Tips Cerdas : Keluarga Pembelajar
Oleh : Ali Rahmanto
“Keluarga
pencinta ilmu bukanlah tercipta dalam waktu sekejap. Ia ada karena orangtua
mewariskan kecintaan akan ilmu kepada anak-anaknya.”
Mungkin sering kita lihat aktivis
dakwah yang di masa kuliahnya gigih menuntut ilmu dan banyak terlibat kegiatan
sosial, namun ketika menikah semangatnya melempem. Ia tenggelam (atau malah
menenggelamkan diri) dalam pekerjaan rumah tangga. Bahkan, seolah tak cukup
waktu untuk membaca buku, mengikuti kajian, atau berdiskusi; apalagi memikirkan
bagaimana langkah membentuk keluarga pembelajar, anak-anak yang mencintai ilmu
dan bermanfaat bagi sesama.
Padahal, orangtualah basis pertama
anak dapat tumbuh sebagai pribadi yang mencintai ilmu. Keluarga adalah lembaga
dasar masyarakat yang menjadi kelompok sosial pertama bagi individu untuk
berinteraksi. Di keluarga pula seseorang menghabiskan paling banyak waktu
sepanjang hidupnya. Hal ini membuat keluarga berfungsi penting dalam membentuk
perilaku anak (berdasarkan pengalaman pertama berinteraksi) yang akan berperan
penting bagi kehidupannya di masa datang.
Keluarga cinta ilmu mensyaratkan
orangtua yang mau belajar dan siap menjadi orangtua. Memang tidak ada sekolah
untuk menjadi orangtua. Namun, dengan kemauan dan komitmen kuat menjadi pribadi
pembelajar, serta mewariskan nilai-nilai kebaikan kepada anak-anak, jalan untuk
membangun keluarga cinta ilmu selalu terbentang.
Sudah selayaknya menuntut ilmu
menjadi ruh setiap keluarga dalam mendidik anak-anaknya.. Menuntut ilmu tidak
terkotak-kotakkan dan tidak dibatasi oleh waktu dan ruang. Menuntut ilmu itu
diawali dari anak bangun tidur sampai terlelap kembali. Semua aktivitas anak
bersama kita haruslah dimaknai sebagai proses menuntut ilmu.
Sayangnya, kita kerap salah persepsi
mengenai keluarga berilmu. Jangan memaknai keluarga cinta ilmu sebatas anak
yang kutu buku atau rajin sekolah. Apa gunanya anak gemar membaca buku tapi
tidak bisa bersosialisasi, tak mau berbagi dengan sesama atau enggan merawat
bumi tempat dia tinggal.
Keluarga cinta ilmu itu sisinya
sangat luas. Harus ada landasan keilmuwan, teori, praktik, dan menjadi habit
atau kebiasaan yang memberikan manfaat, harus kaffah, utuh. Berilmu
untuk kehidupan yang bermanfaat. Ilmu bukanlah ilmu jika hanya sampai dicerna
di otak, tidak bisa diolah dan disarikan sehingga bermanfaat buat masyarakat
buat masyarakat.
Lalu bagaimana menumbuhkan semangat
anak untuk menuntut ilmu? Setidaknya ada empat tujuan mendidik anak, yaitu
meningkatkan rasa ingin tahu anak (intellectual curiosity), mengasah
kreativitas dan imajinasi anak (creative imagination), menggali rasa
suka anak-anak untuk menemukan sesuatu (art of discovery and invention),
dan membangun akhlak mulia (noble attitude).
Keempat hal tersebut bisa kita jadikan
finish line dalam proses mendidik anak, sehingga perjalanan mendidik
anak tidak terombang-ambing tak tentu arah. Cara penyampaiannya pun beragam.
Namun setidaknya ada tiga cara yang tidak akan ditolak anak, yakni bermain,
dongeng dan hadiah.
Satu hal lagi yang perlu ditekankan
pada anak, yaitu apabila ilmu itu sudah mereka raih, tidak akan ada nilainya
jika terus disimpan untuk diri sendiri. Bagikan ilmu tersebut agar menjadi
bagian dari ilmu yang bermanfaat. Inilah penekanan pada poin membangun akhlak
mulia.
Anak-anak merupakan amanah Allah
yang berat. Mereka hanya akan bisa meningkatkan kualitas hidupnya dengan ilmu. Maka
bekalilah generasi-generasi robbani ini dengan ilmu yang kuat. Sebab, tak
selamanya anak-anak akan bersama kita.
Tips dalam membentuk keluarga pencinta ilmu.
ü Saling berbagi pengetahuan dengan sesama orangtua dan memiliki
kemauan untuk terus belajar.
ü Gunakan teknologi. Selain buku, internet sebagai sumber
bacaan genggamlah di tangan Anda.
ü Ikuti seminar tentang pendidikan, pengasuhan anak dan
lainnya yang bermanfaat untuk pengembangan diri.
ü Buatlah ‘menu’ menuntut ilmu untuk anak-anak selayaknya menu
makan mereka. Jadi, ada menu menuntut ilmu pada pagi, siang dan malam hari.
Penuhilah aktivitas tersebut dengan bermain, dongeng dan hadiah.
ü Buat sebanyak-banyaknya waktu yang berkualitas bersama
anak-anak, Misal, usai shalat berjamaah, saat makan bersama, dalam perjalanan,
dan sebagainya. Penuhi aktivitas tersebut dengan percakapan-percakapan yang
berkualitas dan penuh kehangatan.
*) Ali Rahmanto,
Pemerhati dunia anak.
Post a Comment