Budaya Berprestasi


Oleh : Drs. Slamet Waltoyo

Sepekan Masa Orientasi Sekolah (MOS) bagi murid kelas satu SD membuat para Ibu Guru harus berkeringat dua kali. Berteriak, berlari, menggendong, dan memeluk. Mengelola anak dalam rangka memperkenalkan, memberi contoh dan melakukan bersama tentang budaya sekolah. Mereka, para Guru melakukan dengan penuh kasih sayang dan terasa sangat menikmati. Maklum, para Guru menghadapi anak-anak yang sama sekali asing dengan dunia sekolah. Inilah awal mereka memasuki dunia sekolah
.
Misalnya memperkenalkan anak untuk buang air kecil. Pertama ditunjukkan tempatnya. Tidak cukup hanya dengan menunjukkan denah, melainkan harus didatangi. Ditunjukkan WC mana saja yang bisa ia gunakan. Diajari adab memasuki WC. Masing-masing anak harus mencoba. Satu persatu anak diajari dengan detil. Semua  harus mencoba adab buang air dengan benar. Hingga cara mengguyur dan keluar kembali dari WC. Ini baru persoalan WC. Dan semua persoalan anak di sekolah harus diperkenalkan.

Setelah MOS berlalu, pada pekan dan bulan pertama kita masih menikmati anak-anak menggunakan WC dengan baik. Sendal dan sepatu di masjid tertata rapi. Anak antri wudlu dengan teratur. Ini sebuah prestasi. Prestasi hasil kerja keras para Guru. Tetapi pada bulan keempat kita mulai menyaksikan; WC tidak sebersih dulu, deretan sendal dan sepatu tidak serapi dulu, ketika berwudlu anak mulai berebut. Prestasi tidak lagi di puncak. Semua permulaan memang sulit tetapi menjaga prestasi jauh lebih sulit.

Mari kita buat anak-anak berprestasi pada proses pendidikan, bukan prestasi pada hasil belajar saja. Bagi anak-anak usia pra-sekolah dan SD, prestasi yang pertama jauh lebih penting dari pada prestasi kedua. Prestasi bisa rapi ketika antri. Prestasi menghentikan permainan ketika bel masuk berbunyi. Prestasi menemukan tempat sampah ketika harus membuang sampah. Prestasi selalu menyapa dengan salam. Dan sejumlah prestasi lain yang akan membentuk karakter dan budaya belajar bagi anak. Kita harus yakin bahwa semua anak bisa berprestasi.Prestasi hasil belajar juga penting dalam rangka memberi pengalaman sukses.

Ketika anak bisa melakukan kebaikan karena kita ajari atau kita beri contoh, itu prestasi awal yang harus kita hargai. Tetapi prestasi yang sebenarnya adalah ketika kebaikan itu sudah menjadi budaya bagi anak. Kerja kedua inilah yang lebih sulit. Kerja pertama adalah memperkenalkan, memberi contoh sehingga anak mampu dan mau melakukan. Kerja kedua adalah membiasakan kebaikan itu, menjadikan kebaikan itu sebagai bagian dari hidupnya, dan menjadikannya sebagai budaya. Inilah prestasi yang sebenarnya.

Maka yang penting adalah bagaimana kita menjadikan kebaikan atau prestasi itu menjadi kebiasaan. Bagaimana kita mempertahankan prestasi ini. Pertama, jangan beranggapan jika anak sudah bisa melalukan itu akan terus melakuan sehingga kita merasa sudah lepas tanggungjawab. Jangan disamakan dengan anak meraih prestasi hasil belajar. Jika anak sudah dapat nilai sepuluh, ya sudah. Kita harus berpikir, inilah keberhasilan pertama. Keberhasilan kedua harus bisa diraih.

Kedua, para Guru harus menjadi contoh dalam melakukan kebaikan atau prestasi. Jangan sampai kecolongan, Guru ketahuan anak dengan melakukan sesuatu yang kontra kebaikan. Bahkan hanya meremehkan kebaikan sekalipun. Misalnya karena kerepotan, Guru menyembunyikan sampah (kertas tak terpakai, misalnya) di suatu tempat. Lebih baik di kantongi atau dimasukkan dalam tas dan katakan pada anak, nanti akan saya buang di tempatnya. Jika tidak demikian, (misalnya anak tahu Pak Guru menyelipkan sampah tidak di tempat sampah) maka akan meruntuhkan bangunan pondasi prestasi kebaikan.

Ketiga, memberi motivasi dan apresiasi terus menerus agar anak menunjukkan prestasi. Misalnya di sekolah seminggu sekali diadakan hari apresiasi. Dalam pertemuan umum disampaikan anak-anak yang berprestasi malekukan kebaikan selama minggu ini. Ia diminta tampil dan menerima pin tanda prestasi. Prestasi dalam apa saja, yang kita identifikasikan sebagai perilaku atau karya kebaikan yang menjadi dasar-dasar terbentuknya karakter. Untuk ini setiap Guru harus jeli mengamati perilaku dan hasil karya anak dalam sepekan. Sekolah terlebih dahulu mengidentifikasi dan menyepakati perilaku dan karya apa saja yang akan di apresiasi. Termasuk prestasi akademis.


Drs. Slamet Waltoyo, Kepala Sekolah MI Al-Kautsar Gabahan Sleman Yogyakarta | Redaktur Majalah Fahma
https://atiyuli.files.wordpress.com/2012/12/papan-tulis-hijau.jpg
Powered by Blogger.
close