Sebuah Rencana Tidak Mutlak Pasti Terjadi


Oleh Imam Nawawi
Judul di atas adalah yang saya alami dalam suatu hari. Rasanya sudah hampir sebulan, raga ini tak mendapat haknya untuk bergerak (berolahraga). Tiba-tiba invite untuk bermain futsal pun tiba. Sontak, girang sekali saya rasanya mendapat undangan itu.
Pagi-pagi pun, semua sudah kusiapkan. Sepatu, celana dan segenap perlengkapan minimalis sudah tinggal bawa. Saat seorang teman bertanya, “Ayo siapa yang sore ini bisa ikut main?” Saya pun menjadi yang kedua melambaikan tangan di grup WA yang khusus bicara jadwal bermain futsal itu.
Kejadian seperti di atas, bukan sekali dua kali kualami. Dan, menariknya selalu tidak jauh-jauh dari yang namanya jadwal berolahraga. Dalam hati pun melintas renungan, “Ya Allah, betapa jika Engkau tidak menghendaki, hal-hal yang secara akal tidak sulit pun, tidak akan bisa dilaksanakan dengan baik, meski segala sesuatunya telah dipersiapkan dengan sedemikian rupa.”

Pengalaman semacam ini, tentu juga dialami oleh banyak orang, saya, Anda dan kita semua. Ada rasa ‘menyayangkan, menyesal,’ sebagian mungkin justru sangat ‘kesal.’ Tetapi, emosi semacam itu hadir karena hati lupa dari mengingat bahwa segala sesuatu ketetapannya ada di tangan Allah Ta’ala.
Segala sesuatu yang dialami setiap jiwa sudah ada ketetapan-Nya. Jadi bukan ujug-ujug, apalagi ‘tindakan’ spontanitas Tuhan.
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul mahfuz) sebelum Kami menciptakannya” [QS. Al-Hadiid : 22].
But….
Uraian di atas tak menghendaki kalian yang berjiwa muda hidup tanpa rencana. Berencana saja yang benar, baik dan berfaedah bagi hidupmu. Bahkan andaikata rencanamu telah mewujud dan tuntas, kemudian ada pihak lain yang menegasikannya, sungguh kamu tetap mesti komitmen pada rencana baikmu.
Logikanya seperti ini, sekalipun apa yang akan terjadi ada di tangan Allah. Tetapi, sebagai manusia yang hidup di alam dunia, hukum proses dan hukum pertumbuhan adalah bagian dari ketetapan-Nya. Dimana segala yang ada di alam ini tidak ada yang instan. Maka berencanalah, berproseslah dan bertumbuhlah.
Lantas untuk apa, jika pada akhirnya manusia tidak tahu apa yang akan diterima, padahal ada orang yang punya rencana dan mati-matian berusaha menjalankannya?
Mari renungkan firman-Nya ini, “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (At-Taubah: 105).
Dengan kata lain, tugas manusia satu, berusaha, bekerja dan terus saja beramal, tanpa perlu peduli bagaimana nanti Allah memberikan hasil. Sebab, yang Allah lihat adalah kesungguhan seorang Muslim dalam berusaha, bekerja dan beramal. So, tidak perlu ribet, konsistenlah berbuat demi maslahat.
Kita perlu melihat kisah Nabi Yusuf. Dari tahapan ujian yang mesti beliau jalani, rasio hampir semua manusia mungkin menyatakan tidak ada harapan masa depan baginya. Tetapi, keimanan yang dijaga penuh gairah, justru mengantarkannya menjadi sosok manusia penyelamat kehidupan.
Sebaliknya, Fir’aun. Sejak kecil sudah bergelimang kemewahan. Akan tetapi, kebutaan hati, menjadikannya manusia kerdil dan akhirnya Allah hinakan dengan menenggelamkannya di laut merah. Why? Fir’aun melakukan yang mengundan kemurkaan Tuhan.
Intinya, kalau pun ada rencana dalam hidup kita yang terpaksa berubah atau gagal. Jangan putus asa. Jika rencana itu baik, teruslah pertahankan. Jika tak mampu kurangi atau alihkan pada jenis kebaikan lainnya. Yang dilarang adalah berhenti lalu putus asa, sehingga tidak lagi berfokus melakukan yang terbaik.
Padahal, setiap kebaikan akan Allah berikan jalan untuk pelakunya kembali mendapatkan kebaikan yang lebih baik (QS. 17: 7). Dengan kata lain, soal hasil biarlah Allah Ta’ala yang tentukan. Tugas kita berencana, berusaha, dan istiqomah dalam mewujudkannya.
Terakhir ada nasehat sederhana penuh makna,
“Jangan merasa terhina hanya karena apa yang jadi rencana dan telah berwujud karya tak mendapat penghargaan orang. Atau lebih parah, diakui oleh orang lain. Karena proses dan perjalanan waktu yang akan mengungkapnya. Istiqomahlah pada rencana yang sudah dibuat dan lakukan sepenuh hati. Cukup Allah menjadi saksi atas niat-niat suci yang kita tanam dalam hati”.

Imam Nawawi, Pemimpin Redaksi Majalah Mulia, Penulis di www.hidayatullah.com. twitter @abuilmia
blog https://abuilmia.wordpress.com
Powered by Blogger.
close