Sekolah Mahal, Siapa Peduli?
Oleh : Pandi Kuswoyo, M.Pd.
Tahun ajaran baru hampir tiba,
muncul kecemasan di antara para orangtua tentang pendidikan putra-putrinya. Pertama,
apakah putra-putrinya bisa masuk sekolah sesuai yang diinginkan. Kedua, jika
tidak, apakah mampu membayar biaya sekolah yang dinilai mahal oleh banyak
kalangan.
Dalam proses pemintaran dan
pemberdayaan pendidikan, menjalankan peran orangtua bukanlah sesuatu yang mudah
dalam kondisi sistem pendidikan yang telah salah kaprah menganut paham
privatisasi dan liberalisasi.
Senang atau tidak senang dan suka
atau tidak suka, liberalisasi, komersialisasi dan privatisasi di tubuh lembaga
pendidikan kita berdampak pada tingginya biaya pendidikan. Karenanya, rakyat
kecil tidak lagi bisa menjangkau biaya pendidikan yang terkadang memang tidak
realistis.
Kejengkelan terhadap sistem
pendidikan yang tidak berpihak pada kaum miskin seolah menjadi mata rantai yang
terus melilit leher rakyat kecil. Lalu, siapa yang peduli terhadap mahalnya
biaya pendidikan? Benarkah pendidikan yang mahal pasti bermutu? Lalu siapa yang
bisa menghentikan laju mahalnya biaya pendidikan di negeri ini?
Dengan semangat privatisasi
(otonomi), sekolah tanpa sadar atau malah sangat menyadari, telah menempatkan
diri sebagai “makelar” dalam arti sesungguhnya. Sekolah dimanfaatkan sebagai
ladang subur untuk mendulang keuntungan lewat sistem penerimaan siswa baru,
penarikan uang gedung, sumbangan pendidikan, pembelian buku paket pelajaran,
kain seragam, dan program akselerasi.
Dengan alasan otonomi dan
peningkatan mutu pendidikan, sekolah nyaris kehilangan rohnya sebagai lembaga
yang seharusnya lebih humanis sebagai tempat menimba ilmu dan menempa pekerti.
Sekolah tidak lagi menjadi
tanggungan pemerintah, cukup diserahkan pada mekanisme pasar. Di situlah
sekolah berangsur-angsur menjadi tempat eksklusif yang memberikan pelayanan
hanya bagi mereka yang mampu mem¬bayar.
Sekolah yang dicita-citakan dapat
memberikan kesempatan pendidikan yang murah bagi kebanyakan anak negeri ini,
namun toh akhirnya yang menikmati adalah kala¬ngan yang beramunisi finansial
besar.
Pragmatisme pendidikan semacam
inilah yang sesungguhnya salah, tetapi masih dianggap lumrah (dalam batas
kewajaran). Namun, ini akhirnya mengakibatkan biaya sekolah menjadi sangat
mahal dan elitis, dalam arti cuma menjadi wilayah para borjuis (orang-orang
berduit). Sementara itu, anak-anak yang berpotensi namun tidak memiliki cukup
biaya harus terpental sebelum sampai bangku sekolah.
Dengan demikian, menanggapi
realitas mahalnya biaya pendidikan dan praktik privatisasi yang kian masif,
kiranya kita semua tidak perlu berpangku tangan dan sibuk mencari kambing
hitamnya.
Masing-masing diri dari kita
mempunyai tanggung jawab untuk ambil bagian membantu membebaskan generasi
bangsa ini dari sistem sekolah yang mahal. Ini karena hanya kepedulian dan
kesadaran dari masyarakatlah yang menjadi kunci kebangkitan pendidikan yang
bermutu dan terjangkau. Lalu, atas pemahaman tersebut, masyarakat akan menjadi
kritis dan mampu menentukan pilihannya sendiri.
Meminjam istilah Eko Prasetyo
(2004), inilah yang dimaksud dengan melawan sekolah mahal lewat gerakan sosial.
Fakta yang ditemukan membeberkan bukti bahwa ternyata sekolah itu sangat mahal,
sedemikian mahalnya sehingga tidak bisa dijangkau anak-anak orang miskin,
karena orang tua mereka tak mampu membayarnya. Untuk itu, diperlukan sebuah
gerakan radikal agar sekolah bisa murah.
Oleh karena itu, selain adanya
kesadaran dan kepedulian serta langkah konkret yang terus-menerus diusahakan
oleh masyarakat, sekolah, atau siapa pun yang terlibat dalam pengelolaan
pendidikan, seharusnya mereka tidak menafikan siswa dan wali murid siswa karena
latar belakang sosial ekonomi yang berbeda.
Memang tidak banyak pihak yang
mau peduli dan memahami posisi demikian, melainkan kebanyakan lebih sibuk
dengan urusannya sendiri dan lebih suka menyoal isu-isu sensasional terkini ketimbang
harus bersusah payah mengurai benang kusut citra pendidikan di negeri ini.
Di tengah suasana seperti inilah,
sudah selayaknya pemerintah dan pihak-pihak terkait merumuskan regulasi untuk penetapan
tarif pembiayaan pendidikan. Artinya, pemerintah sesuai dengan kapasitas dan
fungsinya adalah memberikan perlindungan bagi masyarakat, termasuk dalam
praktik penyelenggaraan pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar sekalipun.
Tugas utama pendidikan (sekolah)
sebenarnya adalah sebagai usaha untuk memanusiakan manusia (people empowerment). Ini bukan bentuk
pemerahan terhadap peserta didik dengan segala akal bulus caranya.
Sekolah bermutu dan terjangkau
untuk semua kalangan akan bisa terwujud jika pemerintah, pejabat terkait, dan
seluruh elemen bangsa, terutama orangtua, guru, kepala sekolah, memiliki
kesadaran dan kemauan untuk menata, saling mengisi, dan saling melengkapi dalam
membangun sistem pendidikan yang benar-benar memihak pada kepentingan rakyat.
Jika hal demikian bukanlah harapan bangsa ini, bisa jadi pendidikan di negeri
ini telah mati.
Pandi Kuswoyo, M.Pd.
Kepala Sekolah SDIT Salsabila Banguntapan
Post a Comment