Perbedaan Mengajarkan Shalat dan Halal Haram
Oleh : Moh
Hani Saputro, S. Pd.I
Suatu ketika, ada seorang ibu yang mengadu kepada seorang ustadz tentang perilaku anaknya, yang
tidak menjalankan shalat wajib. Terjadilah diskusi dengan beliau terutama
pengalaman anaknya tentang kebiasaan shalat di keluarga tersebut.
Hal ini dijelaskan oleh sang ustadz dalam sebuah
kajian.“Sesungguhnya,” kata sang ustadz, “nabi kalau dalam mengajarkan ibadah penuh kelembutan.” Misalkan
dalam pembelajaran shalat. Tetapi tegas dalam masalah halal dan haram.
Perlu diketahui bahwa, ketika
Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan
tentang shalat, beliau tidak menunjukkan “kengerian” atau ketegasan”. Misalkan ketika Rasulullah sedang mengerjakan shalat
berjamaah, kemudian beliau mempercepat
shalatnya. Mengapa? Karena
beliau mengira, ibu anak itu sedang ikut
shalat berjamaah bersama beliau. Atau ketika beliau sedang sujud dalam shalat, tiba-tiba cucu
beliau, Husein bermain kuda-kudaan di punggung beliau. Beliau tetap sujud sampai cucunya puas
dan turun dengan sendirinya.
Bagaimana dengan kita? Kita sering kali
menunjukkan bahwa shalat itu sesuatu yang menakutkan. Secara tidak sadar
pastinya. Misalnya ketika sang
ibu sedang shalat, tiba-tiba si anak
datang dan bermain di depannya. Entah menarik-narik mukena atau merangkak di bawah kaki sang ibu. Pokoknya si
anak bermain ketika sang ibu shalat, bukan untuk mengganggu ibunya.
Tapi apa yang dilakukan ibunya
kemudian? Sang ibu akan memarahi si anak dan mengatakan bahwa ibu tidak boleh
diganggu ketika sedang shalat. Yang dipahami oleh anak adalah, ibunya menjadi
pemarah ketika sedang menjalankan shalat. Maka si anak pun ketakutan dengan
ibadah yang bernama shalat. Dan itu terbawa sampai remajanya.
Bagaimana dengan perintah memukul
anak ketika tidak mengerjakan shalat? Bukankah itu mengajarkan kekerasan? KH
Abdullah Gymnastiar pernah
menyampaikan bagaimana menjalankan perintah memukul anak ketika tidak
mengerjakan shalat.
Pertama kali, Aa Gym mengajarkan
membuat perjanjian untuk
senantiasa mengerjakan shalat wajib. Dalam kesepakatan juga dijelaskan hukuman
yang akan berikan ketika meninggalkan shalat. Dan ini juga berlaku untuk semua
orang yang tinggal di rumah tersebut. Dalam hadits tidak dijelaskan, berapa
kali pukulan dan dipukul dengan apa. Maka ini menjadi kebebasan kita untuk
menentukan jumlah dan jenis pukulan yang digunakan.
Ketika memang suatu saat anak memang
lalai tidak menjalankan shalat, maka orangtua harus menjelaskan bahwa
kesepakatan tetap harus dijalankan, meskipun si anak menangis. Tetapi harus
diingat, kesepakatan dilakukan bukan dengan niat
untuk menyakiti. Bukan untuk melampiaskan kemarahan. Hanya menjalankan
kesepakatan.
Setelah selesai, peluklah anak kita
dan katakan padanya, bahwa kita menyayanginya lebih dari yang mereka kira.
Hanya saja kita tidak rela kalau mereka masuk neraka dan mendapat hukuman yang
lebih keras dari sekedar hukuman dunia.
Berbeda dengan masalah halal haram.
Rasulullah sangat keras dan tegas. Ketika suatu saat seorang cucunya, Hasan bin
Ali yang sedang merangkak meraih sebutir kurma kemudian memasukkan kurma itu ke
dalam mulutnya. Serta merta Rasulullah mengorek mulut si balita untuk mengeluarkan kurma itu sambil berkata,
“Wahai bocah, tidak tahukah kamu, bahwa keluarga kita dilarang memakan kurma sedekah.”
Rasulullah khawatir bahwa kurma yang dimakan itu adalah kurma zakat.
Bagaimana dengan kita? Kita sering
kali menganggap hal itu tidak apa-apa, karena masih sebagai anak kecil. Atau juga seringkali kita
menganggap sebagai hal yang dimaafkan karena kita tidak tahu. Tetapi tetap saja
hal itu akan membawa pengaruh buruk untuk kita. Saya mengibaratkannya seperti
seumpama racun. Sebotol racun yang mematikan tentu sangat berbahaya untuk tubuh
kita. Ketika kita meminumnya maka kita mendapatkan dua hal, yang pertama adalah
dosa. Karena meminum racun sama saja dengan bunuh diri. Dan bunuh diri itu
dosa. Yang kedua kita bisa mati atau sakit karena efek dari racun itu.
Tetapi ketika kita tidak sengaja
meminum racun yang dicampurkan dalam minuman, kita tidak berdosa. Tetapi efek
dari racun itu tetap akan bekerja. Ketika kita tidak sengaja meminum racun,
bukan berarti efeknya akan hilang. Tidak sama sekali.
Begitu juga dengan makanan haram.
Ketika kita tahu bahwa suatu makanan itu haram, tetapi kita memakannya dengan
sengaja. Berarti kita mendapat dosa. Ditambah lagi dengan efek tambahan dari
makanan haram. Misalnya membuat kita malas ibadah, membuat pikiran jadi bebal,
menghambat rejeki serta menghambat pengabulan doa.
Begitu juga dengan memakan makanan
haram dengan tidak sengaja. Kita memang tidak dosa, karena
sesuatu yang tidak sengaja itu dimaafkan. Tetapi efek dari makanan haram
ternyata tidak serta merta hilang. Efeknya tetap akan kita rasakan.
*) Moh
Hani Saputro, S. Pd.I, Pendidik di SD Unggulan Muhamadiyah Kretek
foto http://hutantropis.com/
Post a Comment