Kolom Prof. In : Jarang Makan Malam Bersama


Oleh Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A.

Pada suatu malam, setelah selesai makan, saya dan istri, tidak meninggalkan meja, tetap duduk sambil mengobrol. Saat itu istri menceritakan tentang salah satu mahasiswa bimbingan akademiknya (dia menyebutkan sebuah nama), yang telah mengalami perubahan banyak sekali. Mulai dari penampilan, cara berbicara sampai ke cara mengirim SMS.

Pada semester awal, saat pertama dan kedua kali mahasiswa itu menghadap untuk meminta tanda tangan, penampilannya betul-betul tidak mencerminkan seseorang yang setiap harinya berwudlu minimal lima kali. Meskipun pakaiannya dari  bahan berkualitas dan bermerek, namun cara mengenakannya asal-asalan. Perilakunya kurang sopan, setelah selesai mendapatkan tanda tangan lalu pergi begitu saja tanpa permisi, apalagi ucapan terimakasih. Melihat perilaku seperti ini, istri menebak, anak itu pasti jarang berkomunikasi dengan orangtuanya dan mungkin jarang juga mendengar nasehat.  

Karena istri merasa sebagai seorang pendidik, bukan hanya sekedar sebagai pengajar, dan sekaligus juga seorang ibu dari tiga putra-putri yang sudah dewasa, hatinya tergerak untuk ikut membenahinya, mumpung statusnya masih mahasiswa baru. Kalau terbiarkan seperti itu sampai dia lulus, tidak ada yang peduli, maka pastilah dia akan kesulitan mencari pekerjaan, karena kemampuan interpersonal- nya lemah. Sebelum memulai niat itu, istri mencoba menyelami latar belakang kehidupannya.

Ternyata dugaan istri betul, dulu ketika dia masih di SMA, jarang sekali berkomunikasi dengan kedua orangtuanya. Bahkan sampai yang namanya makan malam bersama satu mejapun, itu merupakan kesempatan yang langka terjadi. Dia mengaku, hampir setiap malam, setelah mengisi piringnya dengan apa-apa yang ada di meja makan, dia langsung masuk di kamarnya sendiri. Makan sambil nonton TV, main game atau mengerjakan tugas sekolah.

Mendengar pengakuannya itu, istri heran, apa ayah dan bundanya tidak pernah menegur atau melarang ketika dia makan di dalam kamarnya sendiri, tempat yang tidak semestinya untuk makan. Sambil ketawa mahasiswa tadi menjawab, kalau bundanya sering sibuk dengan kegiatannya sendiri, termasuk nonton televisi di dekat ruang makan, dan ayahnyapun juga sibuk berkomunikasi dengan relasinya lewat dua handphone di ruang keluarga.

Mengapa istri tadi heran, karena memang sejak anak-anak masih kecil, kami sekeluarga selalu berusaha makan bersama, terutama makan malam. Karena dengan kebersamaan inilah kami bisa saling berkomunikasi. Sehingga ketika si anak menjalani sesuatu yang tidak benar atau sedang mempunyai persoalan, maka akan segera terdeteksi, persoalannya tidak sampai berlarut-larut. Dengan kebiasaan inipun, kadang juga masih ada persoalan anak-anak yang tidak terdeteksi.

Namun ternyata, mahasiswa tadi hanyalah salah satu dari sekian banyak anak yang mempunyai kebiasaan makan sendiri di dalam kamar, tidak bersama keluarga. Hal ini terungkap ketika anak perempuan kami yang bungsu, melaksanakan kerja magang di salah satu rumah sakit di luar kota, dan tinggal serumah dengan delapan temannya. Dari komunikasi kesehariannya ternyata diketahui, bahwa teman-temannyapun hampir semua tidak mempunyai kebiasaan makan bersama keluarga, mereka makan sendiri-sendiri, bahkan beberapa juga makan di kamarnya. Justru teman-temanyalah yang heran, mengapa anak kami mempunyai kebiasaan, bahkan setengah diwajibkan, makan bersama anggota keluarga yang lain.

Dengan diskusi, dialog dan nasehat yang diberikan istri kepada mahasiswa bimbingannya itu, sedikit demi sedikit terjadi perubahan, dan akhirnya bisa berubah sama sekali. Saat ini cara berpakaiannya sudah serasi, rambut disisir rapi, kalau sms kalimatnya juga sudah tidak lagi seenaknya, dan yang penting, sekarang dia mudah mengucapkan kata maaf, terimakasih dan mohon doanya. Saya dan istri yakin, perubahan ini tidak akan terjadi seandainya mahasiswa itu tidak mempunyai kemauan yang kuat untuk selalu ingin belajar dan belajar. Secara tidak langsung dia sudah mempersiapkan masa depannya dengan lebih baik.


Dengan komunikasi rutin antar anggota keluarga saja masih memungkinkan adanya persoalan, apalagi yang jarang atau bahkan tidak pernah sama sekali. Wallahu’alam bishawab.

Prof. Dr. Ir. Indarto, D.EA. Pimpinan Umum Majalah Fahma dan Guru Besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta

foto by https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioAJJCrjIJBXEmAGUnbLPcyNjeIyTYQ8F_IFXNtMv9ZX5mt6GTse4Pd5tFqBOUYVTAonbCDW72Vcugf3zDSmu22ce1oNw2hwEbRnvPy0NbZSsuPEX_7dGH_6otC3dViBRCWsVLr1GOyZ1L/s400/Berdoa+sebelum+makan.jpg
Powered by Blogger.
close