Keniscayaan Proses
Oleh : Dr. Ali Mahmudi
Berapa
lama Allah SWT menciptakan alam semesta? Tentang ini Allah SWT berfirman dalam QS.
Qaaf: 38 bahwa ”Sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa
yang ada antara keduanya dalam enam masa ....”. Lantas, kapan
manusia mulai menghuni bumi? Apakah segera setelah bumi selesai diciptakan? Ilmu
pengetahuan mengungkap bahwa bumi telah diciptakan jauh berjuta tahun sebelum
manusia mulai menghuninya. Bumi mulai dihuni manusia ketika ia telah nyaman, aman,
dan siap untuk dihuni dengan segenap daya dukungnya.
Tentu
kita tidak meragukan bahwa Allah SWT dengan kemahakuasaanNya mampu menciptakan
segala hal dalam sekejab. WAllahu a’lam, mungkin Allah SWT ingin menunjukkan
kepada kita bahwa segala sesuatu memerlukan waktu, proses, dan usaha. Itulah
sunnatulloh. Itulah keniscayaan. Keyakinan bahwa segala sesuatu memerlukan
proses perlu dimiliki oleh siapapun dan dalam bidang apapun. Tidak ada sesuatu yang
instan di dunia ini. Seorang pengusaha perlu menjalani proses bertahap untuk
mencapai kesuksesan dalam bidang usahanya, seorang atlet juga perlu memiliki tekad
yang kuat dan sabar menjalani proses latihan untuk memenangi kejuaraan, seorang
ilmuwan juga memerlukan kesabaran meniti proses ilmiah agar ia profesional di
bidangnya, dan sebagainya.
Keyakinan akan pentingnya proses juga
perlu dimiliki guru, orang tua, dan anak. Orang tua perlu meyakini bahwa
perkembangan mental anak berlangsung secara bertahap, sehingga mereka tidak
akan memaksakan anak untuk menguasai suatu kemampuan yang jauh di atas perkembangan
mentalnya, apalagi secara instan. Seorang guru perlu pula meyakini bahwa pembelajaran
juga memerlukan proses. Karena itu, ia tidak akan menyampaikan pengetahuan
dalam bentuk jadi, melainkan akan melibatkan anak untuk membentuk pengetahuan
itu. Anak perlu melakukan aktivititas percobaan, mengajukan dugaan atau
konjektur, mengujinya, dan selanjutnya menyimpulkan dalam rangka membentuk
pengetahuan itu. Itulah proses ilmiah yang dilakukan para ilmuwan terdahulu. Dalam
batas-batas tertentu, proses yang sama hendaknya juga dilakukan atau tepatnya
dilakukan ulang oleh anak. Pengetahuan yang dibentuk anak dengan cara demikian
akan lebih bermakna bagi mereka. Hal itu akan sangat berbeda dengan pengetahuan
yang hanya dihafalkan tanpa proses melakukan. Memang, cara menghafalkan yang paling
baik adalah dengan memahami dan cara memahami yang paling baik adalah dengan
melakukan dan melalui proses menemukan. Lagi pula, dengan menemukan, anak akan
lebih termotivasi. Itulah naluriah manusia yang akan merasa bahagia dan bangga
ketika ia mampu menemukan, menghasilkan, atau menciptakan sesuatu.
Keyakinan akan pentingnya proses juga harus
dimiliki anak. Mereka memerlukan keteguhan dan kesabaran dalam menjalani proses
belajar. Mungkin, mereka harus menahan lelah dan kantuk dalam melalui proses
itu. Namun, itulah jalan para
pencari ilmu. Itu pula jalan kesuksesan. Keyakinan demikian akan menjadikan
mereka menghindari jalan pintas apalagi dengan menghinakan diri seperti
mencontek atau berperilaku tidak jujur lainnya. Guru sangat berperan penting dalam
menanamkan keyakinan demikian pada diri anak. Itulah peran guru sebagai
pendidik yang tidak hanya sebagai pengajar. Sebagai pengajar, guru perlu
mamastikan bahwa anak telah menguasai sejumlah materi ajar. Sedangkan sebagai
pendidik, guru perlu meyakinkan bahwa anak telah berkembang kepribadiaannya. Bangsa
ini tidak hanya membutuhkan generasi berkemampuan, melainkan juga generasi
berkepribadian.
Pelajaran apalagi yang dapat kita ambil
dari fenomena di atas? Sebagaimana manusia yang mulai menghuni bumi ketika bumi
telah nyaman, aman, dan siap untuk dihuni, maka proses belajar juga hendaknya dilakukan
ketika anak telah merasa nyaman dan siap. Kenyamanan berkaitan dengan lingkungan
dan situasi belajar yang mendukung. Kenyamanan juga berkaitan dengan terciptanya
hubungan guru-anak yang dialogis dan harmonis. Sedangkan kesiapan anak belajar
berkaitan dengan aspek fisiologis dan psikologis. Dari aspek fisiologis, kesiapan anak ditinjau dari
tahap perkembangan mentalnya. Misal, anak-anak pada tahap perkembangan konkrit perlu
mengeksplorasi berbagai situasi atau benda-benda konkrit sebagai wahana belajar
bagi mereka. Bersegera mengenalkan hal-hal abstrak kepada anak yang belum
memadai tahap perkembangan mentalnya akan berpotensi menimbulkan kesulitan bagi
mereka. Sedangkan secara psikologis, anak siap untuk belajar ketika mereka
mempunyai motivasi untuk belajar. Anak akan termotivasi untuk belajar ketika ia
mengetahui untuk apa ia mempelajari sesuatu, mengetahui keterkaitan yang akan
dipelajari dengan yang telah mereka ketahui, dan mengetahui dalam konteks apa
ia mempelajari sesuatu, serta mengetahui manfaat dari sesuatu yang mereka
pelajari. Aspek-aspek demikian perlu menjadi penekanan dalam pembelajaran.
Penekanan pada proses juga ditunjukkan
oleh guru yang secara sabar memberikan kesempatan dan membimbing anak untuk
menggunakan pengetahuan informal mereka ketahui. Hendaknya guru tidak terlalu
berhasrat agar anak mengenal dan menguasai cara-cara formal. Inilah lahan
kreativitas bagi anak untuk mengeksplorasi segala hal dengan pengetahuan yang
mereka miliki dan tidak hanya menggunakan cara atau rumus jadi yang diberikan
guru.
Akhirnya, marilah kita menatap pohon yang
rindang dan kokoh serta menyadari bahwa ia tumbuh lama dan baik. Mari kita sadari
pula bahwa anak-anak hanya akan tumbuh dan berkembang dengan kukuh ketika
mereka menjalani proses belajar yang benar dan sempurna. Demikianlah, proses adalah
suatu keniscayaan, suatu kemestian.
Dr. Ali Mahmudi,
Dosen Matematika Universitas Negeri Yogyakarta.
Post a Comment