Pembelajaran Berbasis Masalah
Oleh : Dr. Ali Mahmudi
Mengawali
kegiatan pembelajaran, seorang guru mengajukan masalah sebagai berikut. Sepasang
suami isteri yang sangat sibuk mempunyai orang tua yang telah lanjut usia. Karena
alasan kesibukan dan kekhawatiran tidak dapat merawat dengan baik, mereka
bermaksud mengirim orang tua mereka ke panti jompo. Namun, mereka ragu atas
keputusan itu. Bagaimana pendapatmu? Selanjutnya guru mengembangkan
aktivitas diskusi yang mendorong siswa untuk secara bebas memberikan tanggapan
terhadap masalah tersebut dari berbagai cara dan sudut pandang.
Dalam rangka
menjawab pertanyaan tersebut, siswa didorong untuk melakukan penyelidikan
dengan memanfaatkan berbagai sumber yang relevan, seperti buku, koran, majalah,
Al-Qur’an, hadits, atau lainnya. Melalui aktivitas tersebut yang dipandu oleh
proses diskusi yang terarah diharapkan siswa akan memperoleh pengetahuan,
seperti pengetahuan tentang pandangan agama terhadap hubungan anak-orang tua,
pengetahuan tentang panti jompo beserta aktivitasnya, kebijakan pemerintah
terkait hal ini, pandangan masyarakat terhadap keberadaan panti jompo, dan
sebagainya. Pengetahuan demikian lebih bermakna bagi siswa karena diperoleh
bukan dari pemberitahuan guru, melainkan dibentuk oleh siswa sendiri melalui
aktivitasnya dalam menyelesaikan masalah.
Pembelajaran
yang dilakukan guru di atas dapat dikategorikan sebagai pembelajaran berbasis
masalah (problem based learning), yakni pembelajaran yang menjadikan
masalah atau kasus sebagai pemicu (trigger) bagi proses belajar siswa.
Berbeda dengan pembelajaran pada umumnya yang menjadikan masalah sebagai
penerapan dari konsep, pembelajaran berbasis masalah justeru menempatkan
masalah di awal pembelajaran sebelum siswa mempelajari pengetahuan formal.
Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, siswa mengidentifikasi informasi yang
diketahui dan diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut, melakukan
penyelidikan, menganalisis, menyimpulkan, dan mengevaluasi simpulan tersebut.
Melalui aktivitas demikian, siswa diharapkan dapat memperoleh pengetahuan yang
relevan dan sekaligus dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Sangat
dimungkinkan, pengetahuan yang dibentuk oleh siswa masih bersifat informal yang
belum sesuai dengan pengetahuan formal. Namun, melalui proses diskusi yang
terarah, pengetahuan tersebut akan lebih terkonsolidasi dan sesuai dengan
pengetahuan formal.
Pembelajaran
berbasis masalah didasarkan atas pandangan bahwa belajar merupakan proses aktif
siswa dalam membangun pengetahuan melalui interaksinya dengan masalah atau
konteks yang sesuai. Siswa dapat mempelajari substansi materi pelajaran secara
efektif melalui aktivitasnya dalam menyelesaikan masalah terkait substansi
materi tersebut. Sekali lagi, masalah tersebut tidak ditempatkan pada bagian
akhir proses pembelajaran sebagai penerapan konsep, melainkan ditempatkan di
awal pembelajaran sebagai pemicu proses belajar siswa. Pembelajaran berbasis
masalah juga didasarkan pada filosofi bahwa sekolah hendaknya menjadi laboratorium
bagi siswa untuk mengenal masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari dan
sekaligus mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikannya.
Pembelajaran
berbasis masalah tidak dimaksudkan untuk menyampaikan sejumlah besar informasi
kepada siswa, melainkan lebih dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan
berpikir, kemampuan pemecahan masalah, dan mendorong siswa menjadi pebelajar
mandiri. Kemampuan demikian dipandang lebih diperlukan siswa untuk
menyelesaikan masalah dalam berbagai bidang. Demikian juga, kemandirian belajar
siswa sangat diperlukan siswa untuk mengidentifikasi berbagai kebutuhan
belajarnya dan mengidentifikasi serta mencari berbagai sumber belajar yang
mendukung.
Penggunaan
masalah untuk memicu proses belajar siswa merupakan karakteristik utama
pembelajaran berbasis masalah. Masalah yang digunakan hendaknya realistis bagi
siswa. Perlu dicatat bahwa suatu masalah yang realistis bagi sekelompok siswa
tertentu belum tentu sesuai untuk kelompok siswa lainnya. Misalnya, masalah
yang realistis bagi siswa di perkotaan belum tentu realistis untuk siswa
pedesaan, demikian pula sebaliknya. Masalah tersebut juga harus bermakna bagi
siswa, yakni berkaitan dengan substansi materi yang akan dipelajari. Selain
itu, hendaknya masalah juga bersifat terbuka, dilematis, dan kompleks. Masalah
demikian dapat memicu keingintahuan siswa dan mendorong mereka mengembangkan
kemampuan berpikirnya. Tentu saja masalah tersebut juga harus sesuai dengan
tingkat perkembangan siswa.
Disadari
bahwa tidak mudah mempraktikkan pembelajaran berbasis masalah. Tidak mudah
menemukan masalah kontekstual yang menarik dan tidak mudah pula mengelola
pembelajaran yang memanfaatkan masalah tersebut sebagai pemicu proses belajar
siswa. Selain itu, tidak mudah pula mengubah budaya guru yang cenderung
mengambil peran dominan sebagai penyampai informasi menjadi fasilitator yang
memfasilitasi proses belajar siswa. Namun, karena berbagai manfaat yang
dimiliki, pembelajaran ini perlu dipraktikkan atau setidaknya dijadikan sebagai
variasi dari proses pembelajaran yang biasa dilakukan, sehingga terwujud pembelajaran
yang lebih bermakna.
Dr.
Ali Mahmudi,
Dosen Ilmu Matematika Universitas Negeri Yogyakarta
Post a Comment