Kisah Cerdas : Perjuangan Memegang Teguh Keyakinan
Oleh : Dra.
Asnurul Hidayati
Seorang anak dari keluarga miskin bernama Abdul Uzza bin Abd Naham
telah ditinggal wafat bapaknya saat usianya belum ada satu tahun. Pamannya
seorang yang berharta melimpah dan hidupnya makmur, namun ia tidak memiliki
seorang anak pun. Paman itu pun sangat mengasihi keponakannya yang bernama Abdul Uzza, dan mengasuhnya
dengan penuh kecintaan. Mereka hidup di daerah pelataran gunung Warqan, warga kabilah
Muzainah. Abdul Uzza tumbuh menjadi pemuda yang lembut hati dan bersih jiwanya.
Pemuda itu sering menghabiskan siangnya di pinggir jalan menuju
Madinah untuk bertanya kepada orang yang hilir mudik dari dan ke Madinah,
mengenai agama baru, Nabi baru dan tentang pengikutnya. Akhirnya dia pun
bersyahadat sebelum bertemu dengan Rasulullah. Dia-lah orang pertama dari penduduk Warqan yang masuk
Islam. Namun ia masih menyembunyikan keislamannya dari paman dan kaumnya. Jika
saat beribadah dia pergi menjauh dari kaumnya agar tidak diketahui. Ia sangat
berharap agar pamannya masuk Islam. Namun telah sekian lama pamannya belum
kunjung masuk Islam. Sedang kerinduannya untuk bertemu Rasulullah semakin
besar. Ia juga menyadari telah luput
dari berbagai peperangan yang dijalani Rasulullah. Maka ia bertekad bulat untuk
berbicara kepada pamannya. Dan ia sudah menyadari akibat yang akan diterimanya.
Dia berkata, “Paman, aku sudah menunggumu masuk Islam dalam waktu
yang lama sampai kesabaranku habis. Jika Engkau berhasrat masuk Islam dan Allah
menetapkan kebahagiaan bagimu, maka hal itu sebaik-baik yang Engkau lakukan.
Namun jika engkau berhasrat selainnya, maka biarkanlah aku mengumumkan
keislamanku di hadapan orang-orang.” Mendengar
perkataan anak muda itu, sang paman langsung marah besar. Dia berkata, “Aku
bersumpah demi Lata dan Uzza. Kalau kamu masuk Islam, aku akan mengambil
kembali segala sesuatu yang pernah kuberikan kepadamu. Aku akan menyerahkan
kamu kepada kemiskinan. Aku akan membiarkanmu menjadi mangsa kelaparan dan
kefakiran.”
Ancaman pamannya itu tidak menggoyahkan tekadnya sedikitpun.
Kaumnya pun juga membujuk dan mengancamnya. Anak muda itu menjawab,
“Lakukan apa yang ingin kalian lakukan.
Demi Allah aku akan tetap mengikuti Muhammad dan meninggalkan penyembahan
kepada berhala. Aku menggantinya dengan penyembahan kepada yang Maha Esa lagi
Maha Kuat. Silakan kalian dan pamanku melakukan apa yang kalian inginkan.”
Maka sang paman pun mengambil semua yang telah diberikan kepadanya.
Tidak menyisakan apapun selain kain kasar yang menutupi badannya. Akhirnya anak
muda itu berangkat berhijrah membawa agamanya kepada Rasulullah. Meninggalkan
kemewahan dan kemakmuran hidup dengan pamannya.
Berharap pahala dan balasan yang ada di sisi Allah Ta’ala. Saat mendekati Yatsrib, dia merobek kainnya menjadi dua.
Dia gunakan yang satu sebagai sarung dan satunya untuk menutupi tubuh atasnya.
Dia masuk dan bermalam di masjid Rasulullah. Menjelang fajar, pandangannya
tertumpu pada Rasulullah, maka pipinya basah oleh air mata kebahagiaan dan
kerinduan yang memuncak.
Ketika shalat subuh selesai ditunaikan, Nabi memandang ke wajah
hadirin. Beliau melihat anak muda dari
Muzainah itu, dan berkata, “Dari mana kamu wahai anak muda?” Dia menjawab, dari
Muzainah. Nabi bertanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Abdul Uzza.” Nabi
bersabda, “Tidak, akan tetapi namamu Abdullah.” Kemudian Nabi mendekatinya dan
bersabda, “Singgahlah di dekat kami. Jadilah kamu di antara tamu-tamu kami.” Ia
pun biasa dipanggil oleh para sahabat, Abdullah. Lalu ia digelari dengan Dzul
Bijadain, setelah para sahabat mengetahui kisahnya dan melihat dua lembar
kainnya.
Ayah Bunda dan pendidik yang semoga dirahmati Allah Ta’ala, subhanallah, ada hikmah penting dari kisah tersebut. Bahwa untuk
memegang teguh sebuah keyakinan yang benar itu ada perjuangannya. Bahkan ada
pengorbanan yang tidak ringan. Ada saatnya seseorang harus memutuskan
pilihannya. Memilih keyakinan yang benar itu berarti siap dengan segala
konsekuensinya. Pada kisah di atas, si
anak muda memilih kebenaran dan siap meninggalkan kesenangan dan kemewahan
hidup dengan pamannya. Ia memilih balasan dari Allah. Semoga kita diberi
kemudahan oleh Allah dalam mendidik dan mengasuh anak agar menjadi generasi yang teguh meyakini
kebenaran dan siap membuktikan keyakinannya, dengan amal sholih. Siap menghadapi rintangan, bahkan rela berkorban demi mempertahankan
keyakinan yang benar. Baarakallahufikum.||
Referensi : Mereka adalah para Shahabat. DR. Abdurrahman Ra’fat
Basya
Dra. Asnurul Hidayati, Guru MITQ di
Bantul
Admin : @emthorif
Post a Comment