Setiap Anak Itu Unik


Oleh : Dr. Hepi Wahyuningsih

Allah Sang Mahapencipta adalah juga Sang Mahapandai. Dia ciptakan manusia tanpa ada satupun yang sama, bahkan pada orang yang kembar identik sekalipun. Dalam disiplin ilmu psikologi perkembangan, hal ini dikenal dengan istilah individual differences (setiap individu adalah unik). Menurut referensi di bidang psikologi perkembangan, individual differences terjadi karena adanya 3 faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia dan ketiga faktor tersebut saling berinteraksi. 

Adapun ketiga faktor tersebut yang pertama adalah faktor genetik. Faktor genetik yang dimaksud di sini adalah sifat yang diturunkan dari ayah dan ibu pada anak mereka. Ketika anak lahir, ia membawa perpaduan sifat ayah dan ibunya. Ada banyak kemungkinan perpaduan sifat antara ayah dan ibunya, sehingga anak yang pertama akan berbeda dengan anak yang kedua, anak yang kedua akan berbeda dengan anak yang ketiga, dan seterusnya. Misalnya, anak yang pertama hidungnya mancung seperti ibunya dan kulitnya hitam seperti ayahnya, anak kedua hidungnya biasa seperti ayahnya dan kulitnya kuning langsat seperti ibunya, sedang anak ketika hidungnya mancung seperti ibunya dan kulitnya juga kuning langsat seperti ibunya. Contoh tersebut adalah contoh yang sangat sederhana, sedangkan pada kenyataannya, perbedaan yang terjadi sangat kompleks dan tidak hanya perbedaan fisik, tapi juga perbedaan kepribadian.

Faktor yang kedua adalah faktor lingkungan. Yang dimaksud lingkungan di sini dimulai dari lingkungan terkecil anak, yaitu keluarga sampai dengan budaya dan sejarah yang dialami oleh anak yang berbeda-beda. Sebagai contoh, anak pertama dikarenakan ayahnya belum terlalu sibuk bekerja mungkin masih sering diasuh oleh ayah, tetapi pada anak yang ketika dikarenakan kebutuhan keluarga semakin banyak mungkin ayahnya sudah jarang mengasuhnya. Perbedaan ini tentu saja akan membawa perbedaan pengasuhan pada anak pertama dengan anak ketiga. Gambaran tersebut juga masih terlalu sederhana untuk menjelaskan perbedaan sesungguhnya yang lebih kompleks, terlebih seperti yang dijelaskan bahwa lingkungan bukan hanya orangtua (pengasuhan) tetapi ada budaya, kondisi sosial ekonomi orangtua, peristiwa yang terjadi, dan banyak lagi.

Faktor yang ketiga adalah kematangan. Kematangan yang dimaksud di sini adalah kesiapan biologis/fisik anak untuk melakukan fungsinya dengan baik. Ada perbedaan kematangan antara anak yang satu dengan anak yang lain. Misalnya anak pertama mungkin baru bisa berjalan pada usia 16 bulan, sedangkan adiknya sudah dapat berjalan pada usia 9 bulan. Perbedaan ini akan dapat mempengaruhi banyaknya stimulasi yang diperoleh anak. Misalnya, karena sang kakak baru dapat berjalan usia 16 bulan, kemungkinan stimulasi yang diperoleh akan lebih sedikit dibanding adiknya yang sudah berjalan pada usia 9 bulan.   

Menurut para ahli psikologi perkembangan, individual differences harus selalu diingat oleh para praktisi psikologi ketika menangani atau menghadapi individu, termasuk ketika menghadapi/menangani anak. Tentunya hal ini juga berlaku bagi orangtua dan guru sebagai orang-orang yang setiap hari berinteraksi dengan anak. Orangtua harus senantiasa ingat bahwa meskipun anak-anaknya lahir dari ibu dan ayah yang sama, tetapi antara anak yang satu dengan anak yang lain tidak dapat diperlakukan sama. Orangtua tidak boleh membanding-bandingkan anaknya yang satu dengan yang lain, terlebih antara anaknya dengan anak orang lain.

Hal yang paling menyakitkan bagi anak adalah ketika orangtuanya membandingkan dirinya dengan saudaranya terlebih dengan anak lain. Hal ini tentu tidak adil bagi anak. Contohnya, orangtua membandingkan anaknya yang “tidak dapat tenang” dengan anak tetangganya yang “anteng”. Padahal boleh jadi anaknya “tidak dapat tenang” karena mendapatkan sifat yang diturunkan darinya, demikian juga anak tetangga yang “anteng” boleh jadi karena mendapatkan sifat yang diturnkan oleh orangtuanya yang juga anteng. Sehingga tidak adil bila orangtua membandingkan anaknya dengan anak tetangganya karena dia dan tetangganya juga berbeda.

Demikian halnya dengan guru, guru harus mampu bersikap obyektif pada anak didik. Guru tidak boleh “pilih kasih” pada anak didiknya. Seringkali anak yang anteng akan mendapatkan penilaian lebih dari guru dibanding dengan anak yang “tidak dapat diam”. Anak yang “tidak dapat diam” kurang mendapatkan simpati dari guru karena kemungkinan sering merepotkan guru. 

Hal yang penting untuk diingat oleh orangtua dan guru adalah bahwa bukan tugas kita untuk memberikan penilaian pada sikap anak, terlebih ketika kita belum membimbing dan mengajarkan sikap tersebut pada anak. Tugas pertama kita sebagai orangtua dan guru adalah menerima/memahami anak, setelah itu membimbing dan mengajari anak kita, dan yang terakhir adalah mendo’akannya. Tentu semua itu perlu dilakukan dengan penuh kesabaran. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi kita untuk mengemban amanah-Nya. Amin.


Dr. Hepi Wahyuningsih, Dosen Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia
Sumber foto : http://www.mypangandaran.com/
Powered by Blogger.
close