasan, untuk
menyelesaikan masalah.
Anak
bertengkar atau berkelahi, itu biasa. Yang tidak biasa, ketika intensitas terjadinya
sangat sering. Ada sesuatu yang harus dicurigai sebagai biang kerok ketika anak terbiasa berperilaku temperamental, sering
terlibat persoalan dengan kawan sebaya, atau bahkan teman-temannya tak merasa
nyaman bila berada di dekatnya. Jangan-jangan pelajaran dan keteladanan tentang
“cinta” belum cukup didapatkannya di rumah.
Seorang
anak dengan luapan cinta di hatinya, akan menjadi cahaya bagi siapa saja. Tak
mungkin seorang anak “pecinta” mudah terlibat perkelahian, atau menghajar teman
sepermainannya tanpa rasa bersalah. Berkata-kata kasar, mengejek, atau
mengata-ngatai kawan dan orang lain, bukan kebiasaannya. Ia juga bukan sumber
masalah tapi justeru seringkali tampil sebagai juru damai. Karena ada cinta di
dadanya.
Pelajaran
tentang cinta sejati selayaknya didapatkan anak-anak sejak dini di rumah.
Bukankah urusan cinta dan kasih menjadi
esensi ajaran dien yang agung ini, bahkan menjadi syarat jika seseorang ingin
merasakan manisnya iman? Cinta sejati adalah cinta karena Allah Ta’ala. Bukan
yang lain. Belajar untuk, mencintai Allah
dan Rasul-Nya lebih dari kecintaan atas apapun. Cinta pada orang tua,
kakak-adik, saudara, sahabat, dan yang lainnya, semuanya dilandaskan karena
Allah. Berusaha untuk mencintai mereka semua karena Allah Ta’ala. Sekali lagi,
bukan karena yang lain. Nilai-nilai hakiki inilah yang selayaknya ditanamkan
pada anak, hingga kelak dia tumbuh menjadi laskar cinta sejati. Bukan menjadi
pemuja cinta palsu, apalagi terlarang.
Tentu
saja pelajaran tentang cinta harus diwujudkan dalam keseharian, tidak sekedar berformat
ceramah tak berbekas. Agar anak belajar menemukan cinta dalam kehidupannya, ia
harus dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan. Ini nasehat klasik
Dorothy Law Nolte. If a child lives with
acceptance and friendship, he learns to find love in the world. Apa yang
ditemukan anak di rumah adalah contoh-contoh cinta yang sesungguhnya. Sang ayah
mencintai bunda dengan ketulusan, demikian juga sebaliknya. Kakak sayang sama
adik, adik hormat kepada kakak. Begitu seterusnya, semua dirasakan sebagai
manifestasi cinta karena Allah.
Bahasa
yang selayaknya berlaku di rumah adalah bahasa cinta. Jangan pernah meremehkan
kekuatan kata-kata. Apalagi kata cinta. Kata-kata (bahasa verbal) adalah jenis
pesan komunikasi yang paling mudah menancap dalam hati. Bahasa non verbal,
lebih berfungsi sebagai peneguh bahasa verbal. Kata-kata bisa membangkitkan,
atau sebaliknya melemahkan. Bisa menginspirasi atau malah membenamkan potensi.
Sangat mulia contoh dari Sang Nabi ketika menyatakan cinta pada sahabatnya,
sebelum memberi nasihat : “Sungguh, aku mencintaimu karena Allah !” Cinta sejati karena Allah-lah yang membuat
para sahabat Rasul dari kalangan Anshar bersedia berbagi apa saja pada
saudaranya dari kalangan Muhajirin. Tanpa dihitung-hitung untung ruginya. Dan..mereka
terbiasa serta diajarkan untuk saling menyatakan cinta.
Kepada
anak-anak pun, pernyataan cinta menjadi kebutuhan. Tak usah malu, untuk
memangku si kecil yang sedang beranjak
besar sambil membisikkan: “Mas, Ayah dan Bunda cinta kamu karena Allah.”
Sebagai ungkapan penghargaan atas usaha kerasnya untuk belajar menjaga shalat
berjama’ah 5 waktu di masjid misalnya. Atau
: “Mbak, sungguh Abi dan Ummi sayang
banget sama kamu, karena kamu udah menjalankan perintah Allah. Pasti Allah juga
sayang sama Mbak…!” sebagai ungkapan tulus atas usaha puteri tercinta kita
yang terlihat sungguh-sungguh untuk mengenakan busana muslimah. Kata-kata
sejenis yang menunjukkan ungkapan cinta selayaknya sering diperdengarkan di
“baiti-jannati” kita. Bukan kata-kata yang mengobarkan permusuhan, menyiutkan
nyali, atau bahkan menghancurkan jati diri. Kebiasaan memarahi, menyalahkan,
membentak, atau sekedar menyindir yang memojokkan, jauh dari bahasa cinta.
Anak
yang tahu jika dirinya dicintai secara tulus, akan memiliki pandangan yang
positif terhadap dirinya. Pernyataan cinta akan menguatkan konsep diri,
sekaligus memberi kekuatan yang menggerakkan, agar kelak mereka juga berbuat serupa:
mencintai saudaranya karena Allah. Semoga
anak-anak kita menjadi generasi penuh cinta, karena Allah tentu saja. Amin Ya Rabb.
Dr. Subhan Afifi,
M.Si. Dosen
Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta | Redaktur Ahli Majalah Fahma | Penulis Buku
Biografi | twitter @subhanafifi | web www.subhanafifi.com
Post a Comment