Membangun Ikatan Emosional dengan Anak
Oleh : Dr. Hepi
Wahyuningsih, M.Psi.
Setiap hari Adi minta ditunggui oleh ibunya di Sekolah
Taman Kanak-Kanak (TK). Hal ini
mulai berlangsung sejak hari pertama Adi masuk TK. Jika ibunya berusaha
meninggalkan Adi di sekolah sendiri, Adi akan menangis dengan keras. Melihat
Adi menangis keras, ibunya menjadi tidak tega dan kemudian tidak jadi
meninggalkan Adi. Akhirnya Setiap hari Adi ditunggui oleh ibunya, ibunyapun
ikut menjadi murid TK. Berbeda dengan Adi, Sofwan hanya minta ditunggui oleh
ibunya ketika hari-hari pertama masuk sekolah. Setelah beberapa hari Sofwan
mengenal guru dan teman-temannya, ia mau ditinggal sendiri. Mengapa Adi tidak
mau ditinggal ibunya sedangkan Sofwan mau? Hal ini terkait dengan adanya
perbedaan bentuk kelekatan yang dimiliki anak yang terbangun dari interaksi
anak dengan pengasuh (orangtua) sejak usia 0 – 3 tahun.
Seorang ahli
yang berkecimpung dalam menangani anak-anak, John Bowlby mengemukakan bahwa
interaksi anak dengan pengasuh (orangtua terutama ibu) akan membentuk ikatan
emosional yang sering disebut dengan kelekatan. Secara umum, bentuk
kelekatan yang dihasilkan dari interaksi antara anak dan pengasuh ini dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu kelekatan aman dan kelekatan tidak aman.
Ikatan emosional yang dibangun antara anak dengan pengasuh
akan berdampak pada perilaku/kepribadian anak dan pandangan anak terhadap orang
lain sampai masa dewasanya. Anak yang memiliki ikatan emosional/kelekatan aman,
akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi, rasa ingin tahu yang tinggi, suka
bereksplorasi, mampu memecahkan masalah, dan mampu bersosialisasi dengan
teman-temannya. Sebaliknya, anak yang memiliki ikatan emosional/kelekatan tidak
aman akan menjadi anak yang rendah diri, kurang mampu memecahkan masalah, dan
kurang mampu bersosialisasi dengan baik.
Manifestasi
bentuk kelekatan yang dimiliki anak pada masa kanak-kanak dapat terlihat jelas
saat minggu-minggu pertama masuk TK. Seperti ilustrasi di atas, anak yang
memiliki kelekatan aman, pada hari pertama masuk sekolah mungkin menangis atau
tidak mau ditinggalkan orangtuanya. Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung
lama, setelah dia mengenal teman-teman dan gurunya, ia mau ditinggal oleh
orangtuannya. Anak akan segera mampu bergaul dengan teman-temannya. Hal ini
berbeda dengan anak yang memiliki kelekatan tidak aman. Anak dengan kelekatan tidak
aman akan sulit untuk ditinggal oleh orangtuanya. Ia juga akan kesulitan
bergaul dengan teman-temannya. Ketika anak menginjak usia remaja, kelekatan
tidak aman yang dimiliki anak juga dapat membawa pada problem perilaku remaja.
Sedangkan pada masa dewasa, orang yang memiliki kelekatan tidak aman ini akan
mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan pasangan hidupnya (suami/istri).
Orangtua
memegang peranan penting dalam pembentukan kelekatan anak. Anak yang memiliki
kelekatan aman adalah anak yang diasuh oleh orangtua yang sensitif dan
responsif. Orangtua yang sensitif di sini maksudnya adalah orangtua yang
memahami kebutuhan rasa aman anak. Orangtua yang responsif adalah orangtua yang
mampu memberikan rasa aman pada anak sesuai kebutuhan anak. Dengan kata lain,
orangtua yang memahami kebutuhan rasa aman anak dan kemudian memenuhi kebutuhan
tersebut akan membentuk kelekatan aman anak. Misalnya ketika anak rewel,
orangtua mengerti bahwa anak sedang tidak merasa nyaman, kemudian segera
mencari tahu penyebab anak menjadi rewel. Ini adalah bentuk sensitifitas
orangtua. Setelah mengetahui penyebab kerewelan anak, orangtua kemudian dengan
segera memenuhi kebutuhan anak, ini adalah bentuk responsifitas orangtua.
Sensitifitas
dan responsifitas orangtua harus dilakukan secara konsisten. Oleh karena itu,
mengingat pentingnya ikatan emosional yang terbangun dari interaksi antara anak
dengan pengasuh selama tiga tahun pertama, idealnya seorang ibu memang selalu
berada di samping anaknya minimal selama tiga tahun pertama. Dengan ibu senantiasa berada di dekat
anak, ibu akan mampu memenuhi rasa aman anak. Jika ibu terpaksa tidak bisa
karena harus bekerja keluar rumah, maka orangtua harus bertanggungjawab untuk
mencarikan pengasuh yang mampu menggantikan peran ibu untuk sementara waktu.
Semoga kita senantiasa dikuatkan oleh Allah ’Azza wa jalla untuk mampu
mengasuh anak-anak kita dengan baik. Allahu’alam bi shawab.
Dr. Hepi Wahyuningsih, M.Psi. Dosen Psikologi Universitas Islam Indonesia.
foto http://www.kabarmuslimah.com/wp-content/uploads/2014/12/anak-perempuan.jpg
Post a Comment