Kolom Prof. In : Menghormati Istri
Oleh
Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A.
Tepat
jam 06.50, bus Damri yang
saya tumpangi sampai ke terminal keberangkatan di bandara Soekarno-Hatta, saya
turun dan menuju lift untuk naik ke
lantai dua, tempat check-in.
Ketika
sedang menunggu lift, datang sepasang
laki-laki dan wanita berjilbab, dari cara laki-laki memanggil wanita itu,
mereka adalah sepasang suami-istri yang
masih muda.
Yang perempuan menarik
sebuah koper, meskipun kelihatannya tidak terlalu berat, namun terlihat
membebani karena volumenya besar. Sedangkan sang suami hanya membawa tas kecil
yang talinya diselampirkan di bahunya. Ketika pintu lift terbuka, saya yang berdiri tepat di depan pintu melangkah
masuk dan disusul lelaki tadi, baru kemudian istrinya. Saya mengerutkan kening
ketika melihat suami tadi membiarkan istrinya masuk lift dengan menarik kopor sendirian, padahal terlihat repot.
Dalam
hati saya berpikir, tega benar lelaki ini membiarkan wanita itu terbebani,
tanpa ada keinginan untuk membantu. Namun pikiran tadi saya bantah sendiri “Ah.., mungkin hanya secara kebetulan saja, tanpa sengaja suami
itu membiarkan istrinya”. “Coba, nanti saat keluar dari lift seperti apa reaksi lelaki itu”. Ternyata sikapnya sama, dia
tetap membiarkan wanita itu membawa kopor sendiri keluar dari lift.
Sambil
antri untuk check-in, saya mencoba mengingat
kembali peristiwa yang baru saja saya lihat itu, dan mencoba melihat fenomena yang terjadi di sekitar kita, terutama yang
muslim. Memang secara umum, suami masih belum betul-betul memuliakan istri
seperti yang diajarkan oleh junjungan kita nabi besar Muhammad Shallallahu ‘allaihi wassallam.
Seperti
halnya pasangan tadi, terlihat belum tercipta perasaan saling berbagi di antara
keduanya. Kami bersyukur, istri dan saya selalu berusaha berbagi dalam
menjalani aktivitas keluarga, tanpa melepas tanggung jawab kita masing-masing. Misal,
ketika belanja di pasar ataupun di supermarket,
saya selalu berusaha membawa belanjaan lebih banyak dari yang dibawa istri. Bahkan,
kalau diijinkan akan saya bawa semuanya, tetapi istri selalu mengambil alih
sebagian. Terutama kalau di dalam belanjaan itu ada sayur-mayurnya, istri
selalu berusaha melarang saya membawanya. Katanya “Bapak-bapak kok membawa
belanjaan sayur, nggak pantas”. Biasanya
saya jawab “Ya nggak apa-apa, kan nggak
ada larangan”.
Secara
pribadi saya tidak mempersoalkan itu semua. Yang ada di benak saya, laki-laki
harus bertanggung jawab, termasuk membawakan barang belanjaan. Kalau orang lain
melihat saat istri mengambil sebagian belanjaan dari saya, dikiranya kami rebutan
sesuatu, padahal ingin berbagi beban.
Ketika
sedang berjalan berdua, suami harus selalu berusaha ada di sisi yang lebih
berbahaya, pada posisi melindungi. Kalau berjalan di kiri jalan, maka suami
berada di kanannya, dan sebaliknya kalau berjalan di kanan jalan. Kalau
kebetulan saya belum di posisi itu, istri mengingatkan dengan cara menarik
tangan saya, agar saya berpindah ke sisi yang berbahaya.
Kesediaan
saling berbagi, saling mengingatkan ini tidak hanya saat membawa barang,
penanganan anak-anak saat kecil pun juga begitu.
Karena sejak anak pertama lahir sampai usia 3,5 tahun,
saya
tidak bisa menunggui terus, waktu itu saya tugas belajar di Perancis, maka
begitu anak kedua dan ketiga lahir saya harus menebus ketidak-ikut sertaan saya
sebelumnya. Tanpa diawali kesepakatan, ternyata tercipta pembagian kewajiban.
Kalau siang hari istri yang melayani anak-anak, dan pada malam hari berganti
saya. Jadi kalau malam hari mereka pipis, ingin ke belakang atau minta sesuatu,
maka saya yang bangun melayaninya. Memandikan anak-anak saat usia TK dan SD juga
bagian saya. Semua ini berlangsung sampai mereka bisa melakukannya sendiri. Alhamdulillah, dengan berbagi seperti itu,
kami dapat menjalankan kewajiban memelihara anak-anak dengan adil. Mereka
mempunyai kedekatan yang sama dengan ayah dan ibunya, kami tidak ingin saling
mendominasi.
Jadi,
wajarlah kalau saya kurang setuju ketika melihat sikap suami terhadap istri
seperti yang di bandara itu. Tetapi mungkin bisa juga, suami tadi sudah meminta
koper untuk dibawakan, tetapi istrinya tidak memperbolehkan. Namun sebetulnya
apapun alasannya, akan tetap lebih baik bila suami memegang koper tersebut agar
tetap merasa saling berbagi.
Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A. Guru Besar
Universitas Gajah Mada | Pemimpin Umum Majalah Fahma
Post a Comment