Beri Ruang untuk Potensinya
Oleh :
Muhammad Nazhif Masykur
Dalam
kesempatan ini, saya akan memberikan contoh-contoh kasus sederhana yang sering
terjadi di sekitar kita, dengan harapan agar mudah dipahami dalam pembahasan
ini.
Ketika kita melihat bagaimana
seorang tukang sumur bekerja. Berapa lama sebuah sumur digali hingga
menghasilkan air? Jika kita sudah bisa menghitungnya, mari kita mencoba untuk
membayangkan bila pekerjaan itu kita sendiri yang melakukan. Berapa lama akan
dapat kita selesaikan? Dan apakah kita bisa memberikan jaminan bahwa sumur
tersebut mengeluarkan air? Bila kita memang bukan tergolong tukang sumur, dan
tergolong orang yang bekerja dengan “tangan bersih” –di kantor, yang jelas
bukan “bersih tangan”, maka dapat dipastikan bahwa kita tidak akan mampu
menggali sumur hingga menghasilkan air. Kalaupun kita bisa, maka kita akan
membutuhkan waktu dan biaya yang lebih besar dari seorang tukang sumur. Apakah
ketidakmampuan kita dalam menggali sumur, akan bisa dijadikan patokan bahwa kita akan segera gagal dalam urusan
perkantoran? Tentu saja tidak.
Kegagalan atau ketidakmampuan
anak-anak kita dalam suatu hal, belum tentu, atau tidak bisa dijadikan petunjuk
untuk menilai kemampuan mereka di bidang yang lain. Inilah masalah yang paling
besar dan paling sering kita abaikan. Kalau kita menengok ke belakang, maka
akan segera tampak bagaimana manusia-manusia diperlakukan seperti ternak,
digiring ke sebuah lokasi, dan dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bukan saja
tidak disukai, tetapi juga bukan merupakan keahliannya. Para orangtua adalah
’penjahat’ terselubung. Kasih sayang dan kecintaannya pada anak, bisa segera
menjelma menjadi racun yang mematikan. Banyak anak-anak beranjak dewasa, dan
tidak pernah mengenali apa sebetulnya kekuatan yang ada pada dirinya. Ketika
sudah dewasa, dan keadaan terdesak, maka peluang untuk menggali potensi diri
menjadi hilang, akhirnya mereka terpaksa hidup terasing – hidup dalam aktivitas
yang sebetulnya tidak dikehendaki, dan bukan menjadi aktivitas yang
membangkitkan kemampuannya.
Masyarakat kita juga seringkali
terlibat dalam membangun norma-norma dan sekaligus membangun jalan, yang
memaksa orang harus melewatinya. Masyarakat membangun hukum besi–yang menempatkan
profesi tertentu dan gelar pelengkap sebagai manusia. Oleh sebab itu, banyak
anak-anak terpaksa sekolah di fakultas kedokteran, padahal ia lebih cocok
menjadi seniman. Banyak anak yang ’digiring’ belajar musik, hanya karena mitos mengenai kemewahan, padahal ia
lebih cocok untuk belajar ilmu pasti.
Sebaliknya, banyak anak-anak
dipaksa belajar ilmu pasti, padahal lebih cocok menjadi sastrawan. Meraka
terpaksa berada pada tempat yang ’salah.’ Bila hal itu terjadi, maka kita semua
sebetulnya telah kehilangan harta karun yang begitu berharga: potensi-potensi
yang mungkin bisa mengubah wajah dunia. Coba kita bayangkan, apa jadinya bila
para ilmuwan yang mengubah dunia dahulunya mengikuti kata kemauan orangtuanya.
Mungkin kita tidak akan memiliki lampu pijar, seperti yang ditemukan oleh
Thomas A. Edison, atau kita mungkin tidak akan pernah mendengarkan taushiah
penyejuk qalbu dari Aa’ Gym yang notabene keluarga militer, dan banyak lagi
wajah-wajah perubah dunia.
Saya katakan bahwa pelajaran
atau aktifitas apapun selama masih dalam batas nilai-nilai positif jenis
apapun, sepanjang itu adalah puncak dari kemampuan anak-anak kita, maka
sebaiknya kita dukung untuk digeluti dengan penuh dedikasi, kesungguhan dan
ketekunan tanpa pamrih.
Seorang tukang sumur, yang bekerja
dengan penuh kesungguhan, kelak akan menemukan teknik yang paling jitu dalam
menggali sumur. Atau setidaknya akan menemukan berbagai ciri, karakteristik,
atau bentuk-bentuk dari sumur. Bahkan bisa saja cara membuat sumur memiliki
kaitan erat dengan historis masyarakat. Intinya adalah jangan memaksa anak-anak
kita untuk melakukan sesuatu dengan ’keterpaksaan’ langgeng.
Apakah potensi yang dimiliki
oleh anak-anak kita memang benar-benar tidak bisa ditumpahkan pada mata
pelajaran aktifitas yang digeluti. Jika masih bisa, maka sudah saatnya kita
mengarahkan mereka untuk mendedikasikan penuh seluruh energi yang ada, agar
dari aktifitasnya tersebut, bisa diperoleh hal-hal baru yang memberi arti pada
banyak orang. Pada intinya, mereka kita dukung dan beri kesempatan
seluas-luasnya untuk melahirkan karya yang dikenang sejarah – apapun bentuk
aktifitasnya, karena anak kita dilahirkan dengan kelebihannya masing-masing
inilah ketegasan yang di sampaikan Allah ”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan. (al-isro 70).”
Muhammad
Nazhif Masykur, Aktivis SPA Yogyakarta
Post a Comment