Kecerdasan Luar Biasa


Oleh : Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi.

”Bu, aku jadi ingin tahu, kenapa sih ibu dan ayah sering bilang sayang, shaleh, dan pintar sama aku, adek Hasany dan adek Rasikh?” Tanya Aulia pada ibunya.

“Akh, yang benar, kak?” tanya Ibu seakan tidak percaya.
“Masa sih, ibu lupa, ya? Setiap kali mengingatkan aku untuk belajar, ibu bilang,”Aulia sayang, ayo sekarang waktunya baca buku pelajaran untuk besok hari. Insyaallah besok menjadi hari-hari yang menyenangkan begitu masuk sekolah karena sudah tahu kira-kira apa yang akan dijelaskan bapak ibu guru. Kalau ada yang belum jelas setelah membaca buku pelajaran hari ini, Mbak Lia kan tinggal meminta penjelasan sama bapak ibu guru. Bisa jadi bahan diskusi di kelas dan suasana kelas menjadi lebih ramai”. Setiap kali mengajak aku, Hasany, dan Rasikh untuk sholat berjama’ah di mushala rumah, ibu selalu bilang, “Anak-anakku sayang yang shaleh semuanya, alhamdulillaahirabbil’aalamiin sekarang waktunya shalat sudah tiba. Ayo, segera ambil wudhlu, kita mau ketemu sama Allah Subhanahuwata’ala, sayang. Bertemu Allah Ta’ala yang selalu menyayangi kita, selalu melindungi kita, senang mendengarkan dan mengabulkan setiap orang yang berdo’a kepada-Nya.”

”Iya, kakak Lia benar, Bu. Ayah juga begitu, Bu.” Ujar Hasany dan Rasikh bersamaan. ”Coba, hampir setiap hari kan ayah ngirim SMS sama kita, ”Rasikh, Hasany, Aulia, dan Ibu sayang, sudahkah hari ini membaca Alquran?” Kok pakai kata-kata sayang, sholeh, dan pintar segala? Kenapa sih, Bu? ”

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Anak-anak Ibu dan ayah memang sholeh-sholeh dan pintar-pintar semuanya. Senang bertanya, itu bukti nyata dari Allah Ta’ala bagi ibu dan ayah, bahwa kalian memang anak-anak yang pintar. Anak yang pintar itu kan ciri dari anak sholeh dan pasti akan ditinggikan derajatnya oleh Allah Ta’ala.

”Apa yang Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh rasakan setiap kali ibu dan ayah bilang sayang, sholeh, dan pintar?” Ibu balik bertanya sama Aulia.

“Yang jelas aku senang saat dipanggil seperti itu, Bu.” Jawab Aulia.
”Benar, Bu. Hasany merasa ibu dan ayah benar-benar sayang sama aku,” jawab Hasany.
”Kalau aku merasa diperhatikan,” jawab Rasikh tidak mau ketinggalan.

”Terus, setelah merasa senang, merasa disayang, dan merasa diperhatikan oleh ibu sama ayah, apa yang muncul dalam pikiran Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh?” tanya Ibu.

”Karena merasa senang, aku pikir aku pasti bisa dan alhamdulillaahirabbil’alaamiin ternyata memang aku bisa mengerjakan dengan baik, Bu. Alhamdulillaah aku jadi pede abis, Bu, percaya diri. Aku jadi lebih bersemangat kalau melakukan sesuatu.” Jawab Aulia.

”Aku jadi lebih berani, Bu. Sekarang aku berani, tidak perlu ditungguin Ibu lagi saat aku sekolah. Aku bermain bersama teman-teman. Aku punya banyak teman dan mereka senang main sama aku.”Jawab Hasany.

”Kalau Rasikh tambah semangat dan tambah yakin, Bu, Rasikh bisa jadi anak sholeh, pintar, dan penyayang seperti yang sering ibu bilang sama Rasikh, Mas Hasany, dan Mbak Lia.”Jawab Rasikh dengan mantap.

”Nah, Alhamdulillah, sekarang terjawab toh pertanyaannya, kenapa ibu dan ayah sering berkata-kata sayang, sholeh, dan pintar sama Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh. Kata-kata baik yang ibu dan ayah ucapkan tersebut mempengaruhi perasaan, pikiran, dan perilaku Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh. Perasaan, pikiran, dan perilaku baik yang ditampilkan Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh juga membawa pengaruh baik pula terhadap orang-orang dan lingkungan di mana kita tinggal. Jadi kata-kata baik yang kita ucapkan membawa pengaruh yang baik, bukan hanya pada diri sendiri, keluarga kita, tapi juga pada lingkungan yang lebih luas.”

”Ibu jadi ingat sama cerita yang pernah disampaikan ayah saat mengajar di kelas. Sebuah penelitian eskperimen yang dilakukan oleh Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson tahun 1968 pada anak-anak Sekolah Dasar. Mereka berdua memberikan sebuah test kecerdasan pada murid-murid SD tersebut dan kemudian menyampaikan hasilnya pada para guru kelas bahwa sejumlah anak memiliki kecerdasan yang luar biasa (padahal kecerdasan anak-anak tersebut sebenarnya berada pada tingkat kecerdasan rata-rata). Pada akhir tahun kedua peneliti ini kembali ke SD tersebut dan melakukan pengetesan kembali pada murid-murid SD tersebut. Ternyata hasilnya cukup mengejutkan: anak-anak yang sebenarnya punya kecerdasan rata-rata tapi kemudian diberitahukan sebagai anak-anak dengan kecerdasan luar biasa, menunjukkan peningkatan skor kecerdasan yang lebih tinggi daripada anak-anak lainnya. Para guru kelas di SD tersebut rupanya memberi perlakuan yang lebih kepada anak-anak yang dilabeli kedua peneliti tadi sebagai anak-anak dengan kecerdasan luar biasa: lebih banyak mendapat perhatian, lebih sering mendapat pujian, lebih sering dimintai pendapatnya, dan seterusnya. Perlakuan lingkungan yang demikian memotivasi anak-anak tersebut  untuk menjadi seperti apa yang dilabelkan kepada mereka.”


Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi. Dosen Psikologi Universitas Islam Indonesia
foto http://photos1.blogger.com/blogger/2096/1106/1600/MasGilang.jpg
Powered by Blogger.
close