Cara Cepat Dapat Gelar
Oleh : Dr. Subhan Afifi, M.Si
Seorang kawan di sebuah pulau yang makmur pernah berkirim SMS kepada
saya. “Ini bisnis,” katanya. Intinya, ada beberapa pejabat di pulau itu ingin melanjutkan
S2 dengan model by research, hanya
mengerjakan tesis. Tapi mereka super sibuk, sehingga mencari orang yang mau dan
mampu mengerjakannya dengan imbalan rupiah tentu saja. “Kalau Abang mau, nanti
saya hubungkan,” tulis sang kawan. Tentu saja kawan itu salah alamat. Kontan
saja saya balas SMS-nya bertubi-tubi, mengingatkan bahwa itulah kejahatan
intelektual sebenarnya. Orang kok ingin dapat gelar dengan cara pintas.
Beberapa waktu kemudian, saya menguji skripsi seorang calon sarjana.
Tulisan dari hasil penelitian itu standar-standar saja, seperti kebanyakan
skripsi mahasiswa yang pernah saya temui. Hati agak kurang nyaman ketika
mahasiswa itu mempresentasikan karyanya di depan kami, saya sebagai penelaah,
dan dua orang dosen pembimbing. Ketika giliran saya menyampaikan pertanyaan,
saya bertanya singkat saja: ”Apakah skripsi ini anda buat sendiri?”. Aneh bin
ajaib, si mahasiswa menjawab dengan sangat polos : ”Nggak, Pak ! He…he…” Maka, meluncurlah cerita yang sangat jujur,
bahwa ia merasa sudah mentok, pernah patah hati kemudian cuti kuliah beberapa
semester. Sementara orangtua tidak tahu, tapi terus mengultimatum, ”Kapan kamu
wisuda? Ini semester terakhir lho ! Setelah ini nggak ada kiriman lagi !” Maka, jasa pembuat skripsi yang iklannya
ada di koran-koran dengan label konsultasi dan pengolahan data, menjadi pilihan
terakhirnya. ”Saya bingung, Pak. Tapi saya ingin lulus, jadi sarjana,
menyenangkan orangtua,” katanya.
Dosen pembimbingnya pun kaget campur geram. Mahasiswa ini memang
tergolong bermasalah sejak awal. Belasan semester sudah dia habiskan di kampus.
Tapi, dosen pembimbingnya tidak menyangka kalau skripsinya dibuatkan orang,
karena waktu konsultasi biasa-biasa saja. Singkat cerita, sang mahasiswa
dinyatakan tidak lulus, harus mengulang penelitian dari awal, dengan catatan
”benar-benar bikin sendiri!”. ”Sejelek apapun, tapi karya sendiri, itu lebih
berharga, daripada menipu diri sendiri dan orang lain,” begitu nasihat dosen
pembimbing. Melihat kepala mahasiswa tertunduk lunglai, saya pun mencoba
memberi semangat bahwa dia bisa, dia hebat, asal jangan mengerdilkan jiwa.
Dalam hati, lagi-lagi saya heran, ada orang ingin dapat gelar dengan cara
pintas.
Lantas, apa sebenarnya makna gelar? Bukan hanya gelar akademis,
gelar apa saja! Sekedar hiasan, status sosial, alat pemasaran, punya
konsekuensi ekonomis, atau semacam sistem tanda yang menjamin bahwa si pemilik
bukan orang main-main. Repotnya bila orang mati-matian mengejar gelar,
bagaimanapun caranya, atau malah menggelari diri sendiri, padahal ketika
disandingkan dengan nama, gelar itu gak
matching gitu lo. Ini yang berat. Pelajaran paling indah telah tertoreh
pada sejarah nabi kita yang Agung, Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam. Di zaman itu, orang juga biasa memberi gelar. Tapi gelar
itu diberi karena pembuktian di masyarakat, bukan mengarang sendiri, apalagi
membeli. Rasulullah diberi gelar Al-Amin, karena beliau memang sangat bisa
dipercaya. Abu Bakar digelari Ash Shiddiq karena selalu benar, membenarkan dan
dibenarkan. Umar bin Khattab bergelar Al Faruq karena sosoknya yang tegar,
tegas, keras, tak kenal takut. Demikian juga dengan ’Utsman bin Affan dihadiahi
gelar Dzun Nurain, si pemalu yang berakhlaq mulia, Khalid bin Walid punya gelar
Saifullah, Pedang Allah, dan seterusnya. Semua punya gelar, tapi mereka
memperolehnya dengan pembuktian yang mendalam, bukan sekedar simbol tanpa
makna.
Ngomong-ngomong tentang gelar, saya jadi malu sendiri. Ketika
diundang untuk sharing dalam sebuah
workshop komunikasi dan pendidikan di Ngawi, saya kaget dan geli ketika di backdrop acara, selain nama acara dan
penyelenggara, terpampang besar-besar nama saya dengan embel-embel gelar yang
bikin seram. Dr. H. Subhan Afifi, M.Si. Padahal waktu itu, saya belum lulus
kuliah S3, maka belum memperoleh gelar Doktor. Saya merasa tidak nyaman dan
langsung protes sama ketua panitia. ”Sampeyan kan tahu, saya masih sekolah,
belum Doktor, gimana nih? Lagipula, kalau nggak
pakai gelar-gelaran seperti itu gimana sih..Apa omongan kita nggak dipercaya orang, kalau nggak pake gelar yang berderet-deret.
Jadi beban malah, gelar macam-macam, ilmu nggak ada.” Mendengar protes saya,
salah satu panitia menjawab,”Tenang aja Pak, itu doa dari kami, jadi jangan
diralat,” katanya santai. Waduh!
Dr. Subhan Afifi, M.Si | Kaprodi Ilmu Komunikasi FISIP UPN Veteran
Yogyakarta | Redaktur Ahli Majalah Fahma
foto http://portal.iainbanten.ac.id/images/wisuda.jpg
Post a Comment