Parenting : Orangtua Digital
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Suatu malam di
stasiun kereta api Tugu, Yogyakarta. Seorang ibu sedang menebar senyumnya,
entah dengan siapa. Tapi bukan kepada orang di sekelilingnya, bukan pula kepada
anaknya yang masih balita di sampingnya. Tampak sangat asyik. Diselai lorong
sempit, suaminya duduk hamper berhadapan, tepatnya sejajar dengan anak lelaki
mereka, juga tengah asyik dengan gadget ukuran cukup lebar di tangannya.
Mungkinkah suami-istri sedang itu asyik bercanda melalui gadget? Sepertinya
tidak. Ekspresi mereka menunjukkan keasyikan yang berbeda.
Anak lelakinya
sesekali merajuk meminta perhatian, tetapi segera ditepis oleh ibunya, bahkan
kadang agak ketus. Anak itu masih berusaha merebut perhatian ibunya, tapi tetap
gagal. Lalu ia mencoba lagi meraih perhatian ayahnya. Tetap sama: gagal.
Beberapa saat kemudian ibunya tiba-tiba dengan wajah penuh semangat berbicara
kepada anaknya, meminta berdiri, lalu berpose sejenak untuk diambil gambarnya
melalui gadget. Belum puas, sekali lagi anaknya diminta bergaya. Senyum lebar
merekah dari keduanya. Tetapi sesudahnya, ibu itu kembali tenggelam dengan
gadegtnya, membiarkan anak lapar perhatian.
Tak kehilangan
akal, anak ini lalu menendang trolley bag miliknya. Jatuh. Ibunya segera
merenggut tangannya dan memelototinya dengan marah. Anak laki-laki itu segera
menangis, menunjukkan pemberontakannya. Gagal mendiamkan anaknya, meski
upayanya belum seberapa, ibu itu segera meminta suaminya turun tangan. Tak
kalah galak, ayah anak lelaki yang “malang” itu segera menampakkan kemarahan
dan memaksanya diam. Tapi anak tetap menangis. Berontak. Anak itu baru diam
sesudah jurus ancaman meninggalkan anak itu sendirian di stasiun, dilancarkan
ayahnya.
Pemandangan
menyedihkan. Inilah orangtua digital yang luar biasa sibuk, bukan karena
banyaknya urusan, tetapi karena banyaknya percakapan di sosial media yang
mereka ikuti. Orangtua memperoleh keasyikan dengan gadegtnya, tetapi anaknya
menderita kelaparan perhatian.
Diam-diam saya
bertanya, seperti apakah saya? Jangan-jangan saya pun telah menjadi orangtua
digital yang menganggap semua persoalan dapat diselesaikan dengan up-date
status twitter maupun facebook. Mesra di media sosial, tapi kering dalam
berbincang tatap muka. Penuh jempol di laman facebook, tetapi yang bergerak
hanya jari tengah dan telunjuk. Bukan jempolnya sendiri.
Pada anak-anak
balita, mereka tak dapat mengimbangi dengan aktivitas internet. Tetapi mereka
pun mulai belajar menikmati dunianya sendiri dengan gadget, game dan tontonan
sembari pelahan-lahan belajar menganggap kehadiran orangtua sebagai gangguan.
Di saat seperti itu, masihkah kita berharap tutur kata kita akan mereka dengar
sepenuh hati?
Astaghfirullahal
‘adzim.
Kepada Allah Ta’ala saya memohon atas lalai, lengah dan teledor saya terhadap
anak-anak dan keluarga.
Tapi bukankah
kita tidak dapat mengelak dari kehidupan digital? Emm… Mungkin ya, mungkin
tidak. Berkenaan dengan ini, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan:
Pseudo-Attachment: Seakan Dekat, tapi Tak Akrab
Jika anak aktif
di social media, orangtua memang sebaiknya berteman ataupun saling menjadi
follower. Tetapi ini saja tidak cukup. Orangtua tetap perlu memperhatikan
tingkat konsumsi anak terhadap social-media. Merespon status anak di social
media juga sangat bagus, tetapi jika tidak mengimbangi dengan aktivitas
nir-luring (off line) yang baik, kita dapat terjebak dalam pseudo-attachment (kedekatan
semu), seakan saling dekat, padahal masing-masing sibuk dengan dunianya
sendiri; sibuk narsis. Orangtua merasa dekat dengan anak, padahal mereka
sebenarnya belum benar-benar saling mengenal.
Privasi atau
Alienasi: Tetap Harus Ada
Kontrol Orangtua
Salah satu kata
sakti di era digital ini adalah privasi. Terlebih sejumlah gadget memang
menyediakan fitur yang memberikan privasi penuh. Tetapi satu hal yang harus
kita ingat, memberi pupuk (padahal ini sangat bermanfaat) sebelum waktunya
justru menjadikan tanaman mati. Bukan sekedar tidak berkembang. Begitu pun
privasi, tanpa kendali yang baik dari orangtua di satu sisi, dan kepedulian
serta empati yang kuat pada diri anak, member privasi penuh justru menjadi
pintu awal alienasi. Anak terasing secara sosial, selfish dan egois. Jika ini
terjadi, kecakapan sosial anak akan tumpul.
Apakah ini
berarti kita tidak memberikan privasi? Kita tetap memberikannya sesuai tuntunan
agama dengan takaran yang tepat. Kita memberikannya untuk hal-hal tertentu,
misal berkenaan dengan penjagaan aurat, tetapi tidak membiarkan anak tenggelam
dengan dunianya sendiri atas nama privasi. Soal gadget yang berkemampuan untuk
melakukan aktivitas online misalnya, kita perlu mengingat bahwa anak perlu
bekal memadai berkait etika berinternet dan memahami betul apa yang perlu
dilakukan untuk memperoleh manfaat dari gadget. Bukan sekedar memperturutkan
keasyikan.
Privasi juga
hanya akan baik apabila sudah tepat waktunya untuk memberikan. Ibarat api. Jika
anak belum dapat cukup matang, jangan biarkan anak bermain-main api sendirian.
Nah.
Mesin Pembunuh
Itu Bernama Game Online
Jangan kaget.
Saya harus menyebut dengan ungkapan menyeramkan karena memang sangat banyak
kasus yang saya temukan. Gegara game online, anak yang tinggal setengah juz
saja sudah hafal Al-Qur’an penuh 30 juz, akhirnya terdampak menjadi pecandu
game online. Sanggup bermain terus-menerus hingga lebih dari 2 hari 2 malam
tanpa istirahat. Mereka berhenti bermain hanya karena badannya sudah tidak kuat
lagi menyanggah keinginannya. Berhenti karena tertidur. Ini berarti, anak yang
telah kecanduan game online kelas berat hampir tak melakukan aktivitas lain di
luar bermain game. Ini sangat mengerikan.
Ada pula yang
sampai melakukan penipuan demi membeli level bermain game online yang lebih
tinggi. Ini semua tentu tidak tiba-tiba. Ada tahapnya. Nah, yang perlu kita
jaga adalah, anak yang belum kenal game online jangan sampai diantarkan ke
pintu-pintunya semata karena temannya banyak yang bermain game online. Tiap
orangtua punya arah (termasuk yang tidak tahu harus kemana). Kita harus
mengendalikan arah pendidikan anak kita.
Time to Go
Online: Kapan Kita Beri
Kesempatan Anak Berselancar
Boleh saja anak
melakukan aktivitas online, tetapi kita perlu memperhatikan beberapa hal.Pertama, apakah budaya belajarnya telah
tertanam kuat. Budaya belajar, bukan sekedar kebiasaan belajar. Jika budaya
belajar belum mereka miliki, maka kegiatan online akan mematikan hingga ke
akar-akarnya. Kedua, apakah anak telah memahami betul etika
dunia maya serta manfaat apa yang akan mereka dapatkan. Jika mereka memiliki
arah yang jelas, internet dapat menjadi fasilitas yang sangat bermanfaat.
Tetapi jika tidak, mereka akan terkalahkan oleh internet dan tenggelam di
dalamnya, termasuk tenggelam dalam aktivitas pacaran online. Ketiga, apakah
anak memiliki kecakapan sosial yang memadai dan memiliki ikatan sosial yang
baik dengan teman-teman maupun keluarga. Jika ini tidak ada, kita perlu
persiapkan anak agar memiliki lingkungan hubungan sosial yang baik terlebih
dahulu agar kelak tidak teralienasi dari kehidupan sosial atau bahkan kehidupan
nyata pada tingkat minimal.
Usia berapa
sebaiknya anak boleh melakukan kegiatan online? Jika benar-benar sampai pada
tingkat kebutuhan, anak dapat memiliki alamat email dan kegiatan internet untuk
mencari pengetahuan di usia sekitar 10 tahun. Syaratnya, tiga hal tadi telah
ada.
Wallahu a’lam
bish-shawab.
Mohammad Fauzil
Adhim,
Penulis Buku | Twitter @kupinang | Facebook Mohammad Fauzil Adhim
***
Tulisan ini
merupakan artikel yang dimuat di majalah Hidayatullah edisi September 2015 (bulan ini).
Secara rutin saya menulis di majalah Hidayatullah kolom Parenting, selain menulis
di majalah Demi Cinta (Kualalumpur) dan beberapa majalah
lainnya.
Post a Comment