Kolom Prof. In : Gelar Doktornya Dicabut
Oleh : Prof.
Dr. Ir. Indarto, D.E.A.
Ketika pimpinan sudah menutup rapat, salah satu dari
peserta membacakan sebuah SMS
yang diterima dari seorang siswa SMU di Yogyakarta, yang sedang dalam menjalani
masa Ujian Nasional. Siswa tadi menghimbau kepada institusi kami untuk lebih
bijaksana dalam proses seleksi penerimaan calon mahasiswa baru, berkenaan
dengan terjadinya kebocoran soal ujian.
Demi rasa keadilan, pertama, bahwa tidak semua siswa
peserta Ujian Nasional bisa mempunyai kesempatan atau akses ke bocoran soal beserta
jawabannya. Kedua, pasti masih banyak siswa yang secara ksatria tidak mau
melihat soal tersebut meskipun mempunyai kesempatan, baik karena himbauan guru,
orangtua atau atas kesadaran pribadinya sendiri. Maka hampir semua yang hadir setuju,
seandainya nanti pimpinan Universitas mengabulkan himbauan siswa yang dikirim lewat
SMS tersebut.
Bahkan ada seorang peserta rapat yang dengan
semangat berapi-api menceritakan bagaimana dia telah melarang keras putranya
untuk ikut melihat bocoran soal. Karena menurut beliau, anaknya tidak berhak
membaca bocoran soal itu.
Bahkan beliau juga mengatakan,
bahwa bocoran soal itu bagaikan barang “haram”. Bapak itu juga menambahkan,
kalau anaknya tetap melanggar pesannya itu, maka dia akan menanggung dua dosa.
Dosa pertama, karena dia melanggar larangannya, yang
tujuannya adalah demi kebaikan masa depan anaknya. Yang kedua, kalau si anak tetap
melanggar, maka dia bagaikan “memasukkan” barang haram ke tubuhnya lewat
pikirannya. Barang haram ini berupa “kebohongan”. Kalau kebetulan nilai
ujiannya itu tinggi, maka bukan berarti dia menguasai materinya, itu hanya karena
dia sudah sempat mempersiapkan sebelumnya, dia telah melakukan “kebohongan”.
Saya sangat setuju dengan pandangan bapak tadi, bila
sekali dua kali kita berani melakukan kebohongan maka seterusnya akan dengan
mudah mengulanginya tanpa bisa mengontrolnya lagi. Seperti yang telah
disabdakan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wa sallam “...dan sekali-kali jangan kalian berbohong, karena sesungguhnya kebohongan
itu menggiring kalian kepada berbagai kejahatan (dosa) dan sesungguhnya
berbagai kejahatan itu akan menggiring kalian ke neraka. Bilamana seseorang itu
berbohong dan terus menerus berbohong, maka Allah akan menetapkannya sebagai
pembohong. (HR. Bukhari dan Muslim)”.
Namun pada kenyataannya, kita sebagai orangtua atau
pendidik, sering melakukan pembiaran ketika melihat anak-anak melakukan
pembohongan. Atau mungkin kita tidak menyadari bahwa apa yang telah dilakukan itu
sebetulnya sudah termasuk pembohongan. Seperti yang diceritakan oleh seorang
teman yang masih mempunyai anak kecil usia sekolah dasar. Pada saat di rumah mengerjakan
tugas dari gurunya untuk mengarang sebuah cerita, dia dan teman-temannya
bukannya mengarang sendiri, melainkan meng-copy-paste,
menyalin cerita yang didapatkan dari internet dan kemudian menuliskan kembali
seolah-olah hasil karangannya sendiri. Ketika ditegur ayahnya, apakah gurunya
memperbolehkan seperti itu, katanya boleh, tidak apa-apa.
Awalnya memang hanya sekedar mengerjakan pembohongan
ringan, menyalin dan menuliskannya
kembali sebuah cerita. Namun, bila dilakukan terus menerus, akhirnya setelah
mahasiswa, yang disalin dan dituliskan kembali bukan hanya sekedar cerita,
tetapi beralih ke data, pernyataan, bahkan hasil kajian orang lain tanpa pernah
mengutip sumbernya.
Kebiasaan inilah yang kiranya bisa membawa pelaku ke
perbuatan tercela, ke perbuatan bodoh yang memungkinkan dilakukan oleh seorang akademisi.
Seperti yang pernah terjadi, doktor yang baru saja lulus, ijasahnya dicabut
karena terbukti di dalam disertasinya banyak data dan pernyataan yang diambil
dari karya orang lain tanpa disebutkan sumbernya, seolah-olah apa yang
dituliskan itu karyanya sendiri. Doktor tersebut telah melakukan plagiasi.
Akibat dari perbuatan ini, secara moral tidak hanya
menodai diri pribadi akademisi tersebut, namun juga keluarganya, termasuk institusi
tempat dia bekerja dan juga institusi tempat dia menempuh program doktor. Belum
lagi kerugian finansial
dan waktu yang harus dideritanya. Wallahu’alam
Bishawab.
Prof.
Dr. Ir. Indarto, D.E.A. Guru Besar
Universitas Gajah Mada | Pimpinan Umum Majalah Fahma
foto https://thrivingtiger.files.wordpress.com/2013/02/graduate.jpg
Post a Comment