Gagasan : Karena Kita Adalah Lingkungan Bagi Mereka


Oleh : Maulani

Di tengah kajian yang diselenggarakan oleh sebuah komunitas membaca Al Qur’an, terdengar lantunan tilawah yang dibacakan oleh beberapa anak. Salah satu di antara mereka ada yang suara dan gaya ngajinya mirip Ahmad Saud

Usai mengikuti kajian, agenda saya beralih ke workshop Kurikulum 2013. Ada paparan narasumber yang jadi catatan penting bagi saya tentang anak unggul dan berbakat. Mereka ada karena proses dan peran pribadi hebat di sekitarnya, bukan sulapan bimsalabim, mendadak dalam sekejap jadi anak pintar, pintar menghormati orang lain, pintar menjaga perasaan orang lain, pintar mengelola emosi, pintar mencintai agamanya,lalu mengaplikasi dalam hidupnya. Pintar membaca, membaca kondisi, membaca lingkungan, membaca perubahan, bukan proses yang instan atau sulapan.

Saat duduk di ruang workshop, ingatan saya masih berlarian ke anak kecil bersuara mirip Ahmad Saud tadi. Sebelum ngaji, saya lihat bahasa tubuhnya saat berjalan di depan orang yang lebih tua, sopan dan bersahaja. Cara mengajinya juga tidak sekedar tahu cara membaca, tapi terlihat ada rasa cinta membaca Al Qur'an. Tentu semua itu ada yang mengajari dan bukan terbentuk dalam hitungan satu atau dua hari.

Ya, anak-anak terbentuk oleh orang-orang dan lingkungan sekitar. Jika ia tinggal dalam komunitas pencinta Al Qur'an, maka yang anak-anak lihat sehari-hari adalah nafas Al Qur'an. Seperti anak-anak di Gaza, Palestina. Di barak pengungsian, di bengkel, di gang sempit, di pasar, di manapun anak-anak berada, merekamuroja’ah, tilawah dan setoran hafalan kepada gurunya. Sebab sedari kecil, lingkungan seperti keluarga dan sekolah mengajarkan bahwa negeri mereka akan merdeka karena kekuatan Al Qur'an. Kisah ini saya dapat saat mengikuti acara yang digelar oleh Sahabat Al Aqsha beberapa waktu yang lalu.

Dalam acara tersebut, hadir relawan yang pernah terjun ke Gaza, menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan anak-anak Gaza. Relawan tersebut menuturkan bahwa anak-anak di Gaza memiliki cita-cita menjadi syahid karena lingkungan yang membentuknya. Mereka menjadi hafidz dan hafidzah dalam usia yang sangat muda juga karena pribadi hebat di sekitarnya.

Lalu sudahkah kita menjadi contoh panutan atau sudahkah kita menciptakan lingkungan yang baik untuk anak-anak kita? Sedangkan kita setiap hari masih asyik dengan tayangan sampah di televisi, mulai dongeng berhala yg melenakan karena penuh dengan hal-hal yang tidak logis bahkan menyimpang dari agama. Anak-anak kita biarkan mengidolakan tokoh di TV, memangnya siapa mereka?

Bahkan kita saja tidak mengenalnya karena buku-buku ilmiah tidak ada yang menulis memoar tentang hidup artis-artis sinetron tersebut. Akibat pengaruh televisi, anak-anak juga sudah terbiasa melihat pribadi-pribadi yang tidak memiliki rasa malu.Betapa sering puluhan kamera menyorot pelaku kasus 'pencurian' (mengambil yg bukan haknya) tapi beliau yg 'terhormat' masih bisa berpose santai dengan senyum lebar penuh percaya diri. Belum lagi orang dengan pakaian perlente dan berteriak garang di depan forum besar dan ditonton seluruh penduduk negeri ini. Sudah hilangkah budaya malu di negeri ini?

Kasihan anak-anak saya kelak jika melihat lingkungan yang demikian. Miris dan sedih.Tapi tadi pagi saya menemukan anak-anak yang bertumbuh dan terjaga lingkungannya, berada dalam komunitas yang sehat dan cerdas sehingga saya pun yakin akan banyak Ahmad Saud laindi sekitar kita. Semua itu bisa terjadi jika kita lebih peduli, karena setiap kita adalah lingkungan bagi anak-anak kita.

Maulani, SSosI, Pendidik di TPA Praba Dharma, Yogyakarta

Admin : @emthorif

Foto Murid SDIT Hidayatullah Yogyakarta ketika outbond
Powered by Blogger.
close