Ketika Anggota Tubuh Kita Pensiun Dini
Oleh Herwin Nur
Sikap umat Islam terhadap berita akhirat yang tersurat maupun
tersirat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul, wajar dan manusiawi serta
bersifat individual. Substansi masa depan digambarkan standar dan kurang dalam.
Surga seluas bumi dan seluas langit. Neraka dalam bentuk tingkatan lapisan. Kita
mengganggap itu urusan nanti, diperhitungkan, disiapkan dan disiasaati jika
sudah berusia lanjut. Jika sudah senja usia. Di depan mata, de facto dan
de jure, manusia selalu sibuk dengan urusan dunia. Fokus ke persaingan
cari sesuap nasi sampai meracik dan merakit
takhta.
Jika ada tayangan dakwah, kuliah tujuh menit, sareng ustadz di
televisi, atau khotbah jumat, bahasan dan kupasan substansi masa depan sesudah
kehidupan dunia bersifat searah. Sekedar mengingatkan. Sekedar untuk didengar. Sekedar
untuk diketahui. Sekedar pelengkap. Ironisnya, komunitas kajian di masjid pun acap
menganggap bedah masa depan sekedar mengisi waktu dan acara, disimak sambil
duduk yang manis bergerombol mengobrol masalah terkini. Diskusi, dialog dan
debat nyaris bergaya matematis, sudah bisa diduga jawabannya.
Sejak kita mendengar, memperoleh, menyantap informasi tentang gambaran
seperti apa itu surga, serta membayangkan
bagaimana wujud, bentuk serta betapa dahsyat dan ganasnya api neraka, sampai detik
ini seolah tidak ada perubahan redaksional, substansi statis, apalagi hikmah dibalik
periwayatan.
Kalau kita cermati, atau kita mulai dari dasar pengimanan, salah
satu rukun iman yaitu beriman kepada
hari akhirat. Kita bisa menghitung mundur kejadian di kehidupan masa depan ke
dalam bentuk kehidupan sekarang di dunia. Betapa ‘anggota
tubuh manusia akan menjadi saksi di hari
kiamat’ akan dihadapi sebagai rangkaian proses peradilan Allah,
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Fushshilat (yang dijelaskan), ayat 19 hingga
ayat 25. Kita simak ada ayat yang walau peruntukkannya bersifat khusus, yaitu
tersurat di Al-Qur’an [Fushshilat (41) : (20)] : “Sehingga apabila mereka sampai ke neraka,
pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang
apa yang telah mereka kerjakan.” Ayat ini menarik kita bedah lebih lanjut.
Jangan diartikan, pendengaran, penglihatan dan kulit bersaksi ketika manusia
sudah berada di neraka. Wallahu a
‘lam bish shawab.
Melacak ayat yang berlaku untuk semua
umat Islam, kita buka Al-Qur’an [An Nuur (24) : (24)] : “pada hari (ketika), lidah, tangan dan
kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” Lidah dan kulit, tidak sekedar sebagai
salah satu kelengkapan panca indra.. Lidah yang tak bertulang, sanggup
memperlancar mulut kita untuk melahirkan bahasa ucap. Pengobatan mutakhir terkini
sulit menghapus luka akibat ucapan, akibat omongan, akibat pergunjingan, akibat
gosip sebagai hiburan. Sampai akhirat pun, lidah tetap setia mendampingi
keberadaan dan hakikat kita.
Bagaimana merekayasakan anggota tubuh
kita (pendengaran, penglihatan dan kulit), serta lidah, tangan dan kaki kita,
agar menjadi saksi yang meringankan, bukan saksi yang memberatkan diri kita. Tentunya,
bukan hal yang mustahil bisa dilakukan. Kita lanjut simak kandungan Al-Qur’an [Yaasiin (36)
: (65)] : “Pada hari
ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan
memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.”
Tangan berkata, bercerita tentang pengalamannnya. Tangan yang hanya taat,
pasrah dan tudnuk kepada tuannya. Siap melaksanakan kehendak sang majikan. Fungsi
tangan tergantung niat yang empunya. Kaki memberikan kesaksian. Bahkan kaki
jika diberi peluang bersaksi, atau sempat mencacat kemana saja di ajak jalan,
tempat apa saja yang didatangi, akan memberikan bukti tertulis kemana saja
melangkah.
Singkat kata, pernahkah terbetik di pikiran kita, terlintas di
angan-angan kita, andai anggota tubuh kita, yang seolah di bawah kendali kita, protes
atas segala tindak tanduk, tingkah laku, olah polah, sepak terjang kita. Unjuk
rasa diam-diam atau bahkan mogok kerja. Mengajukan mosi tidak percaya. Pensiun
dini tanpa minta pesangon. Pensiun dini dengan ikhlas, suka rela, tanpa
catatatan apa pun.
Tiba-tiba lidah kita kelu, tertatih-tatih berucap, tidak lincah
memproduk kata.
Tiba-tiba pendengaran kita tidak bisa mendengar desah nafas diri
sendiri.
Tiba-tiba penglihatan kita tidak mampu mendeteksi keberadaan jari
tangan kita.
Tiba-tiba tangan kita lunglai tidak sanggup menepuk dada, tidak
suka main tunjuk.
Tiba-tiba kaki kita lumpuh tanpa daya dan tidak mau mengajak kita
blusukan lagi.
Tiba-tiba kulit kita mengeriput, kisut, susut, surut tidak sudi
mematut diri kita.
Segala aksi anggota tubuh mereka lakukan agar kita tidak menjadi
penduduk ahli neraka, minimal tidak merintis jalan ke neraka. Justru mereka di
dunia menyayangi diri kita. Atau karena kita kurang peka, tidak tanggap, tak
peduli, daya respon rendah terhadap sinyal yang mereka luncurkan. Jika ilmu
agama kita masih bersifat perintisan, kita pakai akal. Andai ilmu bangku
sekolah maupun bangku kuliah tidak mengajarkan, di kamus tidak ada acuannya,
kita tanya dan berkaca pada pengalaman orang lain. Tiga cara ini masih nihil, tidak
bisa membaca rambu-rambu menapaki jalan yang lurus kita wajib mawas diri.
Tanpa mengenal batasan usia, tanpa pandang waktu, sering anggota
tubuh kita mogok mendadak. Tidak bisa berfungsi optimal. Tidak normal. Kaki
kanan tidak akrab dengan kaki kiri. Tangan kanan berseteru dengan tangan kiri. Kulit
menggigil, merinding, bergidik. Lidah terasa tak bertulang, lumpuh atau kaku. Berbagai
kondisi fisik yang kita rasakan, kita anggap lumrah. Di balik itu, sebenarnya tersirat
sinyal Allah, sebagai peringatan dini dari Allah.
Post a Comment