Ketika ASI Eksklusif Mendapatkan Tantangan
Oleh : Dr. Hepi
Wahyuningsih, M.Psi.
Kelahiran anak kami yang ketiga kami sambut dengan suka
cita. Tapi suka cita kami tidak berlangsung lama karena oleh dokter anak, anak
kami didiagnosa mengalami hipoglikemia,
yaitu kadar gula di dalam tubuh rendah. Jika tidak segera ditangani bisa
mempengaruhi kerusakan syaraf otak permanen. Hipoglikemia terjadi kemungkinan karena ASI yang belum bisa keluar
dan kemudian asupan glukosanya masih kurang mencukupi.Alhasil, anak kami harus
dirujuk ke RS yang peralatannya lebih lengkap. Kami memutuskan memilih RS yang
menyewakan kamar untuk ibu agar bisa menunggui bayinya sehingga harapannya bisa
memberi ASI full eksklusif. Tentu
saya tidak ingin hanya diminta istirahat saja di kamar, tidak usah nunggu anak,
nanti kalo anaknya nangis dikasih sufor dulu saja.
Harapan kadang ternyata tidak seperti yang diharapkan.
Datang sampai di kamar perawatan bayi, saya sudah dapat perawat yang pro-susu formula. Jadi saya perlu memberi penegasan apa gunanya
saya menyewa kamar. Akhirnya terjadi kesepakatan, saya akan ke kamar,tapi kalo
anak saya nangis, saya dipanggil utk menyusui karena ASI juga akan keluar kalau
terus dicoba utk diminumkan. Saya juga memberikan janji ke beliau kalau memang
nanti ASI tidak juga keluar, saya akan lapor dan untuk sementara tidak apa
diberi sufor (dalam hati, saya berharap ASI saya bisa segera produksi sehingga
si kecil tidak perlu sufor).
Alhamdulillah, setelah istirahat kurang lebih 2 jam di
kamar, saya sudah mulai bisa merasakan ASI saya mulai diproduksi. Senang
rasanya,nanti bisa diberikan ke si kecil. Terenyuh rasanya membayangkan setiap
beberapa jam kakinya ditusuk jarum untuk dicek darahnya. Mendengar tangisan
karena tusukan jarum saja saja sudah membuat mrebes mili. Setelah merasa cukup istirahat, saya menjenguk si
kecil. Betapa kagetnya saya, ternyata di atas tempat tidurnya sudah ada sufor
dan ternyata si kecil sudah dikasih sufor karena menangis. Jadi wajar kalau kemudian
saya marah dengan perawat yang ada di situ karena melanggar kesepakatan.
Mungkin karena marah saya cukup menakutkan, sejak itu, kalo anak saya nangis,
saya akan dipanggil oleh perawat jaga, alhamdulillah.
Dan saya pun tahu diri, saya harus lebih sering menemani
anak saya di kamar perawatan anak, terlebih di jam-jam di mana kakinya harus
ditusuk jarum cek glukosa (sebab ada beberapa perawat yang nusuk jarum tanpa babibu, asal tusuk, tidak bilang dulu ke
bayi kita, hmm… yang begini ini yang perlu dikasih training psikologi
perkembangan). Saya harus siap menghiburnya dengan kata-kata yang bisa
menenangkannya, dan ternyata si kecil mampu memahaminya, alhamdulillah. Pengalaman menunggu di kamar perawatan bayi, juga
membuat semacam grup ibu-ibu senasib yang akhirnya bisa berbagi pengalaman dan
berbagi tugas, bergantian piket menjagai anak-anak kami. Berbagi piket menjagai
anak-anak itu penting sekali karena ada beberapa perawat yang sepertinya rasa
empati pada bayi sudah mulai pudar, mungkin karena saking seringnya merawat
bayi sakit, jadi tidak lagi peka. Ada bayi nangis, mereka biarkan saja, mereka
tetap ngobrol dengan temannya. Tapi tidak semua perawat begitu, lagi-lagi hanya
oknum, jadi saya tidak menyalahkan RS.
Alhamdulillah, setelah 3 hari di rumah sakit, kadar glukosa si kecil sudah
normal. Akhirnya saya minta ke dokter anak untuk pulang. Namun tidak
diperbolehkan, katanya sekarang anak saya kuning. Aduh, masa saya harus adu argumentasi
lagi dan kali ini dengan Bu Dokter, tapi baiklah, sepertinya saya harus
melakukannya. Saya katakan ke Bu dokter "Bu dokter, anak saya dirujuk ke
RS karena hipoglikemia, sekarang
sudah normal, jadi ya pulang. Kalo sekarang anak saya kuning itu karena kalau
di RS nggak pernah dijemur dan karena
ASI-nya mungkin belum bisa maksimal, jadi saya bawa pulang dulu, nanti kalau
beberapa hari di rumah semakin kuning saya bawa ke rumah sakit lagi ya." Alhamdulillah diperbolehkan meskipun
kami harus tandatangan di surat permintaan pulang paksa pasien
Bismillah, saya yakin dengan pengalaman merawat 2 orang kakaknya,
kuning yang dialami si kecil hanya perlu diberi ASI secara intens dan dijemur
matahari pagi, insyaAllah sembuh.
Alhamdulillah...beberapa hari di rumah, si kecil tidak lagi kuning.
Demikian cerita ini berakhir dengan pesan untuk para ibu.
Anak sakit memang harus kita rujuk ke rumah sakit, tapi kita tidak boleh 100%
percaya sepenuhnya pada perawatan mereka karena mereka hanya membantu kita
merawat anak-anak kita yang sedang sakit. Kita tetap yang harus bertanggung jawab
100% terhadap perawatan sakit anak-anak kita. Jika ada hal yg dirasa kurang
berkenan di hati kita, kita harus memberanikan diri untuk mendiskusikan dengan
dokter dan perawat anak kita. Di zaman sekarang, ibu-ibu juga bisa cari second opinion melalui google. InsyaAllah itu juga sangat
membantu kita. Selamat berjuang para ibu. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Ditulis dalam rangka mengatasi kebosanan di RS menanti izin dokter untuk pulang
ke rumah. Astaghfirullah...Allahu'alam..
Dr. Hepi Wahyuningsih, M.Psi. Dosen Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
foto http://family.fimela.com/resources/news/2013/08/19/1204/paging/2081/640xauto-asi-eksklusif-bisa-mencegah-alergi-pada-anak-130819g-1.jpg
Post a Comment